Taring Padi: "Kami Lihat Kisruh Ini Sebagai Proses Belajar"
1 Juli 2022Dua minggu lalu, sebuah baliho karya kolektif Taring Padi di ajang pameran seni documenta fifteen di Jerman dicabut, setelah terpampang selama beberapa hari, karena dikategorikan mengandung penggambaran antisemitisme. Di Baliho besar berjudul "People's Justice" yang diturunkan itu ada gambar barisan tentara. Salah satu tentara dilukis bersyal Bintang Daud dengan mengenakan helm dengan tulisan "Mossad", badan intelijen Israel. Bintang Daud adalah simbol yang digunakan NAZI Hitler untuk memusnahkan warga Yahudi di Eropa.
Di dekatnya ada juga gambar seorang pria berjanggut di kanan kiri pipinya, bermata merah, bergigi runcing dan berhidung bengkok, figur karikatur yang juga sering digunakan NAZI untuk mendiskreditkan warga Yahudi. Di baliho Taring Padi, figur itu digambar mengenakan topi bersimbol SS, satuan NAZI yang dulu sangat ditakuti karena kebrutalannya.
Bagaimana Taring Padi yang juga hadir di Kassel menyikapi situasi itu? DW Indonesia datang ke Kassel, kota tempat berlangsungnya documenta fifteen, dan berbicara dengan Bayu Widodo dan Muhammad "Ucup" Yusuf dari Taring Padi.
DW Indonesia: Bagaimana kabar kalian hampir dua pekan setelah peristiwa pencabutan baliho People's Justice (2002)?
Ucup: Yang jelas kami memang terkejut, ada sesuatu yang kemudian tidak sesuai dengan rencana yang sudah kami persiapkan lama. Kami juga berkonsultasi dengan pihak documenta tentang kerja-kerja dan program-program Taring Padi yang ada di Kassel ini akan berjalan, karena itu juga merupakan rangkaian kerja yang dilakukan Taring Padi. Namun kemudian dihilangkan atau diturunkan, atau apalah namanya, sehingga membuat rangkaian program lainnya, (hasilnya) tidak maksimal sebagaimana yang Taring Padi harapkan.
Bayu: Sebagai pekerja seni, kami melihat situasi ini sebagai pembelajaran bagi kami. Kami tetap sehat dan berkarya.
Waktu pertama kali mendengar kabar bahwa baliho itu harus diturunkan, bagaimana perasaan kalian?
Ucup: Kami terkejut, bahwa di negara maju, terjadi hal yang pernah kita alami di negara berkembang, artinya tidak ada perbedaan dalam melihat sebuah karya seni. Ketika ada isu sensitif, tidak ada dialog atau lainnya, dieksekusi dulu, tanpa ada dialog.
Jadi tidak ada dialog saat itu?
Ucup: Tidak ada.
Bayu: Seperti yang dikatakan Ucup, kami masih terkejut dengan situasi itu. 24 jam setelah acara pembukaan, bagaimana rasanya seniman yang bekerja secara kolektif, ketika karyanya diturunkan? Pertama jelas, kami tidak mendapat konfirmasi, tidak ada dialog, tidak ada diskusi tentang apa yang kita kerjakan dalam karya itu. Pekerjaan kami jadi tidak bisa berlanjut karena beberapa hal yang harus kami persiapkan jadi terkendala.
Apakah karena harus rapat-rapat terus membahas hal tersebut?
Bayu: Ya. Kami harus meeting, harus mempersiapkan…. Karena yang menjadi bagian kerja kami di gambar besar People's Justice (2002) itu sebuah instalasi besar, bukan sekadar bannernya, tetapi ada ribuan wayang kardus, yang kami kerjakan selama hampir dua tahun. Taring Padi datang ke documenta sebagai aksi solidaritas. Karya-karya itu berasal dari berbagai komunitas, latar belakang, daerah, suku, dan lain sebagainya.
Siapa yang memutuskan pencabutan baliho?
Ucup: Yang pertama yang kami tahu, awalnya ada tekanan dari media sosial, yang kemudian kami juga tidak tahu…Sebenarnya Taring Padi tadinya memutuskan untuk menutup karya itu dengan kain hitam, kemudian sempat terlontar gagasan untuk dijadikan "Monument of Mourning”. Tapi kemudian sehari setelahnya karya itu diturunkan.
Siapa yang menurunkannya?
Ucup: Mereka yang biasa memasang dan menurunkan banner, tapi siapa yang memerintahkan mereka, itu kami belum tahu dengan jelas.
Saat diturunkan, kalian menolak atau menerima keputusan itu?
