Kisah Petugas Medis Indonesia di Rumah Sakit di Jerman
1 Mei 2020“Saya tidak takut terkena virus corona, yang saya khawatirkan adalah jika saya membawa virus itu ke rumah, karena ibu mertua saya sudah tua. Belum lagi ada lansia pula di gedung kediaman saya,” tutur Marintan Pakpahan, perempuan asal Parapat, Sumatera Utara yang mengabdikan diri sebagai perawat di Rumah Sakit Malteser, di Kota Bonn, Jerman.
Ia baru saja membuka pintu rumahnya, sepulang bekerja, dan langsung melayani wawancara dari Deutsche Welle tanpa mengeluh atau menunda janji interview, karena menurutnya penting membagikan informasi seputar virus COVID-19 yang kini telah menjadi pandemi di berbagai belahan dunia.
“Bukan cuma mereka yang lanjut usia yang terpapar virus. Di rumah sakit tempat saya bekerja juga ada anak-anak muda yang terkena virus corona. Keluhan yang sering mereka sampaikan adalah nyeri di dada, selain gejala-gejala khas COVID-19 lainnya,” ujar Marintan kepada DW sambil mengusap peluh di wajahnya. Gejala-gelaja umum yang ia maksud adalah sesak nafas, sakit kepala, nyeri sendi, demam, dan batuk.
Rawat inap, intensif atau isolasi diri di rumah
Gejala-gejala seperti ini pula yang ditangani Dokter Debi Frina Simanjuntak. Ia bekerja di sebuah rumah sakit di Kota Olpe, Jerman.
“Pasien yang datang dengan gejala batuk dan demam akan diseleksi di Unit Gawat Darurat (UGD)”, jelas Debi.
“Jika pasien yang kami cek memenuhi kriteria, dimasukan ke rawat inap -- atau stasiun intensif jika si pasien mengalami gagal nafas. Salah satu kriterianya adalah tingkat kesadaran pasien, urea di dalam darah, frekuensi nafas per menit, tekanan darahnya dan usia di atas 65 tahun. Jika hasil tes darahnya di laboratorium memburuk, maka akan dimasukan ke ruang intensif”, tambahnya.
Debi Frina Simanjuntak menjelaskan, pasien diperiksa lagi dengan seksama apakah ada bakteri lain di tubuhnya yang membutuhkan antibiotika. “Paru-paru pasien juga dicek dengan alat rontgen dan menjalani tes swab polymerase chain reaction (PCR) dengan diambil lendir dari tenggorokan paling dalam.“
Untuk memutuskan apakah si pasien akan menjalani rawat inap atau tidak, menurut Debi, biasanya dilihat dari kesadaran pasien.“Yang mengalami rawat inap biasanya pasien yang berusia tua, membutuhkan oksigen, dan tidak ada yang merawat. Untuk pasien yang tinggal di panti jompo biasanya ada yang merawat dan jika dilihat kondisinya sudah stabil maka bisa dipulangkan meski masih positif COVID-19,“ papar Debi yang telah berkarier sebagai dokter di Jerman sejak lima tahun silam.
Mendirikan tenda di luar rumah sakit
Sementara itu Marintan menambahkan, penanganan dilakukan tergantung gejala yang dialami pasien. Banyak pasien yang sudah membawa penyakit bawaan, bahkan harus diintubasi.
“Untuk gejala ringan, bisa istirahat di rumah, minum sup, dan vitamin, lalu sembuh sendiri,“ papar Marintan, sang perawat.
Marintan Pakpahan menceritakan, di rumah sakit di mana ia merawat pasien, juga disediakan tenda.
