Meneliti di Bidang Pengolahan Air di Jerman
11 Juli 2021Sebenarnya Eliezer Justinus Kurnia tidak punya rencana untuk berkuliah di Jerman, setelah tamat S1 dari jurusan teknik kimia, Institut Teknologi Bandung tahun 2012. ”Bisa dibilang agak terjebak juga, sih,” katanya sambil tertawa. Tapi ia sekarang sudah datang dan berkuliah untuk keduakalinya di Jerman.
“Terpaksa“ kuliah lagi
Eliezer bercerita, ia memang sudah tertarik pada pengolahan air sejak masih kuliah S1. Tapi karena merasa sudah belajar sangat lama, ia ingin bekerja dulu dan mencari pengalaman, sesudah lulus S1. Setelah itu baru mungkin melanjutkan kuliah lagi. Begitu rencananya. Tapi apa boleh buat, ketika itu ia tidak mendapat pekerjaan.
Kemudian kakak kelasnya di ITB yang sudah pernah mendapat beasiswa Deutscher Akademischer Austauschdienst (DAAD) memberikan saran untuk mencoba melamar beasiswa DAAD. Akhirnya ia mencoba dan diterima untuk mengambil S2 di Jerman.
Setelah lulus S2 tahun 2016, ia sempat mencari pekerjaan di Jerman, tapi tidak dapat pula, antara lain karena situasi ekonomi Jerman ketika itu sedang memburuk. Tapi waktu itu ia juga sudah menyadari, bahwa untuk berbagai posisi, yang dicari adalah orang yang mengantongi S1 atau S3.
“S2 sebetulnya kagok,” katanya. Tapi untuk orang-orang yang mendapat beasiswa DAAD, organisasi itu juga menetapkan jarak dua tahun, sebelum orang itu bisa melamar beasiswa lainnya. Setelah kembali berada di tanah air, ia juga sempat mencoba melamar pekerjaan ke Belanda dan Denmark, bahkan sempat melalui beberapa wawancara. Setelah dua tahun lewat, ia kembali melamar beasiswa DAAD, kali ini untuk mengambil gelar Ph. D. di Jerman.
Sudah menetapkan akan jadi peneliti
“Ya. Kalau sekarang udah kadung,” kata pria asal Bandung itu ketika ditanya apakah ia sekarang ingin menjadi seorang peneliti. Ia menjelaskan, ia juga kebetulan gemar mengulik. Misalnya, karena ia gemar main musik, ia meneliti berfungsinya “pedalboard“ untuk gitar listrik.
Ia bercerita, sekarang untuk S3 ia kembali ke universitas yang sama di mana ia mengambil S2, yaitu Universität Duisburg-Essen. Selain itu, ia juga kembali dibimbing profesor yang sama. Itu menolong, dibanding waktu ia baru memulai kuliah S2. “Dia tahu kinerja saya, dan saya sudah tau gayanya profesor ini seperti apa,“ jelasnya. Jadi adaptasi lebih mulus karena sudah pernah ke Jerman. Selain itu, topik penelitiannya juga sudah dikenal sang profesor karena melanjutkan penelitiannya di S2.
Ketika memulai S2 di Jerman, jurusan yang dipilih adalah Water Science atau ilmu air. Ketika itu, bidang yang termasuk jurusan kimia ini termasuk jurusan yang masih muda. “Jadi kimia, fokusnya air,” papar Eliezer.
Awalnya bukan hanya terbentur masalah bahasa
Waktu datang ke Jerman untuk mengambil S2 tantangan terbesar yang dirasakannya adalah bagaimana mengelola hidup sendiri, karena harus bertanggungjawab bagi diri sendiri. Ia bercerita, itu juga untuk pertama kalinya ia ke luar negeri, dan karena pertama kali ke luar negeri, pertama kali jauh dari orang tua. Tantangannya: bagaimana mengelola hidup sendiri, karena harus bertanggungjawab bagi diri sendiri. “Harus beli makan, mikirin besok makan apa.“
Tantangan kedua: waktu pertama kali datang di Jerman, ia belum bisa bahasa Jerman sama sekali. Walaupun program DAAD mencakup belajar bahasa 4 bulan. Sambil tertawa ia berkata “Taunya cuma ‘danke schön‘,“ yang artinya terima kasih.
