Obat Tidur Ideal
12 September 2013Obat tidur punya reputasi buruk, tapi sering jadi alternatif satu-satunya bagi orang yang menderita gangguan tidur berat, atau insomnia. Yang tidak pernah menderita insomnia tidak tahu seberapa buruk situasinya. Anne-Marie menderita insomnia sejak 19 tahun lalu, sejak ibunya meninggal. Setelah beberapa hari tidak bisa tidur ia pergi ke dokter. Perempuan berusia 68 tahun itu perlu waktu setengah jam untuk bercerita tentang semua dokter yang didatanginya sejak 19 tahun lalu. Tidak ada yang bisa membantu. Sepuluh tahun lalu ia mulai meminum obat tidur.
Memaksa Tidur dengan Obat
Menurut Institut Robert Koch yang termasuk Departemen Kesehatan Jerman, 25% penduduk menderita simtom insomnia. Di AS, 10%-15%dari seluruh orang dewasa mengaku penderita kronis insomnia. Menurut Pusat Penelitian Gangguan Tidur, yang termasuk Institut Kesehatan AS. Penyebabnya kerap bersifat psikologis, kata Hans-Günter Weeß, direktur pusat penelitian bidang ini di Pfalzklinikum, rumah sakit khusus psikiatri dan neurologi di Klingenmünster, Jerman. "Pasien kadang lupa bagaimana cara rileks. Mereka terus memikirkan tugas sehari-hari." Penyakit lain seperti gangguan pada kelenjar tiroid juga bisa menyebabkan insomnia.
Untuk menolong pasien-pasien itu, peneliti berusaha mencari obat tidur yang ideal. Di masa lalu Barbiturat dipuji sebagai solusinya. Di tahun 1950-an, para dokter menyadari kemungkinan Barbiturat membuat orang sangat ketagihan. Kemudian Benzodiazepine menguasai pasaran. Valium adalah sebuah merek yang menjadi sangat terkenal. Seperti Barbiturat, Benzodiazepine berdampak pada reseptor GABA, yang bekerja di seluruh otak, termasuk daerah-daerah yang penting bagi koordinasi motorik dan perasaan.
Meskipun benzodiazepine masih ada di pasaran, sekarang ada alternatif baru, yang disebut "Z-drugs" atau obat-obat "Z", misalnya Zolpidem dan Zopiclone, yang mengandung cyclopyrrolones. Walaupun juga berdampak pada GABA reseptor, efek sampingan Cyclopyrrolones tidak sebanyak Benzodiazepine. Ini obat standar yang digunakan untuk mengobati insomnia.
Menurut para pakar, semua obat tidur ini punya persamaan, mereka mengubah pola tidur pasien. Obat yang modern tetap punya efek sampingan walaupun sedikit. Keesokan harinya pasien tetap merasa lelah atau gelisah, dan mungkin tidak bisa menyetir mobil. Obat-obat itu dalam jangka panjang membuat ketagihan, atau tidak berfungsi lagi.
Harapan Baru
Sekarang harapan tertumpu pada apa yang disebut "dual orexin receptor antagonists", atau DORAs. Peneliti menemukan bahwa neurotransmiter Orexin berperan utama untuk mengkontrol ritme sirkadian. Siang hari tingkat Orexin tinggi, dan malam rendah, sehingga orang bisa tidur. DORAs memblokir reseptor ini sehingga neurotransmitter itu tidak bekerja dan orang bisa tidur.
Orexin berada di bagian otak yang tersembunyi, sehingga para ahli menduga, DORAs tidak akan menyebabkan efek sampingan yang ditimbulkan obat tidur lainnya. Tetapi DORAs belum melewati uji coba klinis. Agar dapat digunakan bagi manusia, DORAs perlu melewati banyak tes.
Hanya Solusi Darurat
Anne-Marie bercerita, ia sudah mencoba berbagai hal agar bisa tidur. Sekarang ia selalu meminum seperempat tablet obat tidur. Dokternya selalu memberikan resep untuk obat itu, karena ia tahu, Anne-Marie hanya menggunakan dosis ringan.
Tetapi Hans-Günter Weeß memperingatkan, obat tidur hanya solusi darurat. Obat itu tidak menyembuhkan insomnia, tidak menghilangkan penyebabnya, melainkan hanya mengurangi simtom. Bagi Anne-Marie itu lebih dari cukup.