Hijrah: Antara Identitas dan Kekuasaan
23 Januari 2018Belakangan ini banyak pemuda di kota besar Indonesia—terutama saya perhatikan di Bandung dan Jakarta—yang "hijrah” ke kehidupan beragama yang tekun dengan ritual dan khotbah. Banyak di antara mereka adalah musisi, bintang film, wartawan, dan berbagai pesohor lainnya. Bahkan aksi hijrah itu bisa ekstrem sampai seorang mantan musisi melakukan aksi bakar gitar segala, demi menunjukkan mereka telah sepenuhnya membuang masa lalu, dan menegaskan kepada semua orang bahwa musik adalah haram.
Tentu bukan hal yang salah jika mereka hijrah untuk mendapatkan kedamaian. Tapi pertanyaannya kenapa mereka bisa hijrah dan apakah kedamaian yang mereka terima juga menjadi kedamaian orang lain?
Saya menduga, mereka memutuskan hijrah karena tidak mendapatkan kedamaian dari aktivitas yang sebelumnya mereka lakukan. Kegalauan itu, saya pikir, muncul karena mereka sudah tak bisa lagi mendapatkan dan memberikan arti dari yang mereka lakukan. Misalnya, seorang musisi sudah tidak tahu lagi alasan menjadi musisi: entah karena bosan atau karena musik memang bukan jalan hidupnya.
Ada kehampaan yang mereka rasakan
Misalnya, seorang wartawan yang meliput jenis berita yang sama setiap hari, sampai dia tidak tahu lagi apa manfaat pemberitaan itu bagi dirinya dan bagi masyarakat. Padahal kalau mereka mau menyelami dunia jurnalisme, banyak sekali yang bisa mereka lakukan, dan tidak bertentangan dengan agama yang mereka yakini.
Ada satu cerita lucu yang saya dengar dari seorang kawan. Seorang wartawan yang hijrah ke kegiatan keagamaan, tiba-tiba merasa harus bertanya kepada gurunya atau ustadnya, terkait masalah uang yang biasa dia terima dari narasumber-narasumbernya. Pertanyaan dia, apakah uang itu haram atau halal dalam sudut pandang Islam.
Uniknya, sang ustad tidak langsung memberi jawaban, karena dia merasa harus mempelajari dulu nilai-nilai di dalam jurnalisme. Beberapa waktu kemudia, sang ustad memiliki jawabannya: uang pemberian narasumber haram bagi wartawan!
Wartawan yang hijrah ini kaget, karena dia selalu menerima jika diberi uang oleh narasumbernya. Dan itu artinya dia telah memakan uang haram. Maka dia pun memberi tahu kawan-kawannya sesama wartawan hijrah, bahwa uang dari narasumber itu haram hukumnya di dalam Islam. Kawan-kawannya kaget dengan fatwa itu. Mereka kemudian berdiskusi, dan kesimpulannya ajaib: "Kamu yang meminta fatwa itu kepada ustad, jadi uang dari narasumber itu haram buatmu, sedangkan kami tidak meminta fatwa itu, jadi buat kami uang itu tidak haram.”
Itu kisah yang menurut saya ajaib: bagaimana fatwa seorang guru agama bisa diterjemahkan lain, bahkan bisa dihindari dengan menggunakan dalil "saya tidak meminta fatwa itu”. Lalu apa makna hijrah bagi mereka, jika hal itu tidak membuat perilaku mereka jadi lebih baik?
Menurut saya, hijrah dalam konteks seperti yang saya paparkan di atas, adalah demi identitas. Orang-orang yang melakukannya pasti sedang mengalami krisis identitas, sehingga muncul pertanyaan: untuk apa saya hidup? Apa gunanya yang saya lakukan? Demi siapa saya bekerja? Dan lain-lain.
Dengan berhijrah kembali ke agama, mereka akan mendapatkan satu jawaban pasti: semua alasan dan tujuan hidup kita hanya untuk Tuhan. Lalu selesailah persoalan: tak peduli etika kerjamu buruk, tak peduli kualitas pekerjaanmu buruk, tak peduli apa manfaat pekerjaanmu bagi orang lain, selama itu demi kejayaan Tuhan dan agamamu, hal-hal itu tidak lagi jadi persoalan. Karena yang terpenting ibadah ritualmu dilakukan dengan tertib dan tak usah banyak bertanya lagi.
Identitas itulah yang mereka dapatkan, tapi ada bahaya yang mengancam ketika seseorang merapatkan identitasnya pada dogma dan agama: bahwa siapa pun yang berbeda adalah salah dan tidak sejalan dengan aturan Tuhan. Maka tak heran, jika banyak kelompok yang sudah hijrah itu terlibat aktif dalam memprotes praktik agama orang lain, bahkan ikut meminta agar kelompok agama yang dianggap sempalan dibubarkan negara.
Di titik inilah, identitas akan beriringan dengan keinginan atas kekuasaan. Seperti diungkap seorang kawan saya –dia hobi membaca Foucault terutama teorinya tentang hegemoni dan kekuasaan—bahwa dengan berhijrah secara sadar atau tidak mereka sadari, mereka ingin mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan dalam hal ini bukan semata keinginan untuk berkuasa di pemerintahan formal, tapi kekuasaan dalam tataran informal. Misalnya, mereka bisa mendapatkan legitimasi keagamaan untuk tindak tanduk mereka, atau untuk mendominasi orang lain secara individu maupun secara kelompok. Dan seperti yang kita ketahui, agama bagi mereka adalah nilai-nilai yang tak boleh diperdebatkan.
Baca juga:
Survei: Populasi Muslim di Eropa Akan Meningkat
Lalu bagaimana reaksi publik terhadap gerakan hijrah ini?
Saya yakin sebagian besar menerimanya sebagai sesuatu yang positif tanpa diragukan lagi. Tapi ada juga kelompok-kelompok kecil yang meresponnya dengan cantik: menggelar diskusi terbuka tentang agama dan penafsirannya, sebagai tantangan terhadap kelompok pengajian yang mengajarkan nilai-nilai agama hanya dari satu arah (dari ustad atau guru agama kepada anggota kelompoknya).
Saya masih menunggu, apa hasilnya dari pertarungan itu. Saya khawatir, siapa pun yang kemudian jadi kuat, akan tergoda juga pada penempelan identitas dan nasfu atas kekuasaan. Seperti pernah disampaikan oleh seorang dosen filsafat di Bandung bertahun-tahun lalu dalam ceramahnya di sebuah institut seni: tesis bahwa agama itu candu, terbukti di Indonesia belakangan ini. Oleh sebagian orang agama dijadikan alat untuk mencandu: mendapatkan kedamaian di dalam diri sendiri, tapi kepada orang lain dia merusak.
Saya khawatir itu terjadi, seperti juga terjadi di belahan dunia lain, seperti yang ditulis oleh Amin Maalouf melalui bukunya In The Name of Identity atau seperti yang diungkap oleh Amartya Sen dalam bukunya Identity and Violence.
Semoga tidak demikian hasilnya kelak.
Penulis: Zaky Yamani (ap/vlz), jurnalis dan novelis
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.