Orang Indonesia Tak Percaya Manusia Penyebab Perubahan Iklim
16 Mei 2019Survei yang dilakukan sebuah komunitas global yakni YouGov, menyebutkan bahwa 18 persen orang Indonesia meyakini bahwa perilaku manusia bukanlah penyebab perubahan iklim saat ini. Sementara 6 persen lainnya percaya bahwa iklim di dunia tidaklah berubah. Survei tersebut dilaksanakan YouGov dalam kurun 28 Februari hingga 26 Maret silam.
Indonesia sendiri menempati peringkat pertama sebagai Negara yang membantah terjadinya perubahan iklim terkait alsan tersebut dari 23 negara yang dilakukan survey. 25 persen orang Indonesia percaya manusia menjadi aktor utama terjadinya perubahan iklim, 29 peren menyatakan factor lain yang mnjadi penyebab, dan 21 persen sisanya menjawab tidak tahu.
Arab merupakan Negara kedua yang 16 persen penduduknya juga percaya bahwa manusia bukan penyebab terjadinya perubahan iklim, disusul Amerika sebesar 13 persen, Afrika Selatan 11 persen, Meksiko 10 persen, dan Mesir 10 persen.
Untuk di Indonesia sendiri survey diambil dari sebanyak 1.001 responden. Dalam rilis resminya, YouGov melakukan beberapa kateogori dalam surveynya. Dalam kategori yang menyatakan pemanasan global merupakan teori konspirasi, 8 persen orang Indonesia mendukung pernyataan tersebut. Kemudian, 87 persen orang Indonesia lebih memilih membeli produk dalam negeri dibandingkan produk impor, dan 93 persen orang Indonesia juga lebih memilih untuk membeli produk ramah lingkungan.
Brazil dan Turki sebanyak 55 persen penduduknya yakin perubahan iklim saat ini disebabkan oleh perilaku manusia, disusul oleh Italia sebesar 48 persen. 34 persen dari 1.497 responden di Jerman juga yakin bahwa perubahan iklim kini disebabkan oleh manusia.
Sebagai perbandingan dengan Negara tetanggaThailand, hanya 6 persen dari penduduk Negeri Gajah Putih ini yang tidak percaya bahwa manusia adalah penyebab perubahan iklim, 78 persen lebih memilih membeli produk dalam negeri, dan 88 persen memilih untuk membeli produk ramah lingkungan.
Berlakukan pajak karbon
Dari survey tersebut, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Nur Hidayati, dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya masyarakat Indoeisa sudah menyadari akan adanya ancaman perubahan iklim, walaupun tidak sepenuhnya memahami penyebab perubahan iklim tersebut. Dilihat dari angka 53 persen yang dirasa oleh Nur cukup tinggi, menjadi awalan yang baik untuk diberikan pendidikan dan pemahaman lebih lanjut mengenai isu ini. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perubahan iklim.
"Apalagi yang tidak percaya bahwa perubahan iklim adalah akibat perbuatan manusia jumlahnya besar. Ini akan jadi kerja keras untuk memberi pemahaman dan selanjutnya dalam upaya mitigasi atau penurunan emisi gas rumah kaca,” ujar Nur saat diwawancarai DW Indonesia.
Menurut Nur, berdasarkan laporan IPCC tahun 2018, dalam Perjanjian Paris disepakati pembatasankenaikan suhu global berada di rentang 1,5 – 2 derajat celcius, namun kenyataannya tidak demikian. Disitu juga tertulis bahwa 90 persen penyebab perubahan iklim diakibatkan oleh aktivitas manusia.
"Emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim bisa dilihat dari beberapa sumber. Pelepasan gas rumah kaca dari aktivitas industri dan lain-lain yang menngunakn bahan bakar fosil dan dari perubahan atau konversi hutan dan deforestasi,” pungkas Nur.
Sementara itu dalam kunjungannya ke Fiji, Sekjen PBB, Antonio Guterres, meminta para pemimpin dunia untuk memberlakukan pajak karbon. Menurutnya hal ini penting untuk memerangi isu perubahan iklim. Pemanasan global dan naiknya permukaan laut mengancam merendam negara-negara yang berada di dataran rendah.
"Wilayah Pasifik berada di garis depan perubahan iklim. Itu berarti Anda juga sekutu penting kami dalam perang melawannya(perubahan iklim),” ujar Guterres dikutip dari laman resmi United Nations News.
Guterres juga menyoroti naiknya suhu yang menyebabkan hilangnya es di kawasan Greenland dan Antartika baru-baru ini. Ia pun menegakan jikalau kondisi ini terus belanjut, pada tahun 2100 mendatang permukaan air laut akan naik satu meter penuh.
Dengan pemberlakuan pajak karbon, penghentian pembangunan pembangkit batubara baru, dan percepatan penutupan pembangkit yang sudah ada, diharap Guterres mampu menjadi solusi dalam memerangi isu perubahan iklim.
rap/ap (dari berbagai sumber)