Alasan Jepang Tidak Jatuhkan Sanksi Terhadap Militer Myanmar
2 April 2021Pemerintah Jepang terus berupaya mendesak militer Myanmar untuk menghentikan tindakan kekerasan terhadap pengunjuk rasa dan warga sipil. Pada hari Rabu (31/03), Tokyo mengumumkan akan menahan bantuan ekonomi baru ke Myanmar.
"Jepang telah bekerja keras membangun hubungan yang kuat dengan Myanmar, sebuah kebijakan yang dapat ditelusuri kembali ke tahun 1980-an, ketika negara-negara lain menolak terlibat dengan pemerintahan militer di sana," kata Akitoshi Miyashita, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Internasional Tokyo kepada DW.
Bantuan Jepang terus mengalir ke Myanmar hingga saat ini, utamanya dalam bentuk bantuan pembangunan dalam jumlah besar, ujar Miyashita. Pada tahun 2019 saja, Bantuan Pembangunan Resmi Jepang (ODA) untuk Myanmar mencapai hampir 200 miliar yen (Rp 26 triliun), menjadikan Jepang sebagai negara pendonor terbesar keempat di dunia dan terbesar di Asia.
Kenapa Jepang tidak jatuhkan sanksi?
Pada September tahun lalu, Tokyo menandatangani perjanjian untuk memberikan pinjaman berbunga rendah sebesar 42,78 miliar yen (Rp 5,6 triliun) untuk pembangunan infrastruktur transportasi dan menawarkan pembiayaan bagi perusahaan kecil dan menengah.
Dari total bantuan itu, 27,78 miliar yen (Rp 3,6 triliun) akan diinvestasikan pada pembangunan jembatan jalan di Koridor Ekonomi Timur-Barat Myanmar, arteri ekonomi utama yang menghubungkan negara itu dengan Thailand, Laos, dan Vietnam, kata Kementerian Luar Negeri di Tokyo.
Kesepakatan itu menandai salah satu motivasi Jepang yang telah mengembangkan pabrikan dan memanfaatkan biaya tenaga kerja yang relatif rendah di Myanmar. Kebijakan tersebut terbukti membantu menciptakan pasar baru bagi produk Jepang.
Bagi Tokyo, faktor kedua dan bisa dibilang lebih penting di balik keputusannya untuk menjaga jalur komunikasi dengan junta militer tetap terbuka adalah geopolitik. "Tanggapan diam Jepang terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar terutama karena mereka tidak ingin junta militer di sana mendekati Cina," kata Stephen Nagy, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Kristen Internasional Tokyo kepada DW.
Benteng melawan Beijing
Dalam beberapa tahun terakhir Tokyo bekerja keras membangun hubungan diplomatik kooperatif dengan pemerintah di seluruh kawasan Indo-Pasifik untuk bertindak sebagai benteng melawan kebijakan ekspansionis agresif Beijing, seperti di Laut Cina Selatan, kata Nagy.
"Penonton domestik" tampaknya kehilangan kesabaran dengan strategi Jepang, terutama ketika AS, Inggris, Kanada, dan Uni Eropa telah membekukan aset pejabat militer Myanmar di luar negeri dan menjatuhkan sanksi lain terhadap perusahaan yang terkait dengan militer Myanmar.
Sekelompok politisi dari Partai Demokrat Liberal memutuskan hubungan kerja pada Selasa (30/03) dan merancang resolusi yang menyerukan pemerintah untuk lebih "berhati-hati" dalam hal kerja sama ekonomi dan keamanan dengan Myanmar.
Media sosial dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mengungkapkan kemarahan atas keengganan pemerintah menerapkan lebih banyak tekanan. Sebuah poster yang diposting di situs web Japan Today berisi: dengan gagalnya mengambil tindakan hukuman langsung, Tokyo "terlibat dalam tindakan keras berdarah, murni, dan sederhana ini."
Poster lain mengatakan, "tidak ada yang 'berani', Jepang menawarkan kata-kata tetapi sangat sedikit tindakan. Faktanya, itu adalah tipu daya pengecut."
Seorang penerjemah Burma melakukan survei terhadap rekan senegaranya yang tinggal di Jepang tentang tanggapan Tokyo terhadap kudeta militer Myanmar. Lebih dari 90% responden menentang bantuan ekonomi lebih lanjut ke tanah air mereka, sementara lebih dari 85% mengatakan duta besar Jepang Ichiro Maruyama seharusnya tidak bertemu dengan Wunna Maung Lwin, yang telah dilantik sebagai menteri luar negeri baru rezim tersebut.
Kekerasan dan pertumpahan darah di Myanmar
Nagy yakin akan ada peningkatan penolakan publik terhadap pendekatan komunikasi Tokyo. "Komunitas intelektual, LSM, dan lainnya, semuanya menuntut pemerintah Jepang mengambil sikap yang lebih tegas terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Myanmar dan melawan para jenderal," katanya.
"Tokyo masih lebih menyukai diplomasi jalur belakang yang telah digunakannya di masa lalu seperti yang dilakukannya terhadap Iran, Filipina, atau Arab Saudi," tambahnya.
"Dengan Myanmar, terlalu dini untuk mengatakan apakah pendekatan diplomatik Jepang akan berhasil, tetapi saya harus mengatakan bahwa saat ini tampaknya tidak baik. Namun, ini juga menggarisbawahi fakta bahwa Jepang tidak memiliki banyak kartu dalam buku pedoman diplomatiknya dan Tokyo harus pragmatis," katanya.
(ha/rap)