Presiden Joko Widodo berada dalam daftar nomor 12 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia tahun 2021 menurut Pusat Studi Strategis Islam Kerajaan yang berpusat di Amman, ibukota Yordania. Dari 500 tokoh dari berbagai kalangan dan negara, Jokowi sudah masuk jajaran Top 50 selama tiga tahun berturut-turut, mulai dari posisi nomor urut ke-16, menanjak ke posisi ke-13 dan tahun ini urutan ke-12.
Situs resmi penyelenggara pemilihan tokoh muslim dunia tersebut, TheMuslim500.com memuat kutipan Presiden Jokowi, “Islam Indonesia bukanlah Islam Arab; tidak harus jubah, tidak harus memakai sorban. Yang terpenting substansinya, akhlak Islam, jubah, celana, sarung, apapun itu.” Kutipan Presiden Jokowi tersebut sangat relevan bukan hanya untuk pemeluk Islam di Indonesia yang semakin terarabisasi, tetapi juga untuk umat Islam dunia yang makin terbelah antara kutub Sunni dan kutub Syiah, antara Arab Saudi dan Iran.
Rivalitas Dua Kutub Islam
Para pemerhati geopolitik paham betul perpecahan dalam Islam menjadi dua aliran besar Sunni dan Syiah terjadi pada abad ke-6 Masehi, hingga makin tegang setelah Revolusi Iran tahun 1979 yang melahirkan Republik Islam Iran, negara Syiah yang mengekspor ideologi dan menanam pengaruh politik di kawasan hingga Iran berhasil merebut pengaruh di Irak pada masa Saddam Hussein. Sejak 2003 pengaruh Iran menjalar dari Irak ke Suriah, Lebanon, Yaman dan Bahrain, negara-negara yang memiliki penganut Syiah. Arab Saudi sebagai tempat kelahiran Islam secara alamiah ditempatkan sebagai pemimpin Sunni. Apalagi Kerajaan Arab Saudi adalah penjaga dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah.
Sama seperti Iran, Arab Saudi juga mengimpor ideologi Wahabisme hingga ke Indonesia melalui institusi pendidikan, buku dan ulama-ulama. Sejauh ini Indonesia bisa menjadi negara mayoritas Sunni yang tidak antipati terhadap Iran meski di level masyarakat terjadi letupan friksi antara Sunni dan Syiah, misalnya dengan pengusiran pemeluk Syiah di Sampang, Madura tahun 2012 serta pelarangan acara hari raya Karbala dan kehadiran organisasi massa Aliansi Anti-Syiah Nasional tahun 2015 di Bogor, Jawa Barat. Namun dalam konteks geopolitik, Indonesia tidak terpeleset masuk dalam rivalitas kedua kutub.
Wibawa Indonesia di Tengah Pusaran Geopolitik Islam
Kemampuan Indonesia dalam menjaga jarak dari drama geopolitik dunia Islam patut diapresiasi. Indonesia cukup luwes membangun hubungan dengan Iran, tanpa membuat Arab Saudi sebagai kekuatan Islam Sunni, melotot pada Indonesia. Indonesia berhasil menjaga kewibawaan sebagai negara yang netral, tidak terjebak dikotomi perbedaan aliran sementara Malaysia, negara tetangga terdekat Indonesia terjerumus drama geopolitik dunia Islam ketika menyelenggarakan KTT Kuala Lumpur Desember 2019 silam. Perdana Menteri Malaysia Mahathir Muhammad tidak mengundang Arab Saudi yang dipandang sebagai pemimpin dunia Islam Sunni, sebaliknya justru Iran datang dalam acara itu.
Akibat ketidakhadiran Arab Saudi, KTT Kuala Lumpur 2019 cukup tidak sukses secara hasil sebab hanya dihadiri tiga kepala negara: Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Emir Qatar Tamim bin Hamad Al Thani dan Presiden Iran Hassan Rouhani. Bisa dikatakan ketiga negara itu justru mendapat sorotan negatif dari negara-negara Arab. Bukan rahasia umum lagi jika Iran berhasil membangun milisi-milisi Syiah di sejumlah negara seperti Suriah, Irak, Yaman atau mempersenjatai kelompok teroris Hizbullah di Libanon dan Hamas di Palestina. Tahun 2017 Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Mesir, Bahrain dan Yaman putus hubungan dengan Qatar karena mendukung terorisme. Sedangkan Turki menghabiskan duit negaranya untuk berperang di Suriah, Libya dan Azerbaijan agar eksis di mata dunia Islam. Pakistan dan Indonesia diundang Mahathir tetapi memilih tidak datang. Kepiawaian Indonesia dalam menjaga “jaga jarak aman” bisa menjadi modal untuk memimpin dunia Islam karena Indonesia menjadi aktor yang dapat merebut kepercayaan kedua kubu.
Liga Arab & OKI Mati Suri
Peran Indonesia yang mumpuni untuk dunia Islam semakin terbuka setelah negara-negara Arab, satu persatu terbelit masalah internal. Tragedi perang Suriah masih hangat dalam ingatan, Libanon muncul dengan problem kebuntuan reformasi politik dan kegagalan ekonomi. Libya tampaknya akan sibuk menghadapi tentara bayaran dari Suriah, sementara warga Palestina menyaksikan pertikaian politik antara Hamas dan Fatah yang menambah persoalan Palestina. Liga Arab yang beranggotakan 22 negara saat ini tidak mempunyai pemimpin organisasi setelah Palestina mengundurkan diri karena kesepakatan damai Uni Emirat Arab dan Israel September 2020. Libya, Qatar, Komoro, Kuwait dan Libanon menolak posisi kursi empuk pimpinan Liga Arab yang ditinggalkan Palestina.
Bisa dibilang saat ini Liga Arab kehilangan kekuatan dan kehabisan pengaruh sejak normalisasi hubungan dengan Israel dijalin oleh Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko dan Sudan. Maroko sebagai tempat kelahiran Organisasi Kerjasama Islam justru menjadi negara Islam yang paling toleran terhadap Yahudi dengan mengakui sistem rabinik sebagai patokan hukum pemeluk Yahudi di Maroko. Fakta sejarah menunjukkan Maroko menerima Perdana Menteri Israel Shimon Peres dan Yitzhak Rabin meski tidak ada hubungan diplomatik. Mesir dan Yordania sebagai negara pendiri Liga Arab dan kalah perang dengan Israel malahan sudah lebih dulu berdamai dengan Israel. Sementara Sudan menjadi lokasi pertemuan Liga Arab tahun 1967 yang melahirkan kesepakatan 3 NO yang menjadi pegangan negara-negara Arab yakni tidak berdamai dengan Israel, tidak mengakui Israel dan tidak negosiasi dengan Israel; justru ikutan gerbong normalisasi hubungan dengan Israel.
Selain Liga Arab, masih ada Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang beranggotakan 57 negara. Sejauh ini OKI belum banyak berperan dalam menyelesaikan kasus Rohingya di Myanmar, sengketa Kashmir atau Uyghur di Xinjiang, China. OKI tidak mengeluarkan pernyataan kritik kepada pemerintah China yang dinilai melanggar hak asasi manusia dalam deradikalisasi muslim Uyghur. Gambia, negara yang membawa kasus Rohingya ke Pengadilan Internasional (IJC) terpaksa harus meminta OKI untuk patungan guna mendanai upaya mencari keadilan bagi Rohingya yang membutuhkan dana lima juta dolar Amerika. Tahun 2015 OKI pernah meminta bantuan Indonesia untuk menangani konflik Yaman. Namun perang antara kelompok Houthi yang dibeking Iran melawan pemerintah Yaman yang didukung Arab Saudi makin membesar sehingga bisa dikatakan tidak satupun negara Liga Arab atau OKI secara lembaga yang mampu menyelesaikan konflik internal dalam dunia Islam sendiri. Karena itulah Indonesia sebagai negara mayoritas Islam yang netral sesungguhnya bisa mengambil peran sebagai pemimpin dunia Islam. Apalagi prinsip diplomasi Indonesia adalah bebas dan aktif, aktif mendukung ketertiban dan perdamaian dunia.
Indonesia Sebagai Pemimpin Dunia Islam
Februari 2018 ketika membuka Kongres HMI di Ambon, Presiden Joko Widodo menyatakan Indonesia bisa menjadi rujukan kemajuan bagi negara-negara Islam dan bahkan membantu negara-negara muslim tersebut. Presiden Jokowi menyebut Indonesia punya modal besar sebagai pemimpin dengan merujuk pada sederet fakta: Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, sebagai negara demokratis ketiga terbesar di dunia dan sebagai negara di ASEAN yang masuk dalam kelompok G-20 atau negara ekonomi kuat. Tetapi yang terutama adalah Islam Indonesia adalah moderat, toleran, modern dan terbuka untuk kemajuan. Presiden Jokowi menegaskan, Indonesia bisa menjadi pemimpin dunia Islam jika ekonomi Indonesia kuat.
