Kelompok MIT: Bukan Isu SARA hingga Pengerahan Militer
1 Desember 2020Pengamat intelijen dan terorisme dari Universitas Indonesia (UI), Ridlwan Habib menilai kelompok teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Kalora memang menjadikan warga yang tinggal di kaki bukit sebagai target mereka, tanpa memikirkan landasan ideologi agama tertentu. Namun korban yang tewas kemarin semuanya dari keluarga Kristiani.
“Bukan, bukan agamanya tetapi memang warga yang berada di pinggiran-pinggiran kaki gunung, di mana tempat mereka melakukan pelarian. Karena pada April lalu, mereka juga melakukan eksekusi pemenggalan terhadap petani di daerah Poso pesisir yang juga tinggal di kaki bukit dan korban agamanya Islam,” kata Ridlwan Habib saat dihubungi DW.
“Tragedi ini membuat anak-anak trauma, membuat teman-teman Kristiani dan agama minoritas lainnya was-was. Kalau tidak segera dilakukan kontigensi, saya khawatir merembet kemana-mana, sehingga isunya menjadi isu SARA bukan lagi terorisme,” tambahnya.
Operasi Tinombala yang dilakukan untuk mengejar 10 anggota MIT selama 5 tahun belum juga membuahkan hasil. Publik pun bertanya-tanya, apa yang membuat pihak kepolisian kesulitan menumpas kelompok teroris itu? Ridlwan menyebut ada tiga faktor yang membuat pengejaran ini berlarut-larut.
“Ada tiga hal. Pertama, karena operasinya penegakan hukum pidana, artinya ini adalah operasi kepolisian. Status TNI hanya diperbantukan. Kedua, kurang efektifnya metodologi pengejaran di lapangan, karena yang dilakukan patroli rutin yang bisa dideteksi polanya. Ketiga, mereka mendapatkan informasi dari simpatisan-simpatisan.”
Ada dua alasan mengapa warga sipil terus membocorkan informasi tentang pengejaran yang dilakukan aparat. Pertama, warga tersebut merupakan simpatisan MIT dan kedua, kemungkinan warga merasa takut jika tidak memberikan informasi karena diancam dibunuh.
Butuh strategi baru dalam pengejaran teroris MIT
Berdasarkan pengamatan Ridlwan Habib, pemerintah beserta aparat keamanan saat ini membutuhkan strategi baru untuk menangkap Ali Kalora cs. Mengapa demikian?
Operasi Tinombala sudah dilakukan sejak tahun 2015 dan hingga saat ini belum berhasil menangkap kelompok teroris MIT tersebut, meski berbagai cara sudah dilakukan.
"Pernah pakai thermal drone untuk memotret suhu panas tubuh. Ternyata ada banyak kekeliruan. Karena suhu tubuh manusia mirip kera atau monyet, sehingga ketika mau menyerang dan didekati ternyata hanya segerombolan monyet besar," papar Ridlwan.
Selain thermal drone, pihak berwenang juga pernah mencoba drone detector untuk mendeteksi gerak MIT di hutan. Namun lagi-lagi, alat tersebut salah mendeteksi.
Ridlwan menjelaskan kelompok MIT diuntungkan secara geografis lantaran mereka ahli membaca peta dan vegetasi hutan sudah menjadi ‘taman bermain’ mereka sehingga sulit dijangkau oleh anggota kepolisian yang didatangkan dari Pulau Jawa untuk melakukan patroli. Selain itu, kelompok Ali Kalora juga tidak menggunakan telepon genggam untuk saling berkomunikasi sehingga sulit dilacak.
Ajukan ke pengadilan atau operasi militer?
“Saat ini pilihannya dua, apakah pemerintah mau menangkap mereka hidup-hidup dan mengajukan mereka ke pengadilan? Kalau itu yang diinginkan, tidak ada jalan lain, sama seperti sekarang. Atau yang kedua, mereka dianggap sebagai organisasi terlarang yang membahayakan kedaulatan sehingga diputuskan operasi militer,” jelas Ridlwan.
Ridlwan menilai langkah yang paling tepat dan harus segera dilakukan saat ini adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden UU Nomor 58 tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di tanah air.
“Tinggal ditandatangani. Permasalahannya presiden belum berani tanda tangan karena masih jadi perdebatan publik. Kalangan LSM misalnya, menilai perpres ini melanggar hak asasi manusia tetapi sebagian yang lain mengatakan ‘memang teroris kan melanggar hak asasi manusia’ juga. Dan ini jadi perdebatan sehingga perpres itu terkatung-katung.”
Senada dengan Ridlwan, Anggota Komisi I DPR RI, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanudin menegaskan agar payung hukum atau aturan undang-undang terkait pelibatan TNI harus segera dirampungkan.
“Pepres ini sudah ditunggu hampir dua tahun, maka harus dirampungkan. Bila dibiarkan terlalu lama, kejadian seperti ini bisa terulang lagi,” ucapnya.
Ridlwan menyayangkan keterbatasan TNI yang tidak bisa leluasa masuk dan ikut mengejar para teroris ke dalam hutan secara masif dan agresif.
“Kita punya Koopsus, tantara yang bisa hidup di medan apapun, di bawah laut, di udara, di dalam hutan. Tapi mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka idle, karena tidak ada otoritas politik yang memerintahkan mereka,” jelas Ridlwan.
Komando Operasi Khusus (Koopsus) adalah satuan baru dibentuk TNI pada 2019 untuk mengatasi aksi terorisme yang terdiri dari tiga matra khusus TNI, yakni Kopassus, Denjaka dan DenBravo Paskhas.
Jika 90 orang super komando yang tergabung dalam Koopsus itu sekarang dikerahkan untuk mengejar anggota MIT, Ridlwan mengungkapkan mereka berpotensi melanggar undang-undang pidana militer karena berangkat tanpa ada mekanisme yang jelas.
Panglima TNI kirim pasukan
"Pemerintah telah memerintahkan aparat keamanan melalui Satgas Operasi Tinombala, untuk melakukan pengejaran dan pengepungan terhadap pelaku agar secepatnya dilakukan proses hukum yang tegas terhadap mereka," kata Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam konferensi pers virtual hari Senin (30/11).
Perkembangan terbaru tindak lanjut kasus yang menewaskan satu keluarga di Sigi, membuat Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menginstruksikan pengiriman TNI dari Jakarta sebagai pasukan khusus untuk membantu Satgas Operasi Tinombala.
“TNI akan menindak tegas atas pelaku yang dilaksanakan oleh MIT, yang dalam hal ini TNI akan mendukung Polri,” ungkap Hadi dalam konferensi pers bersama Kemenkopolhukam (30/11).
“Besok pagi (1 Desember 2020), akan diberangkatkan pasukan khusus dari Halim menuju ke Palu. Mereka akan ditugaskan di Poso untuk memperkuat pasukan sebelumnya yang sudah ada di Poso,” tegasnya.
Keberangkatan pasukan TNI yang ditugaskan mengejar kelompok Ali Kalora dinilai Ridlwan sebagai langkah yang patut diapresiasi meskipun belum ada aturan hukum yang mengatur soal keterlibatan mereka dalam membantu Satgas Tinombala.
“Saya kira ini kesempatan emas. Walaupun tidak ada aturan hukumnya. Kalau teman-teman Kontras, Imparsial, atau LSM lainnya komplain, bisa mumet panglima. Namun kita lihat, ini kesempatan sebenarnya karena dalam dua-tiga hari ini jejak mereka (MIT) belum terlalu jauh,” kata Ridlwan. (ha/hp)