Inilah Pasal Bermasalah dalam RUU Anti Terorisme
15 Mei 2018Tekanan terhadap pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menguat setelah serangkaian serangan teror di Surabaya dan Jakarta. Presiden Joko Widodo bahkan mengultimatum bakal menerbitkan Perppu jika DPR gagal mengesahkan revisi tersebut hingga setelah masa reses berakhir.
Namun menerbitkan RUU Anti Teror lewat jalur cepat memicu kekhawatiran aktivis HAM. Pasalnya draft revisi terhadap UU No.15/2003 yang terbit sejak era Megawati itu ditengarai sarat pelanggaran hak asasi. Inilah sejumlah pasal yang dinilai kontroversial oleh sejumlah fraksi di DPR dan berbagai organisasi kemanusiaan, antara lain Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Institute for Criminal Justice Reform, Human Rights Watch dan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia.
Definisi Terorisme
"Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: Tindak Pidana Terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini." - Pasal 1
Pembahasan mengenai Definisi Tindak Pidana Terorisme di DPR mulai digelar pada 3 Februari 2017 lalu. Pemerintah sederhananya tidak menginginkan pencantuman definisi terordalam RUU. Sejumlah fraksi di DPR menuntut agar RUU mencantumkan frasa 'tujuan politik, motif politik atau ideologi.' Namun pemerintah berdalih, rumusan tujuan dan motif politik bisa mempersempit upaya pembuktian di pengadilan.
Saat ini sejumlah fraksi di DPR, TNI dan Polri masing-masing sudah mengantongi definisi terorisme versi sendiri. Namun pemerintah menolak pembahasan detail definisi karena sudah disebutkan dalam Pasal 6 dan 7 RUU Terorisme. Pemerintah diklaim juga akan mengusulkan pembahasan definisi tidak diteruskan agar RUU Terorisme bisa segera disahkan.
Masa Penahanan
"Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan terhadap tersangka dalam waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari" - Pasal 25 (2)
"Jangka waktu penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diperpanjang oleh penutut umum dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari.” - Pasal 25 (3)
"Untuk kepentingan penuntutan, penahanan yang diberikan oleh penuntut umum berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari.” - Pasal 25 (4)
"Jangka waktu penahanan untuk kepentingan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diperpanjang oleh hakim pengadilan negeri dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari." - Pasal 25 (5)
"Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari." - Pasal 28
Selama 781 hari tersangka teroris bisa ditahan sejak masa pemeriksaan hingga proses persidangan, antara lain 200 hari selama proses penyelidikan dan penyidikan, 90 hari untuk proses penuntutan dan 470 hari untuk proses pengadilan. Kedua pasal tersebut disepakati pemerintah dan DPR sejak Juni 2017 silam.
Namun Kontras mengkhawatirkan lamanya masa penahanan berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM menyusul masih adanya "praktik penyiksaan di lingkungan penegak hukum." Kedua pasal ini juga ditengarai mencederai hak tersangka untuk mendapat proses peradilan yang cepat dan sederhana.
Penyadapan
"Berdasarkan paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah, penyidik berwenang: a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara Tindak Pidana Terorisme yang sedang diperiksa; b. dan Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan dan melaksanakan Tindak Pidana Terorisme, atau untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme” - Pasal 31
Pemerintah berusaha mempermudah prosedur perizinan penyadapan dalam kasus terorisme. Dalam rancangan revisi awal, pemerintah menghapus syarat penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Namun gagasan ini memicu kecaman dari organisasi HAM dan penolakan di DPR.
April silam pemerintah dan DPR sepakat mengembalikan dua syarat tersebut ke dalam RUU.
Keterlibatan TNI
"Kebijakan dan strategi nasional penanggulangan Tindak Pidana Terorisme dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, serta instansi pemerintah terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan penanggulangan terorisme."
"Peran Tentara Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memberikan bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia." - Pasal 43b
Sejak awal keterlibatan TNI sudah menuai penolakan dari DPR dan sejumlah organisasi HAM. Pasalnya keberadaan TNI dikhawatirkan bakal mengubah corak penanggulangan terorisme dari penegakan hukum ke ranah pertahanan negara yang berpotensi menciptakan perang melawan teror.
Selain itu DPR berdalih keterlibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sudah diatur dalam Pasal 7 ayat 3 UU No.: 34/2004. Pemerintah sepakat tidak mencantumkan peran TNI secara detail dalam RUU dan sebaliknya menggunakan Perppu buat mengatur hal tersebut.
Hukuman Mati
"Dipidana dengan pidana mati, penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun” - Pasal 6
"Setiap orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 6, 7, 8, 9, 10, 10A, 12, 12A, 12B dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.” - Pasal 14
Kontras mengatakan keberadaan dua pasal tersebut berpotensi melanggar Kovenan Internasional Hak Hak Sipil dan Politik yang sudah ditandatangani Indonesia. ICCPR mewajibkan negara anggota untuk melindungi hak sipil dan politik warganegara, termasuk hak hidup, kebebasan beragama, kebebasan berpendapat dan berkumpul, hak pilih dan pengadilan yang adil dan tidak berpihak.
Hukuman mati dalam tindak pidana terorisme juga ditengarai justru akan mewariskan dendam dan bisa dijadikan propaganda untuk merekrut pejuang baru.
"Tidak pernah ada data valid hukuman mati bisa menekan meluasnya aksi teror. Harusnya cabut hukuman mati di RUU Anti-Teror," kata peneliti senior ICJR, Erasmus Napitupulu, kepada Kompas.
rzn/vlz (kompas, detik, tirto, icjr, kontras, hrw)