MAKI: Kasus Djoko Tjandra Coreng Wajah Peradilan Indonesia
26 Agustus 2020Dalam pemeriksaan kasus dugaan gratifikasi penghapusan red notice atas terpidana kasus korupsi hak tagih (cassie) Bank Bali, Djoko Soegiarto Tjandra, mengaku telah menyuap dua petinggi Polri yakni Insprektur Jenderal Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal Prasetijo Utomo. Selain kedua nama di atas, buron yang ditangkap di Malaysia akhir bulan lalu itu juga menyuap seorang pengusaha bernama Tommy Sumardi. Ketiganya pun kini ditetapkan sebagai tersangka.
Tak hanya dari kepolisian, Kejaksaan Agung juga telah menetapkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka dalam kasus skandal suap Djoko Tjandra.
Praktik suap yang menggerogoti institusi Polri dan lembaga pemerintah ini sontak mendapat sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya datang dari Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, yang mengaku prihatin atas kondisi ini. Pasalnya, lembaga yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan malah justru membantu sang terpidana dalam menghindari jerat hukum di negeri sendiri.
“Mau apalagi memang kenyataannya begitu, memang tercoreng,“ ujar Boyamin saat dihubungi DW Indonesia, Selasa (25/08) sore.
Boyamin pun berpendapat bahwa para pejabat tinggi di institusi ataupun lembaga penegakan hukum di Indonesia masih rawan atas praktik suap, terlebih dalam perkara-perkara kelas kakap.
“Masih sangat rawan. Wong Djoko Tjandra jelas bersalah dapet duit lah (polisi), yang benar saja kadang-kadang harus keluar duit,“ tegasnya.
“Sehingga ini memprihatinkan, ini bagian dari (dinamika) kita, kita hadapi, kita berproses, kita sakit lagi untuk menuju yang lebih baik,“ ia melanjutkan.
Transparansi penananganan perkara
Boyamin yang dari awal getol mengawal kasus suap red notice Djoko Tjandra ini, meminta Presiden Joko Widodo untuk mengevaluasi kinerja lembaga-lembaga penegakan hukum dan keadilan saat ini. Pasalnya institusi Polri dan lembaga peradilan bertanggung jawab langsung ke presiden.
“Lembaga ini kerjanya ngapain kalau apa-apa semuanya presiden. Tapi memang harus ada sentuhan atau jeweran atau kalau istilah Pak Jokowi menggigit,“ tutur Koordinator MAKI ini.
Lebih lanjut, menurut Boyamin, transparansi penanganan perkara juga penting untuk mencegah terjadinya kejadian serupa di masa mendatang. “Misalnya kita (membuat) laporan harus ada progress report berapa bulan sekali, dilaporkan kepada pelapor dan tersangka agar dapat kepastian,“ katanya.
Boyamin pun menyerukan agar revisi Kitab Undang-undang Acara Hukum Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat terealisasi, karena dengan adanya hakim pengawas dinilai dapat mempercepat proses penanganan perkara ke meja hijau. “Mengizinkan penangkapan, mengizinkan penahanan. Itu langsung diuji. Kalau sekarang selama ini kan kita pra-peradilan, yang bisa menikmati pra-peradilan itu kan orang kaya yang bisa bayar pengacara,“ pungkasnya.
CCTV Gedung Kejaksaan Agung
Sementara itu, di hari kedua (25/08) olah tempat kejadian perkara (TKP) kebakaran Gedung Utama Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Tim Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri mengambil sejumlah kamera pengawas CCTV dari tempat kejadian perkara untuk diperiksa.
Sebelumnya, api melalap Gedung Utama Kejasaan Agung pada Sabtu (22/08) malam. Banyak pihak menyoroti kejanggalan peristiwa kebakaran yang terjadi di tengah penanganan perkara kasus suap Djoko Tjandra yang melibatkan salah satu jaksa yakni Jaksa Pinangki. Pinangki sendiri diketahui berkantor di salah satu ruangan di gedung yang habis terbakar.
Organisasi Indonesia Corruption Watch (ICW) mencurigai adanya oknum-oknum yang mencoba menghilangkan barang bukti terkait kasus yang ditangani Kejagung saat ini. ICW pun meminta KPK untuk turun tangan mencari penyebab kebakaran tersebut.
"Sebab, saat ini Kejaksaan Agung sedang menangani banyak perkara besar, salah satunya dugaan tindak pidana suap yang dilakukan oleh Jaksa Pinangki Sirna Malasari. Bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang merencanakan untuk menghilangkan barang bukti yang tersimpan di gedung tersebut," terang peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan, Minggu (23/08).
rap/gtp