Indonesia Butuh Lebih dari Sekadar Pemerataan Listrik
29 Juli 2020Di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang ini kebutuhan akan energi menjadi sesuatu yang tidak dapat dielakkan. Energi listrik semakin jadi kebutuhan utama di kala aktivitas kerja hingga belajar dilakukan dari rumah. Namun, bagi mereka yang belum mendapat akses listik tentu akan semakin mempersulit aktivitas di saat pandemi. Berdasarkan laporan Tracking SDG 7: The Energy Progress Report 2020 yang dipublikasikan Mei lalu, sebanyak 789 juta orang tidak memiliki akses energi listrik.
Pemerintah Indonesia sendiri telah menargetkan rasio elektrifikasi nasional dapat mencapai angka 99,99 persen di akhir tahun 2020. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dalam acara peresmian proyek ketenagalistrikan nasional pertengaan bulan ini, menyampaikan hingga April 2020 rasio elektrifikasi nasional telah mencapai 98,93 persen.
Namun, berbicara soal akses energi dalam konteks pembangunan manusia tidak hanya soal capaian rasio elektrifikasi. Hal tersebut disampaikan oleh Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam sebuah diskusi online.
“Kita harus melihat bagaimana kualitas akses energi, kehandalannya, kecukupannya, keterjangkauannya, penerimaan masyarakat, kelayakan lingkungan, dan manfaat sosial ekonomi berganda yang diciptakan oleh akses energi,” papar Fabby, Selasa (28/07).
Meski pemerataan akses listrik di Indonesia sudah semakin meningkat pesat, tetapi Fabby menekankan bahwa “kualitas aksesnya berbeda.”
Ia menjelaskan bahwa Bank Dunia telah mengembangkan model pengukuran multi-tier framework (MTF) untuk mengukur akses listrik rumah dengan fokus durasi ketersediaan listrik, kecukupan listrik, dan kegunaan listrik. Model pengukurannya dibagi lima tingkatan dimana semakin tinggi tingkatan semakin baik pula kualitas akses.
“Misalnya yang ada di NTT kami mengukur dengan multi-tier framework, desa-desa itu sebagian besar kualitas aksesnya ada di Tier 2 dan Tier 1. Sementara kita yang ada di Jawa sebagian besar, atau di kota-kota besar relatif kita menikmati di Tier 5 minimum Tier 4,” tutur Fabby.
Pemanfaatan energi terbarukan
Fabby pun mendorong pemerintah memaksimalkan energi terbarukan untuk mendukung pembangunan manusia, tidak serta merta hanya soal ketersediaan listrik.
”Tapi (digunakan) juga untuk apa? Dan untuk bisa menjawab kebutuhan paling dasar, itu energinya harus disediakan dengan teknologi apa? Harus sesuai dengan sumber dayanya, dan seberapa besar?” jelasnya.
Menurutnya penyediaan listrik dengan metode perluasan jaringan tidak selalu cocok dengan kondisi wilayah-wilayah yang belum memiliki akses listrik tersebut. Penyediaan listrik secara off-grid bisa jadi salah satu solusi. “Kalau pakai surya itu solar home system, untuk individual rumah. Caranya seperti itu.”
Berdasarkan laporan SDG 7, hingga tahun 2017 jumlah konsumsi energi dari energi terbarukan hanya mencapai 17,3 persen. Indonesia sebagai salah satu di antara 20 negara dengan total konsumsi listrik terbesar tercatat mengonsumsi listrik dari energi terbarukan kurang dari 10 persen. Pasalnya, Indonesia masih menggantungkan penggunaan listrik yang bersumber bahan bakar fosil. Ini menyejajarkan Indonesia bersama Pakistan dan Nigeria sebagai negara yang paling rendah mengonsumsi listrik dari energi terbarukan. Padahal disebutkan Indonesia memiliki banyak potensi energi terbarukan berasal dari tenaga air, angin, dan surya.
Aliri listrik 433 desa
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Subdirektorat Pengembangan Listrik Pedesaan dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementeian ESDM, Budianto Hari Purnomo, mengatakan saat ini pihaknya tengah fokus mengejar target pemerataan akses elektrifikasi di tahun 2020. Ia menjelaskan hingga sekarang masih ada 433 desa tersebar di Indonesia timur yang sama sekali belum teraliri listrik.
Senada dengan Fabby, pria yang akrab disapa Hari ini menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan kualitas elektrifikasi. Hal ini sudah masuk ke dalam Road Map RUPTL PLN 2019-2028.
“Ke depannya yaitu untuk meingkatkan kualitas elektrifikasi dengan peningkatan jam nyala, penggantian LTSHE (Lampu Tenaga Surya Hemat Energi), elektrifikasi desa berlistrik non PLN, dan SAIDI SAIFI,” ujar Hari.
Dalam mencapai target pemerataan akes elektrifikasi tersebut, Hari menjelaskan pemerintah mengutamakan pemanfaatan energi terbarukan sesuai dengan kondisi daerah yang ada. Salah satunya dengan memanfaatkan teknologi tabung listrik (Talis), yakni tempat penyimpanan listrik portable.
Talis adalah sebuah bentuk inovasi bagi dunia listrik Indonesia yang masih sangat bergantung pada metode konvensional dalam melakukan distribusi listrik. Nantinya Talis dapat diisi di stasiun pengisian energi listrik bertenaga surya, piko hidro, biomassa, dan bayu.
“Sedangkan untuk yang tersebar 306 desa dengan tabung Talis,” katanya.
Lebih lanjut, Hari menjelaskan kapasitas terpasang nasional hingga Mei 2020 tercatat sebesar 70,9 GW. Dari angka tersebut, 14,70 persen di antaranya berasal dari kapasitas pembangkit energi baru terbarukan (EBT). Hari menyampaikan pemerintah terus menggenjot program 35.000 MW untuk meningkatkan kualitas akses energi listrik di Indonesia. Hingga saat ini, penyelesaian pembangkit baru mencapai angka 8.137 MW. Program yang ditargetkan rampung pada tahun 2025 pun berpotensi molor hingga 2029.
Pemerintah sendiri memiliki target bauran energi terbarukan minimal 23% pada tahun 2025 mendatang yang dicanangkan dalam PP No. 79/2014 tentang Kebijakan Umum Nasional dan Perpres No. 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional. Namun, target tersebut bakal urung tercapai dengan kondisi pertumbuhan ekonomi yang stagnan di angka lima persen. Terlebih lagi pada tahun ini pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan tumbuh negatif di tengah krisis pandemi.
rap/pkp (dari berbagai sumber)