“Jika ada yang diare, mencret, batuk, dokter dan suster ke tenda mengukur temperatur tubuhnya dan oksigen di dalam darah dan dokter juga memeriksa paru-parunya. Kita tanya juga apakah bisa pasien merawat diri sendiri di rumah. Namun kami tetap mencatat untuk keperluan statistik dan dilaporkan kepada pemerintah.“
Banyak operasi ditunda dan kurang tenaga medis
Saat ini di rumah sakit tempat Marintan bekerja, jumlah pasiennya sudah menurun. “Sebelum pandemi, rumah sakit kami penuh. Kami kurang tenaga kerja dan sebagaimana diketahui masalah kurangnya tenaga medis ini sudah jadi masalah kronis.“
Bagi Marintan dan rekan-rekannya, pekerjaan yang dilakukan terasa lebih berat, karena setiap pasien harus diperlakukan khusus. “Kami benar-benar bolak-balik ganti baju pengaman, pakai lagi, periksa pasien, lepas lagi, kalau pun hanya untuk memberi minum pasien. Kami ganti alat pelindung diri bolak-balik demi keamanan kami dan pasien. Mungkin letihnya di situ. Bahkan kami bekerja tanpa istirahat”, pungkasnya.
Ketika para kru di rumah sakit tahu pandemi corona sudah sampai di Bonn, Jerman, banyak operasi kemudian ditunda. “Kami hanya berkonsentrasi menangani yang mengalami gawat darurat dan positif corona. Operasi yang bisa ditunda, kami tunda. Tidak ada diagnosis yang terencana, semua mengalami penundaan,“ tutur Marintan yang berasal dari Desa Girsang di Parapat, Sumatera Utara dan sudah lebih dari satu dekade menjadi perawat di Jerman.
Kesehatan jadi risiko
Menjadi petugas medis di saat wabah mengganas bagi sebagian petugas medis berarti mempertaruhkan nyawa.
Seorang dokter Indonesia yang bertugas di di rumah sakit Bernwart, Jerman bercerita bahwa ketika dirinya sedang bekerja di Unit Gawat Darurat di mana pasien datang dengan status tidak jelas, ia merasa risikonya lebih besar, apalagi tidak semua pasien datang dengan gejala yang klasik seperti demam, batuk atau apa yang khas disebut sebagai simtom covid-19.
“Dan jika kita tidak bertanya ke arah sana, misalnya kontak dengan orang yang positif COVID-19, maka tingkat kesulitannya besar. Tapi kalau sudah masuk ke stasiun COVID-19 malah saya jadi tahu sedang berhadapan dengan apa, jauh lebih gampang, karena kita bisa siapkan diri dengan alat pelindung diri yang lengkap, seperti hazmat, masker,“ papar Irwanto yang telah menjadi dokter di Jerman sejak tahun 2012. Saat diwawancarai DW di malam hari, ia baru saja pulang lembur.
Sementara itu Dokter Debi Frina Simanjuntak sempat mengalami gejala-gejala seperti yang dialami pasien COVID-19 pada umumnya, namun karena tidak menjalani pengetesan, ia mengaku tidak tahu apakah dirinya positif COVID-19 atau tidak, hingga akhirnya penyakitnya sembuh.
“Saat corona belum marak di Jerman, masih di bulan Januari, saya mengalami influenza, batuk, sesak nafas, lebih parah dari sebelumnya. Saya dua kali minta tes ke dokter umum tapi ditolak. Tapi kalau sekarang pasien datang dalam kondisi itu tentu langsung dites corona,“ pungkasnya.
Menjaga kehati-hatian dalam menghadapi wabah ini, menjadi pesan yang disampaikan Debi Frina. Hal serupa diingatkan juga oleh Irwanto Sudaryo. Meski corona nanti mereda, masyarakat disarankan untuk tidak lengah. “Ketika melewati puncak wabah, yang penting tetap jaga jarak fisik satu sama lain dan menggunaan masker. Dengan menggunakan masker, maka risiko tertular lebih rendah daripada yang tidak menggunakannya, serta lebih aman untuk tidak keluar rumah dulu, meskipun wabah mereda,“ tandas Irwanto.
Irwanto juga mengingatkan agar masyarakat tidak mudah menerima begitu saja berita-berita atau informasi yang tidak atau belum valid kebenarannya. “Misalnya waktu diberitakan obat malaria bisa menyembuhkan COVID-19, orang langsung memborong obat tersebut, padahal secara medis belum terbukti, yang ada malah bisa timbul efek samping. Begitu juga ketika Presiden AS, Donald Trump bilang disinfektan disuntikkan ke tubuh, wah itu berbahaya sekali,“ pungkasnya. (ap/gtp)