Bagaimana Negara Berkembang dapat Menghadapi Biopiracy?
21 Juni 2022Mengeksplorasi dan mencari inspirasi dari alam untuk penelitian medis hingga rekayasa genetika pada tanaman dan produk lainnya bukanlah hal baru bagi para peneliti atau perusahaan besar. Namun penemuan berdasarkan pengetahuan adat tradisional atau kekayaan keanekaragaman hayati di negara berkembang dapat berakhir diekspor dan dipatenkan tanpa kredit atau kompensasi, inilah yang dimaksud sebagai biopiracy.
Praktek ini berakar pada sejarah kolonialisme. Penjajah seperti Spanyol, Inggris dan negara lainnya sering mengambil keuntungan dari sumber daya alam dari daerah yang mereka jajah. Hal itu meliputi perdagangan produk seperti kopi, kapas, teh, lada dan karet.
Saat ini, negara-negara kaya juga sering mengeksploitasi sumber daya alam negara-negara miskin untuk tujuan medis, pertanian atau industri. Meskipun beberapa perlindungan telah ada selama beberapa dekade, termasuk perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia WHO yang mencakup hak kekayaan intelektual untuk varietas tanaman dan hewan, namun perlindungan semacam itu tidak selalu efektif.
Seperti yang terjadi dalam perjuangan selama satu dekade melawan paten yang diberikan kepada sebuah perusahaan multinasional AS atas produk antijamur yang berasal dari pohon mimba. Padahal penggunaan ramuan ini telah lama menjadi bagian tradisional dari pengetahuan pengobatan India. Kasus ini akhirnya dimenangkan oleh pemerintah India.
Contoh lain adalah ketika perusahaan kosmetik Amerika Mary Kay mencoba mematenkan bahan dari Kakadu plum, buah asli Australia yang dapat dijual hingga 40 dolar Australia (sekitar Rp.413 ribu) per kilogram. Langkah itu akan menutup produsen Pribumi dari pasar Australia, orang-orang yang telah lama memanfaatkan kualitas obat tersebut.
Biopiracy juga dapat memiliki efek lingkungan yang menghancurkan. Di Sri Lanka misalnya, spesies ikan dan bunga endemik termasuk ekosistem negara itu terancam karena eksploitasi berlebihan oleh industri perikanan dan farmasi.
Apa yang dipermasalahkan?
Menjelang fase kedua konferensi keanekaragaman hayati COP15, yang dijadwalkan berlangsung di Kunming, Cina, akhir tahun ini, para negosiator berjuang untuk menyetujui persyaratan terbaru yang mencakup isu-isu seperti biopiracy, dan yang akan menjelaskan kemajuan ilmiah baru-baru ini.
Sebelumnya Protokol Nagoya telah mengatur akses ke keanekaragaman hayati dan sumber daya genetik serta mempromosikan pembagian keuntungan yang "adil dan merata" dengan masyarakat yang menyediakannya, mulai berlaku pada Oktober 2014. Hingga saat ini, 137 negara telah meratifikasi dokumen tersebut, meskipun beberapa pemain utama masih absen, termasuk Kanada, Amerika Serikat, dan Rusia.
Hal yang paling penting sekarang adalah penggunaan data genetik dalam bentuk digital, atau informasi urutan digital, DSI. Sementara biopiracy tradisional seperti penggunaan spesimen fisik secara ilegal dilindungi dalam beberapa bentuk, sekelompok negara yang sebagian besar di Afrika bersikeras bahwa mereka hanya akan menyetujui kerangka keanekaragaman hayati global yang baru jika mencakup cara untuk berbagi manfaat secara adil dari penggunaan DSI.
Rik Kutsch Lojenga, direktur eksekutif organisasi nirlaba internasional Union for Ethical BioTrade, mengatakan kepada DW bahwa informasi urutan digital sekarang dapat disimpan dalam database akses terbuka online, memberi peneliti apa yang mereka butuhkan tanpa harus secara langsung menangani spesimen fisik.
Lojenga mengatakan negara-negara berkembang telah menyatakan keprihatinan bahwa pendekatan ini "akan menghindari kewajiban untuk berbagi manfaat dari pemanfaatan sumber daya genetik" di bawah Protokol Nagoya.
