Apakah Debat Pemilu AS Masih Penting?
2 Oktober 2012Apa debat dalam pemilu presiden benar-benar punya pengaruh pada hasil pemilu? Jawabannya: tergantung situasi dan kondisi. Jadi sepenting apa tiga debat, di mana Barack Obama akan berhadapan dengan penantangnya, Mitt Romney? Jawabannya: tidak terlalu penting.
Secara umum makna debat dan pengaruhnya atas hasil pengumpulan suara terlalu dilebih-lebihkan oleh media, yang suka situasi dramatis dan perubahan tren. Debat termasuk ritual kampanye, yang katanya bisa menunjukkan perubahan tren tiga hari sebelum debat dan dua hari setelahnya. Jika debat itu diteliti kembali dari sudut pandang ilmu politik setahun setelahnya, dan dibandingkan dengan data serta fakta, maknanya tiba-tiba pudar.
Masalah debat sama dengan masalah calon wakil presiden. Dua pekan sebelum diumumkan menyebar luas spekulasi media dan perkiraan pengaman (termasuk saya) tentang orang yang mungkin jadi calon, dan apa konsekuensinya jika orang itu terpilih. Sepekan setelah pengumuman nama orang yang terpilih, komentator sama akan memberikan skenario yang mungkin terjadi, dan dampak pemilihan orang itu bagi negara, kelompok masyarakat dan tema.
Yang Belum Tentukan Pilihan
Sebagian besar pakar politik setuju, satu-satunya calon wakil presiden, yang punya pengaruh atas hasil pemilu presiden adalah Lyndon Johnson, yang dipilih tahun 1960. Calon wakil presiden lainnya, seperti Dan Quayle, Geraldine Ferraro atau George H.W. Bush tidak punya pengaruh politik apapun.
Hal lain yang juga penting adalah, sebenarnya tidak ada cara untuk mengetahui, apa yang bisa menarik minat pemberi suara, yang belum menentukan pilihan. Terutama dalam pemilu presiden kali ini, di mana rakyat AS dikonfrontasikan dengan program-program yang secara ideologis bertolak belakang.
Pemilih yang belum menentukan dukungan ini berjumlah sekitar lima persen. Jika mereka akhirnya memutuskan untuk memberikan suara, bagi pengamat paling handal pun mereka ibaratnya teka-teki tak terpecahkan. Karena kami, para pengamat, sama sekali tidak bisa memperkirakan, keputusan mana yang akan mereka ambil 6 November mendatang, kami punya tendensi untuk beranggapan, debat ibaratnya punya kekuatan magis dan bisa memberikan isyarat siapa yang akan menang pemilu.
Yang juga penting, debat tampaknya kehilangan nilai lewat cara pelaksanaannya. Yakni seperti dua konferensi pers yang berjalan paralel, dengan tukar-menukar pendapat yang ringan dan diarahkan oleh moderator. Jika itu disebut debat, itu ibaratnya menipu. Demikian halnya dengan apa yang disebut Town Hall Meetings, di mana para calon menjawab pertanyaan yang sudah diberikan kepada mereka terlebih dahulu.
Propaganda Kalahkan Analisa
Di samping itu, yang juga berperan adalah apa yang disebut "spin", yang segera setelah debat berakhir menyebabkan pemilih yang serius menghadapi kesulitan untuk membentuk pendapatnya sendiri.
Debat sendiri tidak memberikan ruang cukup untuk nuansa atau tema-tema kompleks. Oleh sebab itu calon sering dipaksa untuk memberikan solusi dalam waktu 30 detik, untuk masalah-masalah besar seperti konflik Israel-Palestina, program nuklir Iran atau neraca pembayaran antara Cina dan AS. Pertanyaan berkaitan dengan tema-tema seperti itu diajukan setiap dua setengah menit kepada calon, dan kadang dengan tampikan.
Maka wajar saja, jika cara pelaksanaan seperti ini sering menyebabkan calon memberikan jawaban yang sudah dihafal terlebih dahulu, dengan tujuan yang sederhana, yaitu tidak bergeser dari tema, dan jangan sampai "terpeleset"!
Burung Nazar Virtual
Pada dasarnya penonton televisi ibarat burung nazar virtual. Mereka menunggu saat yang tepat, di mana si calon menyebut nama negara yang salah, atau di mana calon lupa sepenuhnya kementerian mana yang akan ditutup, kalau ia jadi presiden. Atau juga saat di mana calon membual bisa melihat Rusia dari kamar mandinya, atau menampilkan diri sebagai pakar Sovietologi atau Putinologi. Semua ini menjelaskan, mengapa jumlah warga AS, yang menonton acara debat semakin berkurang, sejak debat tajam antara Kennedy dan Nixon tahun 1960.
Namun demikian banyak dari kita, bahkan di tengah malam waktu Paris, Berlin dan London, tetap mengikuti debat antara Obama dan Romney, tanggal 3 Oktober 2012. Mengapa?
Pembenaran Pilihan
Karena jika pilihan tidak banyak, perincian sangat menentukan. Lagi pula sebuah komentar atau jawaban yang pandai bisa mempengaruhi kelompok pemilih tertentu, di wilayah-wilayah yang disebut "battleground state". Oleh sebab itu, pemilih di AS dan yang berada di Eropa mencari pembenaran bagi motivasi terpenting mereka untuk memberikan suara tanggal 6 November.
Misalnya: apakah politik luar negeri Mitt Romney benar-benar begitu mengerikan seperti yang terdengar selama ini? Apakah ia memiliki kompetensi ekonomi yang dituntut pemilih dari seorang penantang? Apakah yang dikatakannya berkaitan dengan 47% warga AS, yang disebutnya tergantung pada pemerintah?
Sebaliknya, Barack Obama adalah kasus menarik seorang pakar retorika, yang tahun 2008 menempatkan kemampuannya ke dalam kontak penyimpan, dan kemudian membuang kuncinya. Semua pendukung Partai Demokrat yang liberal kemungkinan akan mengikuti debat dengan harapan, presiden akhirnya mampu mengembangkan sejarah progresif, yang mungkin akan ia jadikan landasan masa jabatannya yang kedua.
Persaingan Ketat
Terakhir yang paling penting adalah: debat tanggal 3, 16 dan 22 Oktober hanya penting, jika tidak ada calon yang sampai jadwal itu jelas unggul dalam perkiraan jumlah suara wakil pemilih atau jajak pendapat. Karena itulah, tidak ada orang yang tertarik pada acara debat antara Reagan dan Mondale tahun 1984, atau antara Dole dan Clinton tahun 1996. Karena pada saat debat, wartawan sudah sibuk menulis "berita duka" bagi si penantang.
Jika bulan Oktober Mitt Romney memperoleh dukungan hampir sebanyak Obama, yang, jika terjadi, bisa disamakan dengan mujizat, maka acara debat menjadi penting.
Vincent Michelot adalah profesor di bidang ilmu politik di Institut d'Études Politiques (Sciences Po) di Lyon, Perancis.