Begitu mendarat di Jerman, walaupun sudah melewatkan 20 jam di pesawat terbang, ia tidak bisa beristirahat. Dari Frankfurt ia harus langsung naik kereta ke kota lain. Sialnya, waktu itu sebenarnya ia datang bersama empat penerima beasiswa DAAD lainnya, tapi mereka semua harus mengikuti pelajaran bahasa Jerman di kota lain, yaitu Göttingen. Sehingga ia harus sendirian naik kereta ke Münster.
Di kereta itu ada cerita lucu. Karena baru datang di Jerman, ia hanya tahu bahwa naik kereta perlu karcis, dan bisa memesan tempat duduk. Tapi ia tidak tahu harus melihat di mana, tanda bahwa sebuah tempat duduk sudah dipesan orang. Setelah beberapa stasiun lewat, seorang pria Jerman naik dan mengatakan sesuatu kepadanya dalam bahasa Jerman. Ia menjawab dalam bahasa Inggris, tapi pria itu tidak mengerti. Akhirnya seorang penumpang lain yang memberikan bantuan. “Itu ibaratnya ‘shocktherapie‘,“ kata Eliezer . Sehingga ia sadar, bahwa ia harus belajar bahasa Jerman untuk komunikasi sehari-hari.
Masalah lainnya yang butuh penyesuaian adalah cuaca. Apalagi kalau musim dingin. Pagi hari ketika ia pergi kuliah pukul tujuh atau delapan pagi, di luar masih gelap. Ketika pulang pukul empat sore, di luar sudah kembali gelap.
Untuk hal pendidikan, menurut Eliezer, pendidikan Jerman lebih fundamental. Yang ditekankan adalah, orang harus mengerti apa yang jadi teori, dan latar belakang. Sedangkan di Indonesia, lebih ke arah “kasusnya begini, itung ini, pake rumus ini, berdasarkan itu, akan tahu pake formula yang mana.“ Jadi lebih berorientasi pada masalah dan bagaimana cara penanganannya.
Sehingga ketika berkuliah S2, ia merasakan kesenjangan, antara apa yang ia pelajari di Indonesia dan yang dipelajari teman-temannya yang lulus dari Jerman. Sekarang, dalam berkuliah untuk mendapat Ph.D., ia sudah mengetahui masalah itu, sehingga transisinya lebih mudah.
Selain itu, dari segi kehidupan sosial, megingat ia kembali ke daerah Jerman yang sama untuk mengambil S3, ia sudah punya komunitas gereja untuk beribadah bersama dan berteman, tidak perlu mencari lagi.
Masalah dalam penelitian lain lagi
Untuk mendapat gelar Ph. D. bidang risetnya adalah teknologi membran. Dalam penelitian masalah yang terbesar adalah, walaupun sudah ada perencanaan, tapi bisa saja terjadi kesalahan yang tidak bisa diduga sebelumnya.
Ia menjelaskan penelitiannya secara singkat. Jika minum kopi, orang kerap menyaring ampasnya dengan filter. Membran dalam bidang penelitiannya berfungsinya hampir sama, tetapi pori-porinya jauh lebih halus sehingga bisa memisahkan protein A dari protein B.
Tapi yang ia kerjakan berbeda sedikit. Disebutnya Reverse Osmosis. Di sini, air diresap oleh membran kemudian mengalir ke sisi lain. Istilah kimianya “difusi.“ Jika kita misalnya menggunakan air laut, dari bagian atas membran, air akan teresap dan terdorong ke bawah sehingga melewati membran, sementara garam tersaring di bagian atas. Yang dilakukan Eliezer adalah memodifikasi membran, karena sistem Reverse Osmosis sