Yang Sakral dan Yang Profan di Masjid
16 Oktober 2017Lima orang ibu-ibu saling menyimak bacaan Alqur'an di sebuah masjid di Desa Ngaglik, Yogyakarta. Masjid itu terdiri dari dua lantai, cukup mewah dan luas untuk ukuran sebuah masjid kampung. Dari lantai atas, saya dengar sayup suara anak-anak yang sebagian mengaji, sebagian cekikikan dan sebagian seperti lari berkejar-kejaran. Ada suara seorang ustaz laki-laki mengajar mereka. Cukup ramah anak, batin saya. Saya tak sengaja mampir untuk salat karena masih berada di jalan di penghujung batas waktu salat magrib.
Kesakralan itu kemudian khas dengan identitas masjid yang biasa dijaga kesuciannya, diberi seperangkat aturan agar hening, beberapa masjid yang ekslusif bahkan tampak setara dengan bangunan kerajaan atau kompleks perkantoran elit sehingga pengemis atau gelandangan merasa tak layak untuk singgah.
Di lain situasi, masjid juga menjadi begitu profan
Hampir sejak helatan pilpres 2014 hingga bergejolaknya kasus Ahok yang dituding sebagai penista agama, masjid menjadi tempat yang penuh kepentingan. Salat Jumat, khususnya, selalu menjadi momentum politis untuk propaganda ujaran dalam rangka menggiring opini massa. Tujuan kampanye, memperoleh suara serta pemenangan kekuasaan tidak terkait sama sekali dengan Tuhan, tetapi konon Tuhan selalu dibawa serta dan dijadikan legitimasi hasrat politik. Khotbah Jumat bukan lagi berupa suara yang meneduhkan soal nilai filsafati yang mendorong ibda bin nafsik, tapi di jalanan Jakarta yang terik, saya pun mendapati pelantang masjid yang menggemakan ujaran yang menyesakkan gendang telinga.
Di perkampungan, bahasa politik nasional yang kian jauh dari intelektualitas dan mendestabilisasi demokrasi tidak begitu nampak. Seorang khatib sekaligus imam salat jumat masih terbata-bata membaca teks dari sebuah kertas fotocopy buku kumpulan khotbah jumat yang ia beli dengan harga murah dari sebuah toko buku lokal. Barangkali buku yang ia beli itu hasil dari reproduksi teks yang sama sejak sepuluh tahun lalu. Pola konservatisme teks saduran semacam ini memang cenderung aman, teks akan membicarakan tema-tema universal seperti peringatan hari raya atau ajakan untuk bertaqwa dalam definisi yang paling umum. Namun, apakah khatib ortodoks ini mampu mengadvokasi subkultur para jamaah sehingga dapat mewujud dalam kesalehan sosial yang menyesuaikan zaman dan waktu?
Jadi pusat studi
Masjid, dalam konteks sejarah, seharusnya memang lebih dari sebuah bangunan yang digunakan untuk ibadah-ibadah fisik. Ketika Nabi Muhammad membangun Masjid Nabawi pada 622 M, masjid itu adalah cikal bakal sebuah peradaban yang kelak menerangi kegelapan yang telah berabad lamanya menaungi langit negara Arab. Masjid Nabawi tampil sebagai pusat pendidikan dan pusat informasi yang menjadi hilir mudiknya komunikasi para sahabat ketika membicarakan persoalan ekonomi dan politik untuk solusi masyarakat ketika itu. Masjid di masa Rasulullah juga merupakan tempat resolusi konflik, mencari perdamaian, dan pengadilan sengketa untuk orang-orang yang saling berseteru.
Demikian pula ketika pada tahun 1899 KH Hasyim Asy'ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng setelah kepulangan beliau menuntut ilmu dari Mekkah. Tebuireng adalah sarang perjudian, pencurian, pelacuran, potret sebuah desa yang penuh dengan masalah-masalah sosial. Akan tetapi, justru di tempat itulah KH Hasyim Asy'ari bersama istrinya, Nyai Khodijah, mendirikan sebuah ruang berukuran 6x8 meter berdinding anyaman bambu (gedheg) untuk kegiatan pengajian. Kotak ruang itu kelak pernah dilempari batu hingga senjata tajam oleh perampok di sekitar lokasi yang sama sekali belum kenal agama, namun berkat kesabaran dan kepercayaan KH Hasyim Asy'ari bahwa pendidikan akan mengubah semua sektor kehidupan manusia, kini Tebuireng adalah pusat belajar ilmu Islam sekaligus ilmu moderen yang paling disegani di Indonesia.
Fenomena berbeda
Lima ibu mengaji di masjid yang saya jumpai di atas tentu saja berbeda dengan Seyran Ates, muslimah Turki yang pada bulan Juli lalu mendirikan Masjid Ibnu Rusyd-Goethe di Berlin Jerman. Ates mendapat ratusan ancaman pembunuhan karena memunggungi interpretasi Islam yang "umum”. Ia membuka masjid "liberal” itu untuk semua kalangan, mulai dari Sunni, Syiah, Alawi, Muslim Sufi hingga komunitas LGBTQ. Dengan metodologi yang ia sebut progresif, Ates juga menjadi imam salat dengan makmum laki-laki dan perempuan, dengan meminta Ani Zonneveld sebagai pemanggil azan. Sebuah peristiwa yang mengingatkan ke pertengahan tahun 2008 ketika Amina Wadud, feminis Amerika Serikat menjadi imam dan khatib salat jumat di Inggris, mendobrak tradisi Islam mapan yang telah bertahan 1500-an tahun.
Fenomena Amina Wadud ataupun Ates nampaknya masih jauh untuk coba diduplikasi di Indonesia. Jikapun terjadi, sudah pasti gerakan paramiliter Islam telah siap membentuk barikade untuk demo berjilid-jilid. Di beberapa arus kajian komunitas maupun studi Islam, pemikiran Islam progresif telah tumbuh. Namun, produk-produk ilmiah dari pemikirannya masih mandeg dalam jurnal dengan akses ekslusif maupun forum-forum para priyayi ilmu pengetahuan. Masjid, sebagai ruang yang mengakomodasi keberserahan spiritual sekaligus seharusnya nalar logika dalam keberimanan masih menjadi tempat mapan yang diam-diam menjadi panggung bagi beberapa ambisi.
Wadud maupun Ates juga tidak mesti dipaksakan untuk berkenalan dengan masjid kita jika memang belum benar-benar diperlukan. Tapi masjid seharusnya mendesak untuk membicarakan akhlak kepemimpinan yang hari ini jadi soal paling penting untuk dibicarakan. Masjid juga boleh jadi sumber kritisisme akal dengan menyediakan kitab dan buku-buku, ditemani oleh sumber-sumber otoritatif untuk mendiskusikan keresahan sosial tanpa sentimen negatif dan marah-marah.
Penulis:
Kalis Mardiasih
Penulis opini dan penejemah. Bergiat sebagai riset dan tim media Jaringan nasional Gusdurian Indonesia.