Laos Jatuh dalam Jerat Utang Cina?
24 Juli 2024Sebagai bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan, Belt and Road Initiative (BRI), Cina mengucurkan pinjaman bernilai miliaran dolar AS kepada Laos untuk mengembangkan infrastruktur energi dan jalur kereta api berkecepatan tinggi. Harapannya, proyek raksasa itu akan memperkuat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Bendungan hidroelektrik yang didanai Cina di Sungai Mekong, dan infrastruktur energi lainnya, dicanangkan dengan misi menjadikan Laos "baterai" Asia Tenggara. Namun, kedua proyek tersebut sejauh ini belum menghasilkan keuntungan ekonomi yang diharapkan.
Data ekonomi baru-baru ini menunjukkan Laos menghadapi tumpukan utang, dengan total USD13,8 miliar pada akhir 2023, yang mewakili lebih dari 100 persen Produk Domestik Bruto, PDB.
Dominasi utang Cina
Pinjaman dari Cina, kreditor terbesar Laos, berjumlah setengah dari utang luar negeri sebesar USD10,5 miliar, menurut data yang diterbitkan di Bloomberg.
Zachary Abuza, profesor di National War College di Washington yang berfokus pada Asia Tenggara, mengatakan Laos sedang bergerak ke arah krisis utang.
"Bebannya bukan hanya utang ke Cina. Laos memiliki jumlah utang yang luar biasa tinggi. Utang sendiri bukan hal buruk, selama digunakan secara produktif. Tapi utang Laos tidak seperti itu. Mereka saat ini menghadapi surplus produksi energi hidroelektrik," kata dia kepada DW.
"Jalur kereta api contohnya menjadi proyek mercusuar lain. Karena meskipun sekarang mampu menjangkau Bangkok di Thailand, proyek ini seharusnya lebih menguntungkan. Semua itu telah menyebabkan penurunan nilai 30 persen pada nilai tukar mata uang Kip pada tahun 2023 dan melonjaknya inflasi, yang sekarang menjadi yang kedua tertinggi di kawasan ini, "tambahnya.
Bukan cuma utang Cina
Cina mengklaim telah "melakukan yang terbaik" untuk membantu Laos mengurangi beban utang, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina kepada Bloomberg.
Laos menjaga hubungan dekat dengan Cina, antara lain, karena berbagi ideologi politik yang serupa. Negeri di tepi Mekong itu menganut komunisme dan diperintah oleh Partai Revolusi Rakyat Lao.
Beijing selama ini dituduh negara Barat menerapkan "jebakan utang" dengan membiayai proyek-proyek mercusuar di negara-negara berkembang, yang akhirnya kesulitan membiayai pinjaman besar Cina dan menjadi tergantung secara ekonomi.
Abuza sebaliknya mengatakan pemerintah Laos harus memikul sebagian tanggung jawab atas kekacauan ekonominya.
"Cina semata tidak bisa disalahkan. Kesalahan terbesar dibuat pemerintah Laos yang terlalu banyak berutang untuk proyek-proyek yang tidak memberikan pengembalian ekonomi yang mereka perkirakan," katanya.
Dia menambahkan, pinjaman Cina "tidak murah" dan harus dijamin dengan bunga 4 persen, yang tergolong tinggi untuk proyek konstruksi. Menurutnya, Jepang dan Bank Dunia biasanya mengenakan biaya di bawah 1 persen.
"Dalih yang digunakan Beijing adalah bahwa mereka umumnya harus mengambil risiko politik dan keamanan yang tinggi. Karena sebagian besar pinjaman BRI dialirkan melalui perusahaan atau bank milik negara, mereka dijaminkan, yang berarti bahwa jika Laos bangkrut, mereka akan kehilangan uang yang diparkir di rekening Bank of China, atau mereka akan kehilangan aset dalam bentuk pertukaran ekuitas," katanya.
Krisis ekonomi hantui masyarakat Laos
Perekonomian Laos kesulitan pulih sejak pandemi Covid-19 yang disusul lonjakan inflasi, nilai tukar yang lemah dan melambatnya pertumbuhan ekonomi.
Pada bulan Juni lalu, angka inflasi di Laos melonjak ke kisaran 26 persen. Adapun pertumbuhan ekonomi dipatok moderat oleh Bank Dunia sebesar 3,7 persen pada 2023 dan diperkirakan merangkak ke angka 4 persen pada 2024. Sebelum pandemi, pertumbuhan ekonomi Laos bertengger di angka 5,5 persen.
Seorang penduduk Laos, yang merahasiakan identitas karena masalah keamanan, mengatakan betapa warga biasa mulai merasakan beban ekonomi, dengan berkurangnya anggaran untuk layanan publik, pemeliharaan jalan, pendidikan dan layanan kesehatan.
"Sejak Covid, banyak usaha kecil telah ditutup, dan banyak yang belum dibuka kembali. Mereka yang memiliki beberapa tanah terpaksa menanam pangan dan kembali ke bentuk mata pencaharian subsisten," kata dia.
"Kebanyakan orang tidak akan memahami skala utang yang kita hadapi, mereka juga tidak akan mengaitkan utang ke Cina akan memiliki dampak langsung terhadap kehidupan mereka," imbuhnya.
rzn/hp