Apakah Kesepian Jadi Ancaman bagi Demokrasi?
19 Maret 2024Kesepian sering kali digambarkan sebagai pandemi senyap di Jerman. Angka terbaru dari Badan Statistik Jerman menunjukkan bahwa satu dari enam orang yang berusia di atas 10 tahun sering merasa kesepian. Totalnya sekitar 12,2 juta orang.
Kesepian didefinisikan oleh para psikolog sebagai ketidaksesuaian yang dirasakan antara hubungan sosial yang diinginkan dan hubungan sosial yang sebenarnya.
Statistik menunjukkan bahwa generasi muda di Jerman adalah kelompok yang paling rentan terkena dampaknya: Seperempat generasi muda berusia antara 18 dan 29 tahun mengatakan bahwa mereka sering merasa kesepian.
Menteri Keluarga dari Partai Hijau, Lisa Paus, menggambarkan kesepian sebagai salah satu masalah paling mendesak di zaman ini, bukan hanya karena adanya risiko kesehatan seperti penyakit jantung, stroke, demensia, dan depresi-- tetapi juga bisa melemahkan kohesi sosial.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Studi "Extrem Einsam” ("Sangat Kesepian”), yang merupakan bagian dari proyek yang didanai oleh Kementerian Urusan Keluarga Jerman, menunjukkan bahwa kesepian juga dapat menjadi ancaman bagi demokrasi.
Para peneliti menemukan hubungan antara kesepian dan sikap antidemokrasi, di antaranya: Kecenderungan terhadap populisme, kepercayaan pada teori konspirasi, sikap otoriter, melumrahkan pelanggaran aturan politik dan melumrahkan kekerasan.
"Ini bukan hubungan sebab akibat, tapi ada korelasinya,” kata Claudia Neu, sosiolog dan salah satu penulis studi tersebut.
Orang-orang yang mengalami kesepian dalam jangka waktu yang lama mulai memandang dunia secara lebih negatif, sebagai dunia yang lebih gelap dan lebih mengancam. Mereka kurang memercayai orang lain, lingkungannya dan institusi demokrasi.
Hal ini menjadi masalah, menurut Claudia Neu, karena demokrasi tumbuh subur melalui partisipasi, dan dukungan terhadap demokrasi bergantung pada seberapa kuat seseorang merasa terhubung dengan masyarakat secara keseluruhan.
"Kerinduan terhadap pergaulan tentunya masih sangat kuat, cukup mengakar dalam diri kita sehingga kita mungkin tidak bisa bertahan dengan baik tanpa orang lain,” ujarnya.
"Partai populis sayap kanan atau ekstremis sayap kanan menawarkan rasa kebersamaan, dan pada saat yang bersamaan dengan narasi ketakutan. Mereka diajak: Mari bergabung dengan kami, maka kalian akan menjadi bagian dari komunitas kami.'”
Kesepian hanyalah salah satu dari banyak faktor risiko
Gabriela Grobarcikova, yang berusia 25 tahun, mengatakan bahwa dia berusia 15 tahun ketika dia pertama kali merasa kesepian. "Saya merasa jauh dari orang lain, ada perasaan bahwa ada banyak orang di sekitar saya, tapi rasa keterhubungan yang sebenarnya hilang,” katanya kepada DW.
Grobarcikova curhat tidak merasakan punya keluarga yang stabil dan merasa sulit mempertahankan persahabatan jangka panjang. Lalu ia menemukan rasa keterhubungan melalui politik.
Dia memuji politik kiri-tengah orang tuanya sebagai salah satu alasan mengapa dia tidak mengembangkan pandangan antidemokrasi atau ekstremis.
"Kesepian adalah keadaan di mana ada keinginan yang kuat dan tidak terpenuhi untuk bermasyarakat dan saya menemukannya melalui keterlibatan dan aktivisme politik. Untungnya saya menemukannya di lingkungan politik sosial-demokratis berbasis komunitas lokal,” kata Grobarcikova, yang kini bekerja dengan sebuah organisasi nirlaba untuk mempromosikan keterlibatan demokratis di sekolah.
Studi Kollektmenemukan bahwa keraguan terhadap demokrasi tersebar luas di kalangan generasi muda.
Dari 1.008 anak muda berusia antara 16 dan 23 tahun yang disurvei, kurang dari separuh (48%) berpendapat bahwa sistem demokrasi berfungsi dengan baik di Jerman, dan lebih sedikit lagi (40%) yang percaya bahwa politisi mampu menjawab tantangan masa depan.
Namun tidak ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa generasi muda saat ini memiliki pandangan politik yang lebih ekstrem dibandingkan generasi sebelumnya, demikian menurut Björn Milbradt, sosiolog dan pakar radikalisasi di kalangan generasi muda di German Youth Institute.
"Saat ini, ada kesan bahwa generasi muda menjadi semakin radikal. Namun saya menganjurkan agar berhati-hati. Selalu ada gerakan pemuda atau gerakan anak muda yang radikal atau ekstremis," kata Milbradt kepada DW, merujuk pada gelombang ekstremis sayap kanan dan kekerasan yang terjadi setelah reunifikasi Jerman pada awal tahun 1990-an, dan gerakan mahasiswa Jerman Barat tahun 1968.
Penelitian telah membuktikan, tambah Milbradt, bahwa kemungkinan anak muda menjadi radikal bergantung pada banyak faktor, bukan hanya kesepian. Latar belakang sosial ekonomi, kehidupan rumah tangga yang tidak stabil, kemampuan berpikir kritis yang buruk, dan paparan terhadap sikap misantropis, semuanya dapat berperan.
"Faktornya tidak hanya satu. Saya kira itu sangat penting untuk ditekankan, karena dalam perdebatan publik seringkali ada kecenderungan untuk memandang radikalisasi dengan cara yang sangat satu dimensi, bahwa TikTok adalah salah satu faktor utama radikalisasi generasi muda," demikian dia menjelaskan.
"Tetapi yang harus selalu Anda tekankan adalah bahwa orang-orang menjadi radikal karena [konten di] TikTok, jika mereka sudah memiliki penerimaan terhadap ideologi tertentu atau sikap yang menghina.”
Lebih banyak lembaga bagi generasi muda
Penting untuk mewaspadai isu ekstremisme di kalangan anak muda, tutur Milbradt, merujuk pada riset Shell Youth Study tahun 2019 yang menemukan bahwa sekitar sepertiga anak muda memiliki kecenderungan ke arah populisme sayap kanan dalam sikap politik mereka.
"Itu adalah hasil yang sangat mengkhawatirkan dan saya kira masih demikian," katanya. "Ada hasil pemilu di mana Partai Alternatif untuk Jerman, AfD mendapat persentase suara generasi muda yang sangat signifikan. Dalam kaitan ini, ini adalah sinyal peringatan yang terus kita lihat.”
Bagi kaum muda, mengatasi kesepian hanyalah salah satu bagian dari solusi yang diperlukan untuk mencegah mereka mengembangkan pandangan ekstremis, demikian menurut Milbradt. Pendidikan politik dan kewarganegaraan di sekolah, kesadaran tentang sejarah masa lalu Nazi Jerman, dan kesadaran akan kontrol diri dalam proses demokrasi adalah kuncinya.
Penulis studi Kollekt juga mengatakan bahwa para politisi dan kelompok masyarakat sipil perlu membuat pendidikan politik dapat diakses oleh semua orang dan menciptakan lebih banyak peluang bagi generasi muda untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.
"Kita dapat melakukan sesuatu untuk memperbaiki hal itu," kata Milbradt. (ap/hp)