Halau Tabu, Perempuan Pakistan Gunakan Tinder
14 Agustus 2020Faiqa adalah pengusaha perempuan berusia 32 tahun di Islamabad, dan seperti banyak perempuan lajang muda di seluruh dunia, dia menggunakan aplikasi kencan untuk terhubung dengan pria.
Meskipun kencan kasual untuk perempuan masih dianggap kurang pantas di Pakistan yang konservatif dan sangat patriarkal, fenomena baru ini dengan cepat menyebar di kota-kota negara itu.
Faiqa telah menggunakan aplikasi kencan Tinder selama dua tahun, dan dia mengatakan meskipun pengalaman itu terasa "membebaskan", banyak pria Pakistan tidak terbiasa dengan gagasan bahwa perempuan mengambil kendali atas seksualitas dan kehidupan kencan mereka. Perempuan Pakistan kerap dituntut untuk menjaga "kehormatan" keluarga.
"Saya telah bertemu dengan beberapa pria di Tinder yang menggambarkan diri mereka sebagai 'feminis berpikiran terbuka', namun mereka pun masih bertanya kepada saya: 'Mengapa gadis terhormat dan berpendidikan seperti Anda jadi anggota aplikasi kencan?“ demikian Faiqa menceritakannya kepada DW.
Kencan online tumbuh di Asia Selatan
India memimpin pasar kencan online di Asia Selatan, dan Pakistan perlahan-lahan mengikutinya. Sebuah studi yang dibuat oleh Jurnal Kajian Komunikasi menemukan bahwa sebagian besar pengguna Tinder di Pakistan berasal dari kota-kota besar termasuk Islamabad, Lahore dan Karachi dan biasanya berusia antara 18 dan 40 tahun.
Aplikasi kencan lain juga semakin populer. MuzMatch hanya melayani muslim yang mencari teman kencan. Bumble, meskipun relatif baru di pasar kencan online, adalah aplikasi favorit di antara banyak feminis Pakistan.
"Ada lebih sedikit pria di Bumble, oleh karena itu terasa lebih aman untuk digunakan. Tinder terkenal dan seseorang yang Anda kenal dapat melihat Anda, membuatnya tidak nyaman," kata Nimra, seorang mahasiswi dari Lahore.
Namun, banyak perempuan muda di Pakistan menggunakan aplikasi itu. "Dengan aplikasi kencan, seorang perempuan dapat memilih apakah dia menginginkan ‘cinta satu malam’, hubungan jangka panjang, atau yang lainnya. Sulit bagi perempuan untuk melakukan ini secara terbuka dalam budaya kami, itulah sebabnya aplikasi kencan memberi mereka kesempatan yang tidak akan mereka temukan di tempat lain," ujar Nabiha Meher Shaikh, seorang aktivis feminis dari Lahore.
Menjelajahi seksualitas dalam masyarakat konservatif
Sophia, seorang peneliti berusia 26 tahun dari Lahore, mengatakan kepada DW bahwa dia menggunakan Tinder untuk mengeksplorasi "seksualitas tanpa batas".
"Saya tidak peduli jika orang menilai saya. Masyarakat akan selalu menilai Anda, jadi mengapa repot-repot mencoba menyenangkan mereka?" paparnya.
Namun, tidak semua perempuan pengguna Tinder seterbuka Sophia. Sebagian besar profil perempuan Pakistan di Tinder tidak mengungkapkan identitas lengkap mereka, dengan foto yang hanya menampilkan wajah yang terpotong, foto tangan atau kaki dengan bidikan jarak dekat, wajah tertutup rambut atau hanya jari yang kukunya dicat.
"Jika kami mencantumkan nama asli atau foto kami, kebanyakan pria cenderung menguntit kami. Jika kami tidak menanggapi, mereka bisa menemukan kami di media sosial dan mengirim pesan-pesan aneh," kata Alishba, yang berusia 25 tahun dari Lahore.
Dia juga menunjukkan standar ganda berkencan, dengan menjelaskan bahwa pria yang sudah menikah di Tinder sering menggunakan pernikahan mereka yang "gagal" sebagai alasan untuk berkencan dengan perempuan lain.
Fariha, seorang blogger berusia 28 tahun, menggunakan Tinder selama satu tahun. "Saya selalu memilih untuk bertemu pria di tempat umum sampai saya merasa aman. Tapi ada satu pria yang terus mengundang saya ke tempatnya. Pria sering beranggapan bahwa perempuan akan melakukan hubungan seksual jika mereka terus meminta," katanya kepada DW.
Tidak ada lagi yang 'mempermalukan dan memberi label'
Pengenalan aplikasi kencan di Pakistan juga menantang tabu yang memicu perdebatan tentang seksualitas perempuan, hubungan seks konsensual dan seks yang aman.
Bagi sebagian orang, meningkatnya popularitas aplikasi kencan mengungkapkan sejauh mana kontrol negara atas tubuh perempuan dan pilihan pribadi individual.
Sekretaris Jenderal Partai Islam Jamaat-e-Islami, Ameer ul Azeem mengatakan kepada DW bahwa "para gadis dan pria muda yang menggunakan aplikasi ini bertemu secara diam-diam karena mereka juga menyadari bahwa hal itu salah."
"Di dunia Barat, sistem hukum yang ketat melindungi perempuan dari pelecehan. Di Pakistan, perempuan tidak dapat dilindungi jika terjadi pelecehan seksual selama dalam pertemuan rahasia seperti itu, karena undang-undang mengenainya tidak ada."
Zarish, seorang seniman yang tinggal di Lahore, mengatakan kepada DW bahwa perempuan seharusnya "tidak lagi dikendalikan oleh penghinaan dan pelabelan." Dia mengatakan Pakistan memiliki banyak "masalah yang lebih besar" yang membutuhkan perhatian segera dan oleh karena itu harus berhenti terobsesi dengan "apa yang dilakukan masyarakat biasa dalam kehidupan pribadi mereka."
"Pilihan dan keinginan individual saya mewakili saya sebagai pribadi, bukan keluarga saya atau kehormatan masyarakat," kata Zarish.