Alasan Serangan di Yaman Jadi ‘Kesempatan Emas‘ bagi Houthi
17 Januari 2024Dalam beberapa hal, eskalasi antara milisi Yaman, Houthi, dengan koalisi angkatan laut pimpinan Amerika Serikat (AS) di Laut Merah memberikan keuntungan bagi kelompok militan yang didukung oleh Iran tersebut. Bahkan dalam beberapa analis menyambutnya dengan baik.
"Houthi telah mencari kesempatan untuk berkonfrontasi dengan Amerika Serikat," kata Analis Konflik asal Yaman sekaligus mantan Direktur Pusat Penelitian Informasi Washington untuk Yaman, Hisham Al-Omeisy kepada DW.
"Selama delapan tahun belakangan, mereka telah mengatakan kepada pengikutnya bahwa kelompok itu sedang berperang dengan AS dan Israel, sehingga hal ini menjadi kesempatan emas yang harus dimanfaatkan mereka," tambah Al-Omeisy.
Yaman sejatinya telah berperang sejak tahun 2014 saat kelompok Houthi mulai menyerang pemerintahan yang didukung oleh Arab Saudi. Pertempuran selama sembilan tahun telah membuat Yaman terpecah. Houthi menguasai Yaman bagian utara dan barat, termasuk Bab El-Mandeb yang mengarah ke Selatan. Sementara bagian selatan dikuasai oleh pemerintah yang diakui secara internasional dan sekutu dalam negeri. Sedangkan wilayah timur didominasi oleh suku lokal.
Sementara itu, kelompok Ansar Allah (nama resmi Houthi) tersebut sedang mengadakan pembicaraan soal gencatan senjata jangka panjang dengan Arab Saudi. Nantinya seusai bulan Januari, Utusan Khusus AS untuk Yaman, Tim Lenderking, diperkirakan bakal menyelesaikan kesepakatan damai antara Arab Saudi dan Houthi.
"Dengan memaksa Arab Saudi untuk menerima mereka (sebagai bagian dari pemerintahan nasional Yaman), Houthi berharap seluruh dunia juga akan mengikuti langkah itu dan memberikan legitimasi internasional kepada mereka," kata Al-Omeisy.
Kepada DW, seorang Profesor dan Analis Timur Tengah dari University of Ottawa di Kanada, Thomas Juneau, menyebut saat ini baru Iran saja yang mengakui Houthi sebagai pemerintah nasional Yaman.
"Mereka hendak memaksa komunitas internasional untuk berurusan dengan mereka dengan cara membajak kapal, mengirim rudal, bernegosiasi dengan Arab Saudi, dan mereka ingin dilihat sebagai anggota kunci dari Poros Perlawanan yang dipimpin oleh Iran," ujarnya, merujuk kepada jaringan kelompok-kelompok dukungan Iran di seluruh wilayah, yang menentang AS dan Israel.
Houthi sudah ‘menang‘
Serangan Houthi terhadap kapal-kapal kargo di Laut Merah telah mengganggu jalur perdagangan vital internasional secara masif. Dan menurut milisi tersebut, tindakan itu merupakan respons mereka atas pembalasan militer Israel di Gaza.
"Serangan Houthi membuat saya takut karena mengancam stabilitas kami yang rapuh,” kata Maner Saleh, seorang perempuan berusia 20 tahun yang tinggal di Sanaa, Ibu Kota Yaman, kepada DW. "Yaman belum pernah merasakan perdamaian dan stabilitas yang nyata selama sembilan tahun.”
Menurutnya, wargaPalestina memang harus didukung, akan tetapi idealnya dengan cara yang tidak melibatkan "pengorbanan kembali situasi di Yaman”.
Kepada DW, Um Ammar, seorang ibu beranak lima, di Sanaa, mengatakan bahwa dia juga bersedia untuk mendukung Palestina "dengan segala cara yang memungkinkan". Namun, dia berharap tanpa ada kerugian bagi negaranya.
"Publik secara luas mendukung Yaman, karena warganya sangat bersemangat dalam memperjuangkan Palestina," kata Peneliti Senior di Pusat Studi Strategis Sanaa, Abdulghani Al-Iryani, kepada DW.
Dia mengaku telah mengamati adanya perubahan sikap atas Houthi dalam beberapa minggu terakhir.
"Houthi akhirnya mendapat dukungan rakyat secara luas, setelah sebelumnya dibenci selama bertahun-tahun, karena sangat keras terhadap orang-orang yang ada di bawah kuasanya, karena korupsi, penindasan dan ideologi supremasi mereka," sambung Al-Iryani kepada DW.
Houthi telah "memenangkan konfrontasi ini sejak hari pertama mereka menembakkan rudal," tambahnya.
Kemenangan militer belum tentu jadi tujuan
Seorang peneliti di Pusat Kebijakan Yaman, Mohamed Al-Iriani, mengatakan bahwa sejauh ini, pertarungan tersebut bukan soal kemenangan militer bagi Houthi. Koalisi angkatan laut AS melawan Houthi juga belum mendapat kemenangan militer.
"Hal ini memberikan ruang bagi Houthi untuk memprovokasi lebih lanjut, dan strategi mereka tampaknya bergantung pada harapan, bahwa AS yang saat ini disibukkan dengan politik elektoral dalam negeri, mungkin bakal terbatas secara kapasitas untuk merespons secara efektif," kata Al-Iriani kepada DW.
Lebih lanjut, Al-Omeisy menyebut pertempuran ini tampaknya jadi konflik berbiaya rendah bagi Houthi. Serangan pesawat nirawak Houthi terhadap kapal kargo di Laut Merah menelan biaya sekitar 1,200 USD atau setara Rp18.772.980., sedangkan aliansi yang dipimpin AS, biayanya jauh lebih tinggi, mencapai 1,5 juta USD atau setara Rp23,4 miliar untuk satu bom.
Al-Omeisy memperingatkan, bahkan serangan darat juga akan menguntungkan Houthi. "Serangan darat akan meningkatkan legitimasi Houthi, tidak hanya di Yaman saja, tapi juga di tingkat regional".
"Kita sudah melihat tren selama beberapa minggu terakhir di mana orang anti-Houthi kini bersimpati kepada Houthi," sebut Al-Omeisy, menambahkan bahwa Houthi juga memanfaatkan perang di Gaza untuk perekrutan besar-besaran.
"Perlu diingat, ini adalah negara yang 80% penduduknya membutuhkan bantuan dan banyak orang miskin. Jadi, jika situasi ini memberikan kesempatan bagi mereka untuk memenuhi kebutuhannya, lewat pekerjaan di militer atau salah satu faksi lain, mereka akan mengambilnya," tegas Al-Omeisy. "Warga Yaman tidak menginginkan perang, tetapi jika dipaksakan, mereka adalah pejuang tangguh, seperti yang telah mereka tunjukkan selama delapan tahun belakangan."
(mh/rs)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!