Eropa Harus Lebih Menarik Mahasiswa Asing
30 Maret 2013Ketika Ketua Komisi Eropa José Manuel Barroso menginformasikan jurnalis tentang krisis Siprus, seorang mahasiswa dari Benin berbicara di mikrofon di ruang pers Komisi di Brussel. Bellarminus Kakpovi kuliah komunikasi politik di Brussel. Tapi jalan menuju universitas di Eropa baginya tidak mudah, antara lain karena sulit mendapat visa. "Untuk visa ke Belgia, saya menunggu lebih dari tiga bulan. Rekan saya yang ke Perancis, sudah memperolehnya dalam dua pekan. Saya tidak mengerti mengapa di Uni Eropa pengurusan visa begitu berbeda."
Kopkavi sedang diundang Komisaris Urusan Dalam Negeri Eropa Cecilia Malmström yang memperkenalkan programnya untuk memperbaiki situasi mahasiswa dari negara-negara dunia ketiga. Sebelum politisi itu berbicara, ia memberi kesempatan mahasiswa dari Afrika berbicara dan menceritakan pengalamannya tentang birokrasi Eropa.
Pertukaran antar Negara Anggota Sulit
Setiap tahun lebih dari 200 ribu mahasiswa dan ilmuwan dari negara non Uni Eropa berkesempatan datang ke Eropa untuk waktu terbatas. Namun proses di negara anggota Uni Eropa tidak seragam. Setiap negara menetapkan aturan masing-masing mengenai pemberian akses mahasiswa dan ilmuwan asing ke perguruan tingginya. Juga pertuakaran dari satu negara ke negara lainnya sulit.
Agar lokasi pendidikan Uni Eropa lebih menarik bagi ilmuwan dari negara dunia ketiga dan dapat bersaing dengan AS dan Australia, Komisi Eropa kini ingin menyeragamkan syarat kedatangan dan memperbaiki kondisinya bagi akademisi muda. Untuk ke depan permohonan visa di seluruh anggota UE akan ditetapkan batas waktu seragam, maksimal 60 hari. Pertukaran antar universitas di negara UE akan dipermudah. Selain itu direncanakan mahasiswa sedikitnya boleh bekerja 20 jam per minggu.
Perlu Upaya Berikutnya
Ulrich Grothus dari Deutsche Akademische Austausch Dienst (DAAD) juga berpendapat, bahwa Eropa harus lebih menark bagi mahasiswa dari dunia ketiga. Baginya poin lain yang menentukan, "Di Jerman, permintaan akan jurusan Master berbahasa Inggris jauh lebih besar dari yang ditawarkan." Di sini perlu ada peningkatan.
Selain itu pengakuan ijazah luar negeri yang memungkinkan akses ke perguruan tinggi tidak boleh dinilai kolektif berdasarkan negara asal, melainkan harus dinilai secara individual. "Seorang warga Amerika mungkin dapat mendaftar ke universitas terbaik di negaranya, tapi di Jerman ijazah itu belum cukup untuk mendapat ijin menempuh kuliah."
Karena itu Grothus mengusulkan pengkajian individual pendaftar universitas dari luar negeri. Sejauh mana tercapai standar seragam di Uni Eropa, karena sistem pendidikan yang berbeda di negara-negara anggota, masih diragukan.
Langkah ke Arah yang Benar
Sandra Haseloff, kepala bagian di Yayasan Alexander von Humboldt yang mengurus kerjasama ilmuwan, memandang usulan baru Uni Eropa sebagai langkah penting. "Saya pikir dan berharap, akan terjadi kemudahan lebih besar. Ini menyangkut pengurusan permohonan visa, tapi juga mobilitas mahasiswa di dalam Uni Eropa, misalnya jika menulis program doktoral antar negara."
Peluang ijin kerja 20 jam per minggu, dipandang Haseloff cukup tinggi untuk program kuliah penuh. Saat ini peraturan Jerman menetapkan, mahasiswa asing boleh bekerja penuh 120 hari atau 240 untuk kerja setengah hari. Kerja praktek, meskipun tidak dibayar, sudah termasuk di dalamnya. Parlemen Eropa dan Dewan Eropa kini akan membahas usulan itu. Komisi Eropa mengharap usulan itu mulai berlaku tahun 2016.