Cukupkah PP No. 77 Tahun 2019 Perangi Terorisme?
25 November 2019Presiden Joko Widodo (Jokowi) diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan.
Peraturan yang ditandatangani presiden pada tanggal 12 November 2019 ini menjelaskan langkah-langkah pencegahan tindak pidana terorisme seperti program kesiapsiagaan nasional, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi.
Bagaimana pengamat terorisme dari Jurnal Intelijen, Stanislaus Riyanta, terkait penerbitan PP ini? Berikut wawancara DW Indonesia.
Deutsche Welle: Presiden Jokowi telah meneken PP Nomor 77 Tahun 2019 tentang Pencegahan Tindak Pidana Terorisme dan Pelindungan terhadap Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan. Apakah menurut Anda PP ini mampu menjadi panduan pemerintah dalam memerangi terorisme?
Stanislaus Riyanta: Ini salah satu alat untuk mencegah terjadinya radikalisme di aparat. Pertemuan mereka dengan para napiter (narapidana terorisme) itu sangat intens, mulai dari penyidik, penjaga tahanan, penjaga lapas. Karena itu dikembangkan PP yang mengatur program kontraradikalisasi terhadap mereka. Ini supaya mereka ada benteng, tidak terpapar. Ini untuk menghindari, misalnya mereka yang seharusnya melakukan deradikalisasi malah jadi yang terpapar. Sudah ada beberapa kasus dari kepolisian yang terpapar, jadi ini adalah langkah untuk menghindari kasus itu bertambah lagi. Ini langkah yang maju sehingga program perang terhadap radikalisme itu semakin kuat.
Terobosan apa saja yang bisa dilakukan dalam memecahkan masalah terorisme dan radikalisme dari hulu hingga hilir?
Programnya ada dua. Pertama, mengubah paham radikal jadi tidak radikal. Orang yang sudah terpapar dimasukkan program agar ia tidak radikal lagi. Kedua, program kontraradikalisasi. Jadi bagaimana melawan paham radikal sehingga orang yang belum terpapar tidak akan terkena, jadi semacam benteng. Memang BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sudah melakukan itu, tetapi menurut saya kurang kuat karena tidak melibatkan masyarakat secara luas.
Masyarakat perlu dilibatkan karena mereka yang pertama kali kenali paham-paham radikal. Biasanya ketika orang berperilaku radikal yang pertama mengenal itu keluarganya atau masyarakat. Deteksi dini harus diajarkan kepada masyarakat agar mereka yang terpapar dapat ditangani sejak dini agar tidak mengarah ke terorisme. Di era kemarin, tanggung jawabnya ada di Menko Polhukam, sekarang langsung di Wapres.
Di Indonesia sendiri, sebenarnya apa hal utama yang menjadi motif tindakan terorisme dan radikalisme?
Ada dua kelompok besar, kelompok yang berkaitan dengan Al-Qaeda dan ISIS. Al-Qaeda ini yang dulu namaya al-Jama'a al-Islamiyya, sekarang mereka sedang konsoliasi menjadi sleeper cell dalam jumlah yang cukup banyak. Dari kelompok ISIS yang sekarang ada JAD, JAT, MIT, dan lain-lain.
Tujuan keduanya sebenarnya mendirikan negara khilafah, tujuan politik. Cara-cara yang mereka gunakan memang dengan kekerasan, tetapi mereka mengatasnamakan agama. Agama ini sebagai daya tarik. Sebenarnya kita harus lakukan assessment (penilaian) ketika ada orang terpapar paham radikal, apakah dia memang punya tujuan politik atau dia menjadi korban propaganda. Ini perlu ada penilaian lebih detil.
Kriteria orang seperti apa yang kini mereka (teroris) incar dalam menyebarkan paham radikal?
Media sosial sekarang jadi alat penting untuk propaganda, cara paling efektif karena mereka bisa menyebarkan dan bisa dilihat oleh siapa pun. Berbeda dengan era dulu. Kalau al-Jama'a al-Islamiyya mereka tatap muka orang per orang, jadi waktunya cukup lama untuk meyakinkan orang untuk ikut kelompok mereka. Kalau sekarang cukup cepat, apalagi dengan fenomena di mana orang hanya menganggap kebenaran pada apa yang mereka sukai.
Saya kurang setuju dengan pendekatan-pendekatan ekonomi dan pendidikan tertentu. Sebagai contoh, ada orang yang cukup mampu tetapi terpapar paham radikal juga. Ada kasus petinggi di BP Batam dan mantan PNS Kementerian Keuangan yang juga terpapar paham radikal. Ini mematahkan asumsi bahwa orang dari kalangan ekonomi rendah mudah terpapar. Termasuk pendidikan, S2 saja juga ada yang terpapar.
Ini bukan masalah ekonomi atau pendidikan tapi mereka memang rentan. Lalu mereka melihat ada sesuatu yang menarik, ada ideologi yang membuat mereka tertarik, ya sudah masuk. Semakin gencar paparan ideologi yang masuk, kerentanannya cukup tinggi, tidak punya benteng, ya sudah, jadi itu.
Saat ini menjadi perbincangan bahwa definisi radikalisme dinilai banyak pihak tidak tepat sasaran, tanggapan Anda?
Harusnya definisi itu dipertegas. Saya membatasi radikalisme adalah orang yang mempunyai paham radikal yang menggunakan cara kekerasan untuk meraih tujuan. Biasanya tujuan mereka adalah tujuan politik. Karena mereka mempunyai tujuan seperti ingin menegakkan negara khilafah atau kalau di dalam kelompok-kelompok Papua separatis ingin memisahkan diri dari NKRI. Ini kan mereka punya tujuan/agenda politik.
Ada juga orang yang melakukan kekerasan tapi tidak punya tujuan politik, hanya ekonomi. Ini bukan radikal, ini kriminal. Biasanya kriminal kalau setelah melakukan kekerasan dan mendapatkan manfaat ekonomi, dia pergi menghilangkan jejak, tidak menampakkan diri. Kalau radikal, dia ekspos diri, sengaja pamer. Harus disepakati dulu oleh seluruh pemangku kepentingan supaya tidak terjadi konflik definisi. Saya setuju kalau radikal itu disebut saja anti-Pancasila, parameternya dia tidak setuju Pancasila, tidak setuju lima sila yang ada.
Baca juga: BNPT Pertimbangkan Ganti Istilah Radikalisme
Apa yang perlu ditingkatkan oleh pemerintah dalam melakukan langkah-langkah preventif terkait masalah terorisme maupun radikalisme?
BNPT perlu lebih maksimal lagi membangun ketahanan nasional, dalam arti masyarakat disadarkan akan bahaya radikalisme. Masyarakat diberi wake up alarm, ini loh sudah bahaya, segara lakukan deteksi dini. Jadi paling penting melibatkan masyarakat, BNPT tidak bisa sendirian menangani seperti ini.
Lalu bagaimana Anda melihat sikap pemerintah sejauh ini terhadap para pelaku tindak pidana terorisme? Yang terbaru, pemerintah telah mengangkat istri terpidana pelaku bom Bali Umar Patek sebagai WNI.
Harus tegas terhadap pelaku kejahatan luar biasa, namun pembinaan juga perlu. Bagi teroris yang sudah jalani hukuman dan mau membantu pemerintah privilege itu wajar. Pendekatan restorative justice, ini bagian dari upaya deradikalisasi. (ae)
Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Rizki Akbar Putra dan telah diedit sesuai konteks.