Kios Berjuang Pertahankan Eksistensi
9 Februari 2014Pagi-pagi di sebuah kios di Stasiun Bonn, Jerman: Penjual memberikan rokok kepada pelanggannya sambil tersenyum. Pembeli rokok itu membalas senyum, mengucapkan terima kasih dan berlalu. Demikian adegan rutin di pagi hari di kios Shirin Mazandanani. Peranakan Jerman-Iran ini biasa berkutat dengan kebutuhan pelanggan. Apakah inilah pekerjaan impiannya? "Demi Tuhan, tentu tidak! " seru perempuan itu.
Shirin Mazandanani, 52 tahun usianya. Menurutnya, menjaga toko, “sama sekali bukan“ pekerjaan impian. Namun ia harus melakukannya demi anak-anaknya. Mengapa sampai kini kios masih bertahan, menurutnya karena „kios begitu-begitu saja“. Papar Shirin,“Dengan kios seperti ini orang bisa bertahan hingga beberapa tahun.“ Tetapi mengapa kios hanya begitu-begitu saja, ia kemudian memberikan alasannya.
Masalah bertambah
Beberapa tahun yang lalu terjadi krisis ekonomi: " Setelah itu kami tidak lagi benar-benar mendapatkan untung." Selain itu, biaya kios jadi meningkat, ujar Shirin: "Margin keuntungan menjadi semakin buruk selama bertahun-tahun, sementara biaya sewa kios jadi semakin mahal."
Bahkan persaingan di antara pedagang kios sangat besar, terutama di stasiun. "Dalam beberapa meter saja di stasiun ini ada empat kios," kata Shirin Mazandanani.
Masalah lain yang dihadapi adalah supermarket. Sejak tahun 2006, banyak supermarket di Jerman buka lebih lama, dari sore hari ke malam hari dan hari Sabtu juga buka. Sebelumnya tak banyak toko yang buka hingga larut malam atau hari Sabtu.
Tidak perlu panik
Meskipun kios tampaknya berprospek suram, Sabine Möller mengingatkan para pedagang kecil untuk tidak panik. Pengamat masalah pemasaran itu mengatakan dalam wawancara dengan DW: “Kami memperkirakan bahwa ada sekitar 38.000 kios di Jerman. "
Di sepuluh kota pengamat melakukan kajian budaya dari kios untuk memperkirakan bagaimana kelanjutan masa depan kios. Hasilnya: "Meskipun ada warung yang tidak menghasilkan keuntungan, tetapi pendapat mayoritas mengatakan jika kios ditutup, maka yang lain akan buka lagi."
Masalahnya klasik: "Jumlah perokok berkurang, media cetak berada di bawah tekanan krisis ekonomi, sementara permen-permen juga bukan komoditas yang mendongkrak penjualan," kata Möller. Namun di kios sudah pasti ada rokok: "Sekitar 60 persen dari barang yang dijual di kios adalah rokok." Tapi keuntungan yang direngkuh tidak lagi seperti dulu. Setoran pajak telah meningkat secara signifikan.
Pelanggan setia yang membantu
Pemilik kios merasa sangat beruntung, jika ada pelanggan tetap yang mampir ke kiosnya setiap hari. Seorang pria tua masuk ke kios milik Shirin di Stasiun Bonn. Shirin Mazandanani memandangnya dan bertanya, "Butuh berapa banyak' - "Enam," sahut si pria. "Yah, kami mungkin beli satu lagi untuk akhir pekan? " Pria itu mengambil rokok dan tersenyum menyeringai. "Saya senang belanja di sini, karena saya tinggal di dekat sini dan pramuniaga yang sangat bagus bekerjanya." Keduanya tersenyum bagai pasangan yang telah lama menikah.
Ada juga dua perempuan tua yang jadi pelanggan tetap di kios Shirin. Mengapa mereka tidak memilih pergi ke supermarket yang menawarkan diskon-diskon?" Karena di kios, orang bisa menemukan sesuatu lebih cepat daripada di supermarket besar," kata salah satu dari mereka. Meskipun persaingan dari supermarket cukup besar, kios tetap populer.
Celah baru
Profesor Sabine Möller yakin ada beberapa celah untuk bisnis kios di masa depan: "Ada dua kecenderungan. Pertama, berbagai jenis barang yang dijual kios semakin tidak populer, yang kedua: pelanggan lebih memilih beli barang di kios daripada pada Sabtu pagi -misalnya -- harus jauh-jauh belanja ke supermarket. Ini adalah kesempatan besar bagi pemilik kios." Siapa pun pemilik kios unik, akan bertahan di pasar.