Status Arab Saudi Jadi Ketua Komisi Perempuan Picu Kecaman
29 Maret 2024Duta Besar Arab Saudi untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Abdulaziz Alwasil telah ditunjuk untuk memimpin badan dunia, Komisi Status Perempuan (Comission on the Status of Women atau CSW). Sebelumnya Arab Saudi mengajukan negaranya untuk mendapat posisi tersebut dan tidak mendapat tentangan dari pihak lain.
Sejatinya, jabatan seperti ini bergilir di antara lima kelompok regional PBB, dan pada umumnya dikukuhkan dengan suara bulat lewat sebuah preseden yang mungkin tidak dapat diganggu gugat oleh negara lain. Kelompok Asia, yang termasuk di dalamnya Arab Saudi, dengan suara penuh memilih pengajuan negara dengan Ibu Kota Riyadh ini.
Pilihan ini akibatnya memicu reaksi keras dari kelompok pegiat hak asasi manusia (HAM), yang telah mencatat rekam jejak negara tersebut terkait hak-hak perempuan. Arab Saudi berada di peringkat 131 dari 146 negara dalam hal kesetaraan gender, hal ini berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF).
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Bagaimana respons pegiat HAM?
"Terpilihnya Arab Saudi sebagai Ketua CSW PBB menunjukkan pengabaian yang luar biasa atas hak-hak perempuan di mana-mana," kata Direktur Human Rights Watch (HRW) Louis Charbonneau di PBB.
"Sebuah negara yang memenjarakan perempuan hanya karena mereka mengadvokasi hak-hak mereka, tidak pantas menjadi wajah dari forum tertinggi PBB untuk hak perempuan dan kesetaraan gender," tegasnya.
"Pihak berwenang Saudi harus menunjukkan bahwa kehormatan ini tidak sepenuhnya tidak layak dan segera membebaskan semua pembela hak perempuan yang ditahan, mengakhiri perwalian laki-laki dan memastikan hak penuh perempuan atas kesetaraan dengan para laki-laki."
Menjelang pengangkatan tersebut, Amnesty Internasional telah mengeluarkan sebuah pernyataan yang mengutuk langkah tersebut.
"CSW memiliki mandat yang cukup jelas untuk mempromosikan hak perempuan dan kesetaraan gender, dan penegakannya merupakan hal penting bagi ketua komisi," kata Direktur Advokasi Amnesty Internasional Sherine Tadros.
"Catatan buruk Arab Saudi dari segi perlindungan dan promosi hak perempuan jadi sorotan jurang pemisah antara kenyataan kehidupan perempuan dan anak perempuan di Saudi dengan aspirasi komisi," tambahnya.
Selain itu, Tadros juga mengkritik Undang-Undang Status Pribadi tahun 2022 di Riyadh, yang berusaha diklaim oleh pihak berwenang sebagai langkah menuju kesetaraan.
Undang-Undang tersebut, kata Tadros, "pada kenyataannya mengukuhkan diskriminasi berbasis gender terhadap setiap aspek kehidupan keluarga, mulai dari pernikahan, perceraian, hak asuh anak dan warisan, dan gagal melindungi perempuan dari kekerasan berbasis gender."
Bagaimana status perempuan di Arab Saudi saat ini?
Penguasa sah Arab Saudi, Putra Mahkota Mohammed bin Salman, sejatinya telah menjanjikan soal reformasi.
Pada tahun 2018, perempuan diberi hak untuk mengemudi. Kemudian, penggunaan hijab juga tidak lagi diwajibkan di tempat umum.
Namun, kelompok HAM mengatakan bahwa perempuan di Arab Saudi masih mengalami banyak pembatasan diskriminatif. Misalnya, perempuan Saudi masih harus mendapatkan izin dari wali laki-laki untuk menikah.
Menurut Amnesty Internasional, perempuan yang membela hak asasi manusia di Arab Saudi juga mendapat penganiayaan. Para perempuan pegiat HAM mendapat larangan untuk bepergian dan dibatasi kebebasan berbicaranya.
Tak hanya itu, perempuan Saudi yang mengunggah soal hak-hak perempuan di media sosial juga mendapat hukuman penjara yang cenderung lebih lama.
Dalam Undang-Undang tahun 2022, seorang suami juga berhak untuk tidak menafkahi istrinya jika menolak untuk melakukan aktivitas seksual, tinggal atau bepergian bersama.
Jubir Kampanye Amnesty: Keputusan ‘tidak masuk akal'
Tim DW sempat mewawancarai Juru Bicara (Jubir) Kampanye Amnesty Internasional untuk Arab Saudi, Bissan Fakih, soal terpilihnya Riyadh menjadi ketua CSW PBB.
Menurut Fakih, keputusan tersebut "tidak masuk akal”. "Saya harus mengungkapkan kekecewaan saya terharap 45 negara anggota yang ada di Komisi tersebut, dan tidak ada yang menentang penunjukan Arab Saudi.”
Peran komisi ini adalah ”mempromosikan kesetaraan gender dan mendorong pemberdayaan perempuan,” tapi saat ini Amnesty Internasional tengah menangani sejumlah kasus, terkait perempuan yang dipenjara karena memperjuangkan hak perempuan.
"Saat ini, kami sedang menangani kasus seorang perempuan muda berusia 29 tahun yang berprofesi sebagai instruktur kebugaran dan pembela hak asasi manusia, yang dihilangkan secara paksa, sehingga pihak keluarga tidak mengetahui keberadaannya,” katanya kepada DW.
"Dia dipenjara karena menulis di Twitter dengan tanda pagar (tagar) mengakhiri perwalian laki-laki dan juga karena dia mengunggah foto dirinya di mal tanpa mengenakan abaya tradisional.”
Kata Fakih, penunjukan Arab Saudi sebagai pimpinan komisi ini "menodai kredibilitas (komisi) untuk berbicara menentang diskriminasi gender.”
"Jadi kita melihat PBB, pemain sepak bola, pebisnis, para pemimpin dunia datang ke Arab Saudi dan menyepelekan hak asasi manusia. Dan, sayangnya mereka terjebak dalam kampanye Arab Saudi.”
(mh/rs)