Imbauan dan Bantuan Sosial Bikin Warga tidak Mudik?
9 April 2020Presiden Joko Widodo pada Kamis (09/04) kembali mengumumkan berbagai macam kebijakan bantuan sosial baru bagi masyarakat di tengah pandemi COVID-19.
Bantuan sosial baru itu mencakup bantuan khusus sembako untuk warga Jabodetabek dan bantuan sosial tunai bagi warga di luar Jabodetabek.
Khusus bagi warga DKI Jakarta, Presiden Jokowi menyebutkan bahwa pemerintah pusat akan memberikan bantuan khusus sembako kepada 2,6 juta jiwa warga DKI atau sekitar 1,2 juta Kepala Keluarga. Besarannya adalah 600 ribu rupiah yang akan diberikan selama 3 bulan.
“Alokasi anggarannya senilai 2,2 triliun rupiah,” kata Jokowi melalui siaran langsung di laman youtube Sekretariat Presiden, Kamis (09/04).
Untuk warga yang tinggal di wilayah Bogor, Tangerang dan Bekasi, Jokowi menyebut akan memberikan bantuan sembako bagi 1,6 juta jiwa atau sekitar 576 ribu KK, sebesar 600 ribu rupiah per bulan selama periode 3 bulan. Total anggaran untuk bantuan ini sebesar 1 triliun rupiah.
Masyarakat yang tinggal di luar Jabodetabek juga akan menerima bantuan sosial tunai. Bantuan ini akan diberikan kepada 9 juta KK yang tidak menerima bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH) maupun bantuan sosial sembako. Besarannya 600 ribu rupiah per bulan selama periode 3 bulan. Total anggaran untuk bantuan ini adalah 16,2 triliun rupiah.
Selain kedua jenis bantuan sosial itu, Jokowi juga menjabarkan, sebagian dana desa juga akan segera dialokasikan untuk bantuan sosial di desa. Bantuan sosial dengan total anggaran 21 triliun rupiah itu akan diberikan kepada kurang lebih 10 juta keluarga penerima dengan besaran 600 ribu rupiah/bulan selama 3 bulan. Sementara, program padat karya tunai di kementerian-kementerian dengan total anggaran sebesar 16,9 triliun rupiah juga ia sebut akan diperkuat.
‘Jurus’ agar warga tidak mudik
Di momen yang sama, Jokowi mengatakan bahwa penyaluran bantuan sosial khususnya bagi warga Jabodetabek diberikan agar “warga mengurungkan niatnya untuk mudik”.
Presiden mengakui bahwa dari awal, pemerintah sudah melihat bahwa mudik lebaran bisa menyebabkan meluasnya penyebaran COVID-19 dari Jabodetabek ke daerah-daerah tujuan. Oleh karenanya, pemerintah “menganjurkan warga untuk tidak mudik”.
Seperti dikutip dari Forbes, pada Juni tahun lalu lebih dari 20 juta warga Indonesia melakukan mudik lebaran, dan pakar kesehatan masyarakat memperingatkan bahwa hal ini bisa menjadi ‘bom’ dari kasus COVID-19 di Indonesia.
Pemerintah memang belum secara resmi mengeluarkan larangan mudik bagi warga. Sebagai gantinya, pemudik diharuskan melakukan isolasi mandiri selama 14 hari setelah sampai ke kota tujuan dan 14 hari setelah kembali ke Jakarta atau kota lain. Pemerintah daerah pun diwajibkan mendirikan fasilitas kesehatan yang dibutuhkan.
Ketika ditanya terkait kemungkinan pemberian sanksi bagi masyarakat yang tetap mudik meski sudah menerima bantuan sosial, Jokowi menyebut masih harus dilakukan evaluasi secara detail di lapangan.
“Nanti akan ada evaluasi dan kemungkinan juga kita akan memutuskan hal yang berbeda setelah evaluasi di lapangan itu kita dapatkan,” ujar Jokowi.
Presiden RI itu mengakui bahwa pemerintah telah mengkalkulasi adanya dua kelompok pemudik yang tidak bisa begitu saja untuk “dilarang-larang”. Pertama, kelompok pemudik yang pulang kampung karena masalah ekonomi dan PHK akibat corona, dan kelompok warga yang melakukan mudik karena tradisi puluhan tahun.
“Pembatasan mudik dan kemungkinan adanya larangan akan kita putuskan setelah melalui evaluasi-evaluasi di lapangan”, tambah Jokowi.
Perlukah sanksi agar warga tidak mudik?
Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rachmawati menilai komunikasi persuasif dengan mengedepankan insentif seperti bantuan sosial, akan efektif membuat warga patuh terhadap imbauan pemerintah, baik dalam hal mudik maupun penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Meski begitu, yang perlu diwaspadai menurutnya adalah mekanisme pembagian bantuan sosial dari pemerintah. Artinya, perlu ada pendataan yang tepat terkait orang yang berhak menerima bantuan.
“Jangan sampai kemudian mekanismenya justru menimbulkan gesekan di lapangan. Karena ketika bicara bantuan mesti dipastikan ketika orang sudah menerima bantuan, tidak kemudian berkerumun lagi,” ujar Devie saat dihubungi DW, Kamis (09/04).
Selain itu, ia menyebut bahwa “kebijakan insentif itu akan lebih persuasif nyata dilakukan dalam waktu yang cepat, terukur dan sistematis”.
“Kalau itu cuman wacana, akan membuat masyarakat kemudian tidak percaya diri dan akhirnya memutuskan untuk bertahan hidup, mereka akan mudik,” ujarnya.
Di sisi lain, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, Agus Pambagio menilai bahwa kebijakan pemerintah mengimbau warga untuk tidak mudik tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan sanksi hukum yang jelas. Menurutnya, imbauan pemerintah dengan tidak melarang warga untuk mudik sebagai sebuah kebijakan yang ambigu.
“Kalau kita bicara lebaran ya jangan mudik! Dilarang saja mudik!”, ujar Agus saat dihubungi DW, Kamis (09/04).
“Tapi kan keputusan pemerintah tidak melarang, dianjurkan tidak mudik atau disilahkan mudik tetapi mengikuti tata cara karantina. Kalau kita mudik nanti terus disana pemerintah daerahnya tidak terima misalnya, kan kita ga bisa mudik juga?” tambahnya.
Perihal bantuan sosial pemerintah, ia menyebut bahwa hal itu memang sudah seharusnya diberikan kepada warga. “Mau mudik atau tidak harus dibantu karena mereka sektor informal sudah tidak ada pelanggannya yang beli,” ujarnya.
“Orang yang lapar sudah semakin banyak. Ketika orang lapar ini didiamkan dia akan jadi social unrest jadi kriminal dan sebagainya. Itu akan menyulitkan pemerintah dan kita semua rakyat. Jadi memang itu harus diurus dikasih makan, dikasih uang bansos,” tambah pengamat kebijkan publik dari UI itu.
Lebih jauh Agus mencontohkan bahwa di negara-negara lain, sanksi untuk mencegah penyebaran virus corona justru diberlakukan dengan sangat tegas, mulai dari denda sampai ditembak mati. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mencegah penyebaran virus corona.
“Sekali lagi kebijakan tanpa ada sanksi itu ga bisa,” ujarnya.
“(diterapkan) sanksi karena ini tidak main-main, ini bukan soal sakit panu atau kadas, ini adalah wabah virus” tambahnya.
gtp/as (dari berbagai sumber)