Jutaan Orang di Jerman Buta Aksara Fungsional
7 September 2012Ernst Lorenzen tampak bahagia. "Bagi saya seakan dimulai lembaran hidup baru. Saya tidak menyangka, begitu banyak hal menarik yang bisa dibaca dari buku-buku." Lewat membaca, Lorenzen memiliki keberanian untuk mengakui kekurangannya. Ia bahkan mendirikan kelompok mandiri. Dalam pertemuan terakhir di Oldenburg, ada 10 penderita buta aksara fungsional yang hadir. Padahal di kota tersebut ada 12.000 orang dengan masalah yang sama. Mereka bisa mengenali huruf dan beberapa kata, namun tidak mampu membaca dan menulis kata-kata yang dibentuk menjadi kalimat panjang.
Saat bekerja, waktu dan tenaga ia sia-siakan karena tidak mau mengakui kekurangannya. Lorenzen bekerja sebagai produsen perabotan kayu. Ia berusaha menutup-nutupinya dengan segala cara. Termasuk dengan menghafalkan nama jalan, karena ia tidak bisa membacanya. Di bangku sekolah ia masih berupaya untuk sering bertanya. Namun, sang guru tidak peka dan bereaksi dengan menghukumnya. Ia dianggap tidak mendengarkan penjelasan dengan baik. Sejak itu, kondisi Lorenzen semakin parah dan ia menutup diri.
Penderita Buta Aksara Lihai Mencari Alasan
Murid lain dengan masalah yang sama, mengaku cidera tangan sehingga tidak harus menulis attau merasa harus menggunakan kacamata karena huruf yang harus dibaca 'terlalu kecil'.
"Di Jerman ada anggapan, bahwa orang dewasa seperti itu tidak lah intelejen. "Siapa yang mengaku kekurangannya, harus siap selamanya dianggap sebagai orang yang bodoh," jelas Peter Hubertus. "Penting untuk menegaskan, bahwa justru mereka harus pandai sekali untuk bisa mengatasi kehidupan sehari-hari tanpa bisa membaca dan menulis." Hubertus adalah pimpinan dan turut mendirikan perhimpunan pemberantasan buta aksara dan pendidikan dasar di Münster. Organisasinya melakukan pekerjaan lobi dan menawarkan bantuan melalui telepon.
Perubahan Dunia Kerja Ungkap Kelemahan
Dulu orang dewasa yang tidak sekolah tinggi, bisa bekerja sebagai tukang cuci piring di restoran atau pekerja bangunan. Ini pekerjaan yang bisa dilakukan tanpa harus membaca atau menulis. Kini, di era pendidikan dan media, mereka yang tidak memiliki kualifikasi dan menganggur, harus kerap menulis lamaran kerja, agar tunjangan sosial dari pemerintah tetap mereka peroleh. Agentur pekerjaan mengharuskan para pelamar kerja mempunyai kemampuan menggunakan komputer.
Ernst Lorenzen menjadi pengrajin perabotan kayu. Ia bekerja di perusahaan yang sama selama 39 tahun. Pemilik perusahan tahu kelemahannya. "Bagi pimpinan saya yang penting adalah hasilnya. Dan pekerjaan saya selalu baik. Begitulah saya bisa bertahan hidup." Semua terdengar mudah. Namun, Lorenzen harus bekerja keras. Istri dan kedua anaknya membantu Lorenzen dalam mengatasi kesehariannya.
Kesempatan Muncul dari Keadaan Terdesak
"Anak-anak sering menjadi alasan orang dewasa untuk belajar menulis dan membaca. Alasan lain adalah kehilangan orang penting yang terlibat dalam membantu kehidupan sehari-hari yang tidak bisa dilakukan penderita buta aksara fungsional," papar Peter Hubertus dari perhimpunan pemberantasan buta aksara Jerman.
Jika bantuan hilang mendadak, seperti untuk belanja, mengurus termin dokter atau menulis surat, maka banyak yang akan mencari jalan untuk bisa lebih independen.
Begitu juga dengan Ernst Lorenzen. Di usia 55 tahun ia dinyatakan 'tidak mampu lagi bekerja' di bidang yang ia geluti. Padahal ia masih ingin mendapatkan bekerja yang lain. Namun, sebagai penderita buta aksara fungsional pilihannya terbatas. Ia akhirnya mulai mengikuti kursus yang diperuntukkan bagi mereka yang bermasalah dengan membaca dan menulis. Sejak dua tahun, lima kali seminggu, ia belajar di sana. "Saya selalu berpikir, saya sendirian dengan masalah ini. Tapi ini tidak benar."
Masalah dalam Masyarakat
Sekitar 7,5 juta orang dewasa di Jerman tidak bisa membaca dan menulis secara benar. Padahal mereka tamat sekolah. Angka mengejutkan ini diungkap penelitian Universitas Hamburg pada tahun 2011. 57 persen penderita buta aksara fungsional memiliki pekerjaan. Di seluruh Jerman hanya ada 20.000 tempat kursus yang bisa membantu mereka.
Margret Heuking-Seeger bekerja di lembaga VHS Lingen/Ems yang termasuk pionir dalam pengadaan kursus semacam itu. "Saat saya memulainya 25 tahun yang lalu, saya sempat berpikir akan kesulitan menemukan orang dewasa di Emsland yang buta aksara." Pakar pendidikan ini kemudian memasang iklan di kantor praktik dokter dan gereja. Banyak yang tidak mau mengikuti kursus tersebut. "Mereka takut ketahuan."
Hingga kini pun rasa malu peserta kursus masih besar. Mereka bisa masuk melalui pintu yang berbeda dan berlatih di ruangan yang terpisah dari ruangan-ruangan kursus lainnya. "Jika secara tidak sengaja ketemu orang yang mereka kenal di gang, mereka memberikan alasan yang mengada-ada. Seperti misalnya hanya perlu memakai toilet di gedung ini."
Mengajar dengan Hati-hati, Belajar dengan Rasa Takut
Pelajaran disusun berdasarkan masing-masing peserta kursus. Jika rasa malu berkurang, pelajaran dipraktekkan di luar. Di perpustakaan, balai kota atau terminal bus. "Mereka tidak boleh lupa, bahwa tidak bisa membaca dan menulis, berarti melewatkan banyak hal penting dalam masyarakat", ujar Margret Heuking-Seeger.
Ernst Lorenzen menemukan hobi baru dengan membaca dan menulis. Keluarganya menyarankannya untuk menulis buku tentang pengalaman hidupnya sebagai penderita buta aksara fungsional. Namun, saat ini yang penting bagi Lorenzen adalah kelompok mandiri ABC di Oldenburg yang turut ia dirikan.