Mali : Negara Yang Tercabik
15 Januari 2013Republik Mali pernah dianggap negara paling demokratis di Afrika. Dari jajahan Perancis, dalam beberapa puluh tahun saja Mali berkembang menjadi negara demokrasi, lengkap dengan konstitusi, parlemen dan pemilihan multi partai.
Namun kini, tak banyak yang tersisa dari demokrasi itu. "Kudeta militer yang menggulingkan presiden, terhitung sebagai salah satu penyebab perkembangan ini ", ungkap Peter Heine, mantan Professor di Universitas Humboldt, Berlin.
Kudeta itu terjadi Maret 2012, militer Mali merebut kekuasaan dari Presiden Amadou Toumani Touré. Alasannya: Touré tak mampu mengatasi krisis dan pemberontakan kaum Tuareg di utara negeri. Padahal Tourés hanya tinggal beberapa pekan saja menjabat Presiden, karena pemilihan umum sudah di ambang pintu.
Jaringan Islam Radikal
Ternyata kudeta itu malah menguntungkan kaum Tuareg. Paling tidak pada awalnya. Dalam vakum kekuasaan pasca kudeta, kaum Tuareg membangun aliansi dengan jaringan teror „Al Qaida di Islam Magribi“ (AQIM).
Tapi kaum Tuareg yang sudah puluhan tahun merasa dilupakan oleh pemerintah Mali di Bamako, kemudian dikhianati oleh AQIM yang gencar meluaskan kekuasaannya sendiri. Kelompok Tuareg akhirnya kehilangan pengaruh.
Keberhasilam AQIM beserta kelompok mitranya, seperti "Ansar Dine“ membangun pengaruh juga akibat dari lemahnya pemerintahan di kawasan itu. AQIM berhasil menggalang dana lewat perdagangan narkoba dan penculikan.
"Banyak pemerintah yang bersedia membayar uang tebusan tinggi untuk keselamatan warganya“. Begitu Peter Pham, pakar Afrika Atlantic Council, sebuah think-tank AS. "Dengan strategi itu jaringan teror AQIM berhasil mengumpulkan jutaan dollar”.
Tewasnya penguasa Libya Muamar al Khadafi juga memperkuat jaringan teror itu. Menyandang perlengkapan tempur, para serdadu bayaran dari kawasan Sahel yang telah lama bekerja untuk Khadaffi terpaksa pulang kampung. Sebagian persenjataan itu di jual kepada kelompok gerilyawan.
"Sejak pecahnya perang di Libya, persenjataan kelompok teroris Mali bertambah– selain itu banyak bekas serdadu yang mencari pekerjaan,“ demikian pakar studi Islam, Pham. Ia khawatir bahwa pengaruh AQIM akan terus berkembang ke negara-negara tetangga di kawasan itu.
"Bila terjadi, kita bakal melihat berkembangnya kawasan di mana hukum tidak berlaku", tuturnya. "Penculikan dan perdagangan besar-besaran narkoba akan semakin menjadi."
Tanda-tanda negara yang gagal
Mali utara miskin, tidak ada apapun di sana. Begitu dikatakan mantan presiden Mali, Amadou Toumani Touré kepada harian "Le Monde diplomatique": tTk ada jalanan, tak ada rumah sakit, sekolah, maupun sumur dan mata air, tidak ada infrastruktur untuk kehidupan sehari-hari.
"Orang muda dari kawasan ini tidak punya peluang untuk menikah misalnya, atau untuk hidup berkecukupan, kecuali bila mencuri mobil atau bergabung dengan kelompok penyelundup." Tantangan mereka bertambah berat, karena banyak kelompok Islam radikal seperti AQIM yang menggunakan kawasan ini sebagai persembunyian.
Pasukan perdamaian yang dikirim PBB akhir 2012, tak bisa berbuat banyak menghadapi masalah yang bertubi-tubi ini. Wakil Komisaris Luar Negeri di parlemen Jerman, Hans-Ulrich Klose (SPD) menilai operasi seperti itu harus didefinisikan secara rinci. "Apakah tujuannya untuk mengusir kaki tangan AQIM dari kawasan itu? Bila ya, mereka akan didesak ke mana?"
Militer Terpecah
Perancis selama ini mendukung pemerintah Mali untuk melawan kaum gerilyawan Islamis. Namun tidak jelas bagaimana negara seperti Perancis bisa berpartisipasi dalam tugas yang begitu berbahaya dan rumit.
Pengalaman di Afghanistan menunjukkan betapa sulitnya melakukan intervensi di suatu kawasan yang menyediakan banyak peluang persembunyian.
Meski begitu banyak warga Mali yang mengharapkan negara-negara Eropa melibatkan diri. Begitu Charlotte Heyl dari GIGA-Institut. Menurut dia, ini karena rakyat Mali pesimis bahwa militer negaranya bisa menyelesaikan masalah ini.
"Ada konflik internal dalam tubuh militer Mali, karenanya kesatuan militer tercabik dan terpecah belah“. Begitu tambah Charlotte Heyl, yang juga skeptis menanggapi peningkatan pendidikan anggota militer Mali.