"Penggunaan sumber daya digital ternyata lebih 'halus' daripada dalam kasus biopiracy 'klasik'," kata Michele Rivasi, anggota Parlemen Eropa Prancis dari Greens/European Free Alliance. Dia mengatakan kepada DW bahwa beberapa peneliti sekarang bertujuan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin urutan untuk "basis data besar" mereka untuk mengekstrak informasi apa pun yang menarik untuk pekerjaan mereka saat ini atau di masa depan.
"Oleh karena itu seringkali sulit, bahkan jika sumber daya sebenarnya telah 'digunakan' secara digital untuk mengidentifikasi atau mengukur kontribusi yang tepat untuk hasil akhir,” katanya, yang sebenarnya memudahkan peneliti dan perusahaan untuk mengeksploitasi keanekaragaman hayati suatu negara tanpa kompensasi.
Hak intelektual bagi kelompok adat
Pada pembicaraan sebelumnya di Jenewa bulan Maret lalu, para delegasi menekankan bahwa masyarakat adat dan komunitas lokal harus menjadi penerima manfaat utama, karena peran penting mereka dalam konservasi dan keberlanjutan.
Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan bagaimana masalah seperti deforestasi di wilayah yang dikelola oleh masyarakat adat cenderung secara signifikan lebih rendah, perlindungan yang diberikan oleh Protokol Nagoya belum ditegakkan selama delapan tahun terakhir secara signifikan.
Rivasi, yang karyanya berfokus pada hak-hak masyarakat adat dan komunikasi lokal, menyoroti kasus Guyana Prancis, di mana para peneliti Prancis berdasarkan wawancara dengan kelompok-kelompok Pribumi pada tahun 2005 mengidentifikasi dan mematenkan sebuah komponen di Quassia amara, tanaman obat tradisional dengan sifat antimalaria. Meskipun kelompok penelitian IRD akhirnya setuju untuk berbagi potensi manfaat ilmiah dan ekonomi, ia masih mempertahankan paten yang diberikan oleh Badan Paten Eropa pada tahun 2015, meskipun ada upaya banding.
"Paten ini adalah kasus biopiracy yang mencolok. Enam komunitas Pribumi Guyana Prancis tidak pernah berkonsultasi," kata Rivasi. "Keputusan ini membahayakan penggunaan pengobatan tradisional, karena IRD dapat melarang penggunaan pengobatan ini oleh komunitas yang menemukannya."
Dalam resolusi Juli 2021, yang dibantu negosiasi oleh Rivasi, pada akhirnya Parlemen Eropa menyerukan konsistensi antara berbagai perjanjian internasional tentang masalah sumber daya genetik. Mereka menekankan pentingnya mengungkapkan asal-usul bahan-bahan itu dalam aplikasi paten, untuk memastikan "pembagian keuntungan yang adil dan merata."
Mungkinkah retribusi menjadi solusi?
Pada pembicaraan Jenewa Maret lalu, delegasi Grup Afrika melontarkan gagasan untuk menciptakan sistem global untuk mengumpulkan "retribusi 1% pada harga eceran semua produk yang terkait dengan keanekaragaman hayati untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati di lapangan."
Pendekatan ini telah membuahkan hasil, misalnya di Afrika Selatan, di mana industri rooibos menandatangani perjanjian pembagian manfaat dengan komunitas pribumi Khoi dan San pada akhir 2019.
Kesepakatan itu, yang mengakui bahwa Khoi dan San adalah "pemegang pengetahuan tradisional" untuk tanaman endemik rooibos dan honeybush, akan memberi masyarakat 1,5% dari apa yang dibayar agribisnis untuk panen yang belum diproses. Itu berjumlah sekitar 12 juta rand (sekitar Rp. 11,17 miliar) per tahun.
Kesepakatan itu "akan memastikan bahwa sumber daya hayati pribumi kita, dan pengetahuan tradisional yang terkait, digunakan secara berkelanjutan dan akan berkontribusi pada pertumbuhan bangsa yang sehat dan sejahtera," kata Barbara Creecy, menteri lingkungan, kehutanan dan perikanan Afrika Selatan pada saat itu.
Ini adalah model yang mungkin diingat oleh para negosiator di Nairobi minggu ini ketika mereka menuntaskan rincian kerangka kerja keanekaragaman hayati global yang baru, yang digambarkan oleh PBB sebagai "kesempatan sekali dalam satu dekade untuk mengamankan rencana global yang ambisius dan transformatif guna mengatasi kehilangan keanekaragaman hayati dan mengatur alam di jalan menuju pemulihan." (rs/hp)