KTT Iklim di Durban Hasilkan Kompromi
11 Desember 2011Setelah dua malam sampai subuh melakukan perundingan maraton, Christina Figueres, ketua lembaga PBB untuk urusan perubahan iklim, UNFCCC Minggu pagi (11/12) mengumumkan di Durban, Afrika Selatan bahwa KTT Iklim PBB yang ke-17 itu berakhir dengan pengesahan paket Durban Platform.
Usai pengumuman, tidaklah penting untuk mengemukakan pertanyaan, apakah kesepakatan tersebut tercapai karena para delegasi sudah kecapean karena perundingan diperpanjang puluhan jam, padahal seharusnya sudah berakhir hari Jumat (9/11), ataukah karena imbauan Ketua KTT, Menteri Luar Negeri Afrika Selatan, Maite Nkoana-Mashabane. Ibu menteri keliatan lelah saat menyampaikan seruannya pada sidang pleno: "Saya pikir, kita semua tahu, hasilnya tidak sempurna. Tetapi kita tidak boleh membuat kesempurnaan menjadi musuh yang baik dan yang mungkin."
Protokol Kyoto dapat diselamatkan
Yang disebut Durban Platform adalah langkah awal bagi kebijakan iklim global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada puluhan tahun mendatang, sehingga pemanasan bumi tetap berada di bawah dua derajat Celsius. Ilmuwan memperkirakan, dengan kebijakan saat ini, pemanasan bumi bisa mencapai empat derajat.
Kesepakatan baru ini mencakup road map bagi perjanjian iklim global yang berlaku secara hukum hingga 2017 atau 2020 yang tidak hanya mewajibkan negara industri tetapi juga negara ambang industri serta negara berkembang untuk mengurangi emisinya.
Untuk imbalannya, Uni Eropa menyetujui untuk menerima periode kewajiban kedua kesepakatan emisi satu-satunya saat ini, yaitu Protokol Kyoto. Namun baru tahun depan dipastikan, apakah periode kewajiban kedua ini berlaku untuk lima atau delapan tahun. Dengan begitu, di Durban tidak hanya Protokol Kyoto yang diselamatkan, tetapi juga sebuah road map yang diterima dan akan diratifikasi pada tahun-tahun mendatang.
Libatkan negara-negara pengemisi CO2 terbesar
Kesepakatan baru ini memang belum sempurna. Terutama Uni Eropa yang ingin mencapai hasil berambisi. Hingga saat terakhir perundingan, Komisaris UE untuk urusan iklim Connie Hedegaard memperjuangkan kesepakatan yang berlaku secara hukum: "Jika ada masalah yang sangat besar, jika ada masalah global, masalah internasional, sarana sukarela tidak akan cukup untuk menyelesaikan masalah itu."
Setelah terlibat perdebatan sengit berjam-jam dengan delegasi India mengenai keabsahan kesepakatan secara hukum, Uni Eropa akhirnya menerima kompromi yang diajukan Ketua KTT Mashabana.
Uni Eropa yang beraliansi dengan negara-negara yang termiskin dan negara kepulauan, secara meluas dapat mencapai tuntutannnya pada KTT Iklim di Durban. Martin Kaiser, pakar iklim dari organisasi lingkungan Greenpeace melihat paket kesepakatan secara keseluruhan cukup pesimis, namun ia mengakui: „Ini sudah merupakan keberhasilan bahwa Cina, India, Brasil dan Afrika Selatan sekarang bersedia mengikuti perjanjian perlindungan iklim. Ancaman tetap ada bila Amerika Serikat tetap tidak ingin terlibat pada kebijakan yang dikaitkan secara hukum."
Terobosan setelah perundingan-perundingan yang stagnan
Memang sudah merupakan keberhasilan bahwa Amerika dan Cina, negara-negara emitor terbesar di dunia, untuk pertama kalinya menyetujui sebuah kesepakatan, namun keberhasilan perumusan perjanjian iklim internasional sebenarnya baru terlihat pada perundingan-perundingan mendatang. Imbalan bagi persetujuan Cina dan Amerika misalnya adalah bahwa kesepakatan yang tercapai di Durban tidak optimal. Masih belum diketahui bagaimana tahun depan upaya perlindungan iklim dapat ditingkatkan secara global.
Walaupun begitu, Durban Platform adalah sebuah terobosan dalam rangkaian perundingan iklim PBB yang sejak bertahun-tahun stagnan. Ini merupakan langkah pertama ke arah pengurangan global emisi CO2 yang bersifat mengikat. Dan hasil KTT Iklim PBB di Durban yang pasti tidak diukur melalui bilangan pecahan derajat Celsius. Isu ini baru diperdebatkan pada lima tahun ke depan.
Helle Jeppesen/Christa Saloh
Editor: Edith Koesoemawiria