Wawancara dengan Aung San Suu Kyi
16 Februari 2011"Untuk apa mengangkat sanksi?" tanya Aung San Suu Kyi. Sebagai hadiah karena pemerintah Myanmar telah menunjukkan upaya minimal menuju demokratisasi, atau karena telah membebaskan saya, satu orang di antara 2000 tahanan politik lainnya yang masih dipenjara? Begitu tanya perempuan yang sedikitnya sudah menjalani 15 tahun tahanan di Myanmar. Menurut pemimpin oposisi Birma ini, waktu untuk mengangkat sanksi-sanksi terhadap Myanmar belum tiba.
Dalam sebuah wawancara dengan media Jerman di Rangun, Aung San Suu Kyi menjabarkan pandangannya mengenai pemilu dan presiden pertama Myanmar yang terpilih baru-baru ini. Ia jelaskan, “Saat ini kami belum bisa memastikan apakah hal ini akan membawa perubahan besar di negara ini, karena Presiden baru ini sebelumnya menjabat Perdana Menteri. Kabinet baru sudah diperkenalkan tapi tidak secara rinci. Setahu saya, banyak anggota kabinet yang dulunya duduk di pemerintahan lama. Mayoritas Menteri berasal dari kalangan militer, baik yang sudah keluar dari militer, maupun yang masih aktif”.
Aung San Suu Kyi memperingatkan bahwa kini keadaannya lebih rumit, karena kini di Myanmar tampak seakan-akan ada demokrasi. Kondisi ini menurut dia sangat berbahaya. Ungkapnya, “Sebuah diktatur yang terbuka sering kali lebih baik daripada digelarnya sebuah parodi demokrasi. Karena ketika menghadapi parodi, rakyat bisa bersikap seolah-olah segala hal berjalan mulus dan tidak perlu mengambil langkah-langkah untuk memperbaikinya. Sementara menghadapi rejim yang jelas-jelas bersifat diktator, rakyat tidak bisa menutup mata dan menghindar.”
Dalam pemilihan umum yang lalu, partai Liga Nasional Demokrasi, NLD yang dipimpinnya menolak untuk berpartisipasi. Menurut Aung San Suu Kyi yang paling penting sekarang adalah bekerja dengan rakyat dan membangun kesatuan. Dipelopori oleh anggota partainya, yang semakin diwarnai dengan wajah-wajah muda, Aung San Suu Kyi telah membangun jaringan untuk demokrasi di Myanmar.
Dalam jaringan yang terdiri dari berbagai kelompok tua dan muda, digulirkan berbagai proyek kemanusiaan yang diharapkan dapat membangun masyarakat sipil, mendorong terbentuknya sejumlah institusi demokratis dan mengedepankan hak azasi manusia. Semua upaya rakyat ini cepat atau lambat akan mengubah Myanmar menjadi negara yang semakin demokratis. Oleh sebab itu, besar harapan pemimpin oposisi Birma ini bahwa Uni Eropa, yang dipelopori Jerman, meningkatkan upaya-upaya untuk membantu proses demokratisasi di Myanmar. Membandingkan situasi di Myanmar dengan perkembangan di Mesir, Aung San Suu Kyi menyatakan perubahan bakal berjalan lebih lambat di Myanmar, karena militer akan dengan mudah menembaki rakyat, seperti yang pernah terjadi saat revolusi safran tahun 2007, ketika ratusan Bhikku melakukan aksi damai memrotes kenaikan harga pangan di Myanmar.
ARD/Edith Koesoemawiria
Editor: Hendra Pasuhuk