Kenapa Sulit Populerkan Kendaraan Listrik di Asia Tenggara?
7 Maret 2023Di seluruh dunia, kendaraan listrik dilihat sebagai sektor kunci bagi dekarbonisasi ekonomi dan peluang mengurangi kebergantungan terhadap impor bahan bakar fossil. Sebab itu pula pasar kendaraan elektrik sedang melambung di mana-mana, kara Rahul Gupta, seorang konsultan senior di McKinsey & Company di Singapura.
Asumsi itu merujuk pada dua pasar kendaraan elektrik terbesar di dunia, yakni Eropa dan Cina, yang masing-masing menguasai 20 persen dan 25 persen pangsa pasar global. Adapun di Asia Tenggara, pangsa kendaraan listrik baru mencapai angka dua persen pada 2022.
Adalah langkanya jejaring pengisian ulang, minimnya keringanan pajak dan subsidi bagi produsen dan konsumen, yang dianggap memperlambat penetrasi pasar kendaraan listrik di Asia Tenggara, kata analis. Namun begitu, keterlambatan itu kini sedang digenjot di Indonesia, Thailand dan Filipina, dengan menawarkan insentif berupa keringanan pajak dan subsidi.
Berbeda dengan transisi mobilitas elektrik di Cina atau Eropa yang didominasi kendaraan roda empat, di Asia Tenggara, sekitar 80 persen kendaraan yang digunakan berupa roda dua dan tiga, menurut Benedict Eijbergen, analis transportasi di Bank Dunia. Artinya, kendaraan elektrik roda dua akan lebih mudah diterima di Asia tenggara. Di Vietnam misalnya, pangsa pasar bagi motor elektrik mencapai 8 persen pada 2020, kata Eijbergen.
Subsidi dan insentif pajak
Rahul Gupta dari McKinsey meyakini teknologi kendaraan elektrik belum terjangkau bagi kebanyakan, terutama jika dibandingkan dengan teknologi pembakaran internal (ICE). Untuk mengatasinya, pemerintah didorong menawarkan subsidi bagi konsumen perdana atau keringanan pajak bagi produsen.
Kebijakan ini diadopsi pemerintah di Thailand dengan potongan pajak dan subsidi. Adapun pemerintah Indonesia masih membahas keringanan pajak kendaraan elektrik dari 11 persen menjadi cuma 1 persen.
Kelengkapan infrastruktur pengisian ulang juga disyaratkan untuk menjaring minat konsumen. Pemerintah juga diimbau untuk mempercepat elektrifikasi kendaraan dengan menetapkan batas akhir penjualan kendaraan berbahan bakar fosil.
Gregory Polling, Direktur Asia di Strategic and International Studies (CSIS), mengakui kuatnya ambisi negara-negara Asia Tenggara untuk memangkas emisi lewat mobilitas elektrik. Sayangnya, implementasinya masih berbeda-beda di tiap-tiap negara. Hal ini terutama berlaku untuk Indonesia, yang bakal kesulitan mendorong ekspansi infrastruktur karena kondisi geografis yang berpulau-pulau.
Krisis Iklim tidak dorong mobilitas elektrik
"Bagaimanapun juga, kendaraan elektrik masih merupakan barang mewah bagi banyak kawasan di Asia Tenggara, ketimbang secara global," kata dia.
Terlebih, krisis iklim diyakini belum akan menjadi faktor yang mendorong konsumen beralih ke kendaraan elektrik. "Kebanyakan negara-negara ini masih menilai bukan mereka yang menciptakan masalah ini," kata Poling. Menurutnya, sikap tersebut bisa dipahami.
"Negara Barat lah yang menciptakan masalah ini, jadi kenapa Asia Tenggara harus memperlambat pertumbuhan ekonomi untuk beralih ke energi terbarukan atau kendaraan elektrik."
Lemahnya kesadaran iklim dalam ekspansi kendaraan listrik sebaliknya dikhawatirkan akan mendorong kerusakan lingkungan.
"Negara-negara Asia Tenggara akan berusaha menjaring perusahaan multinasional, dan sebagai buntutnya tidak akan terlalu memperhatikan asas keberlanjutan dalam penambangan atau pada sepanjang siklus produksi," tuturnya, tanpa merujuk ke Indonesia, yang dalam tiga tahun terakhir, setidaknya menandatangani belasan perjanjian dengan nilai investasi berkisar USD 15 miliar untuk produksi baterai dan kendaraan elektrik di dalam negeri.
rzn/hp (reuters)