Humor Gelap Berbeda dengan Humor Tak Berselera
30 Mei 2020Seorang komedian Indonesia disikat khalayak karena menjadikan Covid-19 bahan lawakannya. Lawakannya dianggap tak punya empati dan sekadar cari sensasi. “Gong Xi Fa Cai!” demikian si komedian membuka lawakannya. “Apakah di Tiongkok pas angpao dibuka isinya virus corona?”
Sebut saja komedian ini Choki-Choki. Saya tak ingin kian mengerek ketenarannya dengan menyebut namanya. Benar. Bukan kali ini saja Choki-Choki menuai kontroversi. Sebelumnya, ia menyerang orang-orang yang mengatakan banjir sebagai azab maksiat. Ketika banjir melanda Jakarta di awal tahun, semua terkena dampaknya. “Kalau tahu sama-sama kena banjir, mending semalam mabok....,” tulisnya.
Sebelumnya lagi? Ia bersama rekannya memasak daging babi dengan sari kurma. “Bagaimana jika sari-sari kurma masuk ke pori-pori [daging babi]?” tanya Choki-Choki. “Apakah cacing pitanya jadi mualaf?”
Humor Gelap sebagai Misi
Anda merasa lawakan-lawakan tersebut keterlaluan? Bila Anda berpikir demikian, pandangan Anda sepihak dengan sebagian besar publik yang merespons candaan Choki-Choki. Hanya segelintir yang membela ekspresi pelawak bersangkutan, dan terlihat bahwa yang segelintir ini telah akrab dengan kiprahnya. Pelawak-pelawak lain pun mengkritiknya.
Choki-Choki, dalam pengakuannya setidaknya, tak berkelakar dengan kepala kosong. Ia tidak sekadar ingin menarik perhatian publik melainkan datang dengan misi yang terdengar heroik—menyelamatkan humor Indonesia dari kejumudan. Humor di Indonesia, katanya, cenderung monolitik. Humor di Indonesia pun dijauhkan dari tema-tema yang lebih keras dengan asas, katakanlah, SARA. Choki-Choki, karenanya, ingin membiasakan publik dengan humor gelap, humor yang tak takut menjadikan pamali sebagai bahan tertawaan.
Adakah yang salah dengan ini? Ada. Ia bisa digunakan untuk menyelubungi usaha-usaha menggaet sensasi yang tidak jenaka dan bahkan dungu sebagai humor.
Dari tiga lawakan Choki-Choki di atas, katakanlah, adakah yang bahkan pantas untuk disebut lucu? Saya tidak yakin ada. Choki-Choki bilang selera humor berbeda-beda. Lucunya, ia jelas-jelas sadar dengan potensi kata-katanya menyinggung banyak orang. Mengapa ia tidak sadar bahwa banyak orang juga bisa bilang kelakarnya tersebut norak?
Bebas Tapi Sopan
Saya sebenarnya paham mengapa humor bisa bercabang menjadi humor gelap. Lawakan, memang, acap kali melabrak pamali serta hal-hal sensitif. Humor telah lama diteliti dan ada beberapa teori mengapa manusia menganggap sesuatu jenaka. Saya tak ingin terlalu mendetailkannya. Yang pasti, para pengkaji sepakat seseorang tertawa karena dirinya merasa superior atau karena ia menjumpai hal yang tidak pada tempatnya—paradoks, sebut saja.
Ambil saja kata-kata yang sempat diucapkan Homer Simpson, tokoh dari serial The Simpsons. “Kamu telah mencoba sebaik-baiknya dan kamu gagal total,” Homer menasihati anaknya. “Pelajaran moralnya… tak usah mencoba.” Pernyataan ini menjadi lawakan ikonik dari serial kartun bersangkutan. Ia jenaka karena penonton mengira Homer akan menasihati dengan bijak, sebagaimana orang tua pada wajarnya. Sebaliknya, Homer malah melunturkan motivasi anaknya.
Cak Lontong dari Indonesia Lawak Club acap kali memainkan kartu serupa. “Pekerjaan seberat apa pun akan terasa ringan apabila tidak dikerjakan,” ujar Cak Lontong. Ungkapan Cak Lontong tersebut memelintir apa yang kita bayangkan akan kita dapatkan dari ungkapan motivasi. Awalnya, kata-katanya terdengar seolah hendak memotivasi. Namun, isinya justru melunturkan motivasi. Dan perhatikan, kejenakaan di atas juga muncul dari keberhasilan menghina pihak lain. Siapa yang terhina? Para motivator dan ungkapan-ungkapannya. Ungkapan-ungkapan motivasi klise mereka jadi terdengar konyol.
Dengan potensinya ini, lawakan juga acap menjadi alat membongkar hierarki—menistakan mereka yang pada hari-hari biasa berada di posisi lebih tinggi atau berkuasa. Hierarki yang lumrah menjadi sasaran banyak pelawan Barat ialah hierarki agama, dan di Indonesia pada kurun Orde Baru, negara. George Carlin, misal, pernah berkelakar sebagai berikut: “Saya punya otoritas yang sama dengan Paus. Hanya saja, yang percaya saya tak sebanyak orang yang percaya Paus.” Di tembok-tembok kampus pada masa Orde Baru, contoh lainnya, muncul tulisan “bebas tapi sopan” yang mengejek pernyataan-pernyataan pejabat di Indonesia yang serba kontradiktif.
Ketika mendengar ekspresi-ekspresi di atas, kita merasa lebih superior dibandingkan otoritas yang ada.
Lebih Kompleks
Hanya saja, kelakar Choki-Choki cuma sukses memainkan kartu superioritas tanpa mengatur paradoksnya secara cerdas. Ia lucu? Mungkin. Namun, kejenakaannya tak lebih untuk kalangan yang sangat terbatas. Toh, humornya semata bertumpu pada bagaimana ia menjadikan dirinya atau pendengarnya yang terbatas tampak lebih superior ketimbang kelompok agamis.
Dan hal yang tak diperhitungkannya adalah potensi lawakannya melanggengkan prasangka. Dengan melekatkan orang Tiongkok dengan corona, ia bisa memperparah prasangka rasis yang sudah banyak berdampak pada kekerasan terhadap orang Asia di banyak negara. Hal yang membahayakan semacam ini tak bisa dibela dengan argumentasi kebebasan berekspresi. Ada alasan yang sangat masuk akal mengapa banyak aktivis menekankan perkosaan tak boleh dijadikan lawakan. Ia bisa menumpulkan kepekaan kita terhadap betapa traumatisnya pengalaman perkosaan bagi korbannya.
Humor gelap lebih kompleks dari sekadar mencerca orang lain. Benar kata sebuah ungkapan. “Humor gelap seperti makanan. Tidak semua bisa mendapatkannya.”
@gegerriy
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Silakan bagi komentar Anda atas opini di atas pada kolom di bawah ini.