Bayu: Ya pasti kami berdiskusi, mengobrol dengan situasi terkejut. Taring Padi di documenta Kassel itu jadi bagian dari seniman. Kami berdiskusi tentang karya itu setelah ada tekanan di media sosial. Kami coba berdiskusi (dengan seniman lainnya). Sebuah karya bisa jadi multitafsir, kami tidak mau masalahnya jadi panjang. Oleh sebab itu ditutup dengan kain hitam sebagai bentuk monumen kedukaan dari sebuah karya.
Kalian merasa tertekan, stres, atau sedih?
Ucup: Situasi membuat stres. Tapi media sosial yang membuat kami lebih stres. Namun kami tetap bekerja, membuat sesuatu untuk program kami.
Mengapa kalian membawa baliho lama yang sudah berusia 20 tahun? Mengapa tidak membuat baliho yang baru?
Ucup: Judul dari banner itu kan "People's Justice”, keadilan rakyat. Artinya, itu memang menjadi tonggak dari aksi solidaritas yang kami bangun selama ini dalam proses mengikuti documenta – yang programnya selama dua tahun ini kami kerjakan. People's Justice itu menjadi simbol dari aksi solidaritas kami. Kami coba kontekstualkan ke arah sana. Selama ini, kekerasan dan semacamnya masih terjadi di muka bumi, entah terhadap individu, komunitas atau negara dan lain-lainnya. Itu yang kami tentang, karena kekerasan bukan solusi.
Apa kalian tidak mendengar bahwa sejak Januari lalu sudah ada perdebatan soal tuduhan antisemitisme dalam penyelenggaraan documenta, yang disangkutpautkan dengan ruangrupa sebagai kurator documenta fifteen?
Bayu: Tentu kami mendengar dan ada diskusi di kalangan kami. Tetapi di dalam khazanah kebudayaan Indonesia, isu antisemitisme itu jarang sekali terdengar, sehingga kami tidak mengetahui secara detail, gamblang dan jelas, apa sebenarnya antisemitisme itu, atau hukum tertentu di Jerman tentang hal ini dan hal itu. Kami dari Indonesia tidak mengetahui hal ini, hal itu. Karena kami di Indonesia tidak mengetahui secara mendetail apa isunya, sehingga apa yang kami gambarkan tentang sebuah kekerasan negara disinggungkan ke sana. Kami jelas menyatakan Taring Padi bukan antisemit. Taring Padi selalu terbuka terhadap keberagaman, karena hal itu adalah hak asasi manusia.
Tapi ada detail gambar yang kontroversial di dalam baliho itu, apa kalian sudah tahu sebelumnya tentang detail gambar itu, atau baru menyadari setelahnya?
Ucup: Beberapa imajinasi itu berkembang ketika kita melakukan kerja-kerja visual. Jadi ketika menggambarkan kekerasan negara yang ada di sebuah negara lain, kami mungkin saja mengambil ikon-ikon yang familiar, yang sebenarnya kami tidak tahu secara detailnya. Itu yang mungkin terjadi sehingga wujud itu hadir di sana. Tapi kami berpendapat, orang tidak bisa mengeksekusi bahwa karya itu tentang antisemitisme, karena ada bagian yang buruk itu. Karena ada yang baik yang sebenarnya ingin kami tawarkan dan ingin kami coba eksplorasi di kehidupan bersama. Jika hanya fokus pada satu bagian itu, itu jadi seperti memotong sesuatu. Ada beberapa orang memiliki intensi khusus terhadap bagian tertentu, padahal sebenarnya Taring Padi lebih membicarakan masalah secara global. Jadi ada orang atau kelompok yang kemudian memiliki persepsi khusus terhadap gambar itu dan tidak melihat ide dasar Taring Padi seperti apa. Jadi hal itu yang tidak ditangkap.
Sekarang kalian sudah mengakui ada kesalahan dengan bagian gambar itu, dan kalian sebenarnya ingin agar orang memahami pesan baliho itu secara keseluruhan, maksudnya begitu?
Bayu dan Ucup: Ya...
Dalam banyak figur karya Taring Padi, misalnya pada wayang-wayang kardus, digambarkan berwajah babi, mengapa demikian?
Ucup: Bukan hanya babi, kami juga menggambar anjing atau tikus. Dengan babi kita menggambarkan tentang kerakusan. Jika kita menggambar anjing, itu alat kekerasan, kekejaman, simbol-simbol seperti itu. Kalau tikus, itu simbol korupsi. Itu simbol-simbol yang di Indonesia sendiri sangat wajar.
Tapi sebagian orang juga mengganggap anjing itu hewan yang baik dan lucu...
Ucup: Ya, babi juga ada yang seperti itu. Ada juga babi yang baik. Hal tersebut adalah imajinasi yang terealisasikan dalam bentuk karya seni. "Dia berpakaian apa”… itu menggambarkan perilaku, bukan fisik binatang itu, gambaran manusia yang berperilaku seperti binatang, yang hanya mengumbar nafsu, tidak peduli dengan hal lainnya.
Siapa yang menggambar tentara bertulis Mossad dengan syal Bintang Daud dan karikatur yang mendiskreditkan Yahudi?
Bayu: Susahnya begini... People's Justice dibuat tahun 2002, pasca reformasi, setelah Taring Padi ikut menurunkan kediktatoran Soeharto. Tahun 2002 itu menjadi fase di mana kami, sebagai anak muda, menyuarakan segala sesuatu secara lebih terbuka, karena sensor waktu itu tidak begitu ketat lagi.
Tapi siapa yang menggambar bagian itu?
Ucup: Kami coba mengusutnya.. sulit..
Bayu: Gambar People's Justice itu dikerjakan berhari-hari. Bisa saja orang saling merespons. Misalkan saja Ucup menggambar sketsa kambing, lalu ada yang memberi warna pada kambing itu. Taring Padi juga tidak menilai secara detail itu lukisan dari siapa. Jadi sulit untuk bisa menilai ini gambarnya Ucup, atau Bayu, atau siapa.., karena ini adalah karya kolektif.
Sebenarnya documenta kali ini berusaha membangun jembatan dialog bagi Dunia Selatan dengan Dunia Barat, tapi sekarang terjadi debat sengit karena gambar ini. Apakah artinya rencana dialog itu jadi berantakan, bagaimana orang-orang bereaksi?
Ucup: Tidak sebegitu sebenarnya. Ketika kami berjumpa warga Kassel, face to face, kami menjadi sangat akrab dan saling sapa, kami jadi saling tukar pikiran, saling memahami. Jadi ada proses belajar yang lebih intensif dari apa yang kami bayangkan, dan jadi lebih menarik.
Di documenta fifteen ada ratusan seniman. Bagaimana reaksi mereka? Apa mereka kesal dan marah kepada kalian karena baliho itu?
Bayu: Tidak ada yang marah. Hingga kini tidak ada yang marah, kalau dari kalangan seniman. Taring Padi menjadi bagian dari seniman.lumbung. Jadi setelah kejadian yang menimpa kami, ada diskusi satu hari tentang bagaimana respons mereka terhadap apa yang terjadi dengan karya Taring Padi. Itu menarik buat kami, karena semakin menguatkan jaringan kami, dengan komentar dan dukungan mereka. Juga selama pameran di Hallenbad, di Kota Kassel ini. Ini adalah sebuah arsip besar, perjalanan aktivisme Taring Padi dari 1998 sampai 2022. Tentu ada budaya dan bahasa berbeda. Itu penting bagi Taring Padi agar bisa bersosialisasi dan berdiskusi.
Setelah kalian minta maaf, apa langkah berikutnya?
Ucup: Kami sudah membuat pernyataan, sudah kami komunikasikan. Itu bentuk pertanggungjawaban kami. Kami di sini akan berusaha keras menyelesaikan program-program yang sudah kami rencanakan. Meskipun ada beberapa tekanan, tapi semangat kami di sini untuk berkarya dan menggalang solidaritas harus berlanjut, karena itu itulah niat dan semangat kami dari awal.
Bagaimana orang-orang Jerman memperlakukan kalian setelah riuhnya perdebatan ini?
Bayu: Kami banyak bertemu langsung orang-orang di Hallenbad, mereka bertanya tentang apa yang terjadi, banyak respons… Kami tak menganggap ini sebagai sebuah bencana. Sebagai manusia, mereka punya opini berbeda. Ada yang misalnya secara detail mengamati gambar-gambar Taring Padi. Ada juga teman-teman yang banyak bertanya apa hubungan karya Taring Padi dengan situasi di Jerman sendiri. Ada beberapa ibu-ibu yang datang pasca kejadian itu dan mereka membawa roti dan kopi, kami makan dan ngopi bareng, ada yang menulis "with love in solidarity”. Hal-hal seperti itu juga menguatkan kami. Jadi, dalam kasus ini sudah ada pernyataan sikap, bahwa kami meminta maaf atas atas kejadian ini. Kini, semua ini menjadi ruang diskusi dan belajar bagi Taring Padi. (hp/as)