Iran: Obama Harus Meminta Maaf
13 Desember 20114 Desember lalu Iran mengumumkan telah menjatuhkan pesawat pengintai milik Amerika Serikat di wilayah timur negara tersebut, dekat Afghanistan. Sejak itu, pesawat itu telah ditunjukkan di televisi dan pemerintah Iran menyatakan, hampir berhasil memecahkan rahasia teknologinya.
Iran: AS Langgar Hukum Internasional
Senin (12/12), Presiden AS Barack Obama mengatakan dalam konferensi pers, "Kami telah memintanya kembali. Kami harus menunggu respon Iran." Perwakilan Iran mengatakan, tidak akan mengembalikan pesawat tersebut.
"Sepertinya Obama telah lupa, bahwa mereka memasuki ruang udara kami, melakukan operasi mata-mata dan mengabaikan hukum internasional," demikian Ramin Mehmanparast, juru bicara Kementrian Luar Negeri Iran. Menurutnya, Obama seharusnya mengajukan permohonan maaf dan tidak menuntut hal semacam itu.
Parlemen mengeluarkan resolusi dan menyebut insiden tersebut sebagai 'bukti terorisme internasional dan pelanggaran hukum internasional oleh Amerika Serikat'. Iran juga mungkin akan menuntut ganti rugi dari pemerintah di Washington. Iran telah mengajukan keberatannya kepada Dewan Keamanan PBB dan meminta mereka beraksi untuk menghentikan tindakan yang berbahaya dan melanggar hukum tersebut.
Tuduhan Mata-mata di Iran
Pada awalnya, pasukan ISAF di Afghanistan mengatakan, pesawat tersebut mungkin pesawat pengintai tak berawak yang hilang dalam misi ke wilayah barat Afghanistan. Namun, pihak lain mengatakan, pesawat pengintai tersebut memiliki misi untuk mengawasi Iran.
Kasus ini adalah insiden terbaru yang menambah ketegangan antara Iran dan negara Barat yang sebelumnya menuduh negara tersebut berusaha untuk mengembangkan senjata nuklir. Hal yang dibantah oleh Iran.
Kantor berita resmi pemerintah IRNA melaporkan, pengadilan Iran telah mengeluarkan dakwaan kepada 15 orang yang ditahan karena diduga menjadi mata-mata bagi Amerika Serikat dan Israel. Mei lalu, 30 0rang ditahan dengan tuduhan bekerja sebagai mata-mata Amerika. Mata-mata bisa divonis hukuman mati di Iran.
Vidi Legowo-Zipperer/afp/rtr Editor: Yuniman Farid