Semua yang dikatakan Presiden Jokowi itu benar, tidak ada yang keliru. Bahkan Presiden Jokowi sebetulnya pantas untuk membanggakan keislaman di Indonesia sebagai Islam dalam keimanan, bukan Islam politik, sebagaimana yang dihadapi negara-negara Islam saat ini. Namun persoalannya, Islam Indonesia yang moderat, toleran, modern dan terbuka pada kemajuan itu masih terganjal sejumlah intoleransi di dalam negeri. November silam misalnya, sekitar 270 pemeluk Syiah dari Sampang memilih baiat untuk menjadi Sunni agar bisa pulang ke kampung halaman setelah delapan tahun hidup di penampungan.
Alih-alih berhasil mencari solusi damai bagi minoritas Syiah, pemerintah justru tak berdaya menghadapi kemauan mayoritas. Setara Institut dalam pernyataan pers Hari Toleransi Sedunia 16 November 2020 menyatakan kepemimpinan pemerintah Presiden Jokowi dan jajarannya lemah sehingga menguatkan intoleransi di Indonesia. Data Setara Institut menunjukkan kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi pada periode pertama kepemimpinan Jokowi mencapai 846 peristiwa dan periode kedua turun mencapai 200 peristiwa. Namun tindakan pelanggaran yang dilakukan negara masih cukup besar yakni sebanyak 168 kasus. Belum lagi kasus ekstremisme dan teror yang menyasar warga minoritas, seperti yang terjadi di Sigi, Sulawesi Tengah November lalu.
Kasus kekerasan yang menimpa warga sipil, termasuk umat minoritas di Sulawesi Tengah sudah beberapa kali terjadi dalam kurun waktu bertahun-tahun sehingga pemerintah perlu mencari cara lebih lagi guna memberikan perlindungan dan rasa aman bagi warga. Hal ini tentu saja bukan hanya berlaku di daerah konflik tetapi juga untuk semua warga negara, apa pun agama dan keyakinannya.
Perlu diakui, menjaga harmonisasi dalam keberagaman di Indonesia yang berpenduduk 270 juta jiwa tentu tidak mudah. Tetapi pemerintah yang tegas -tanpa perlu menjadi otoriter-, tidak pilih kasih dalam hukum dan menjamin hak setiap pemeluk agama tentu dapat melahirkan sebuah bangsa yang toleran, keberagaman sebagai identitas Indonesia. TheMuslim500.com mengutip pernyataan Presiden Jokowi sebagai berikut: “Pluralisme selalu menjadi bagian dari DNA Indonesia. Meski banyak tantangan, Islam di Indonesia selalu menjadi kekuatan moderasi.” Sebagai seorang minoritas di Indonesia, saya yakin orang Indonesia memiliki DNA pluralisme meski masih banyak yang sulit menerima pembangunan gereja, sentimen anti-Yahudi masih kental, orang Tionghoa masih dipandang sekadar keturunan bukan orang asli Indonesia atau rasisme terhadap orang Papua.
Saya juga yakin jauh dalam lubuk hati orang Indonesia yang cinta damai itu, sesungguhnya tidak anti-Israel. Justru narasi-narasi yang disampaikan pemerintah itulah yang menumbuhkan penolakan pada Israel di tengah arus normalisasi Israel dan negara-negara Arab. Padahal berhubungan dengan Israel tidak akan membuat Indonesia dikucilkan oleh dunia internasional. Mesir, Yordania dan Turki, negara mayoritas Islam dengan jumlah penduduk 84 juta jiwa adalah negara yang termasuk lebih dulu berhubungan dengan Israel pada tahun 1990-an dan mempunyai hubungan dagang aktif, tidak ketiban problem gara-gara berhubungan dengan Israel. Sejarah membuktikan Israel bukan faktor negatif dalam konteks geopolitik dunia Islam.
Tahun-tahun mendatang adalah kesempatan bagi Indonesia untuk mengambil alih kepemimpinan dunia Islam melalui tindakan-tindakan konkrit yang memberikan solusi bagi problem dunia Islam masa kini. Indonesia bisa menjadi mediator damai antara Yaman, Arab Saudi dan Iran seperti yang diharapkan oleh OKI. Indonesia bahkan bisa menjadi mediator damai Israel dan Palestina sejak dulu, bukan Amerika Serikat melulu. Kebuntuan mediasi antara Afghanistan dan Taliban yang diinisiasi Amerika Serikat bisa dilanjutkan oleh Indonesia. Indonesia bisa berperan mewujudkan kerjasama antara negara-negara Sunni dan Syiah tanpa hambatan karena Indonesia berdiri atas nama akhlak Islam Indonesia yang berkontribusi pada peradaban Islam. Semoga Indonesia bisa menghadirkan wajah Islam Nusantara yang Berkemajuan, memberikan warna-warni yang indah bagi dunia, rumah kita bersama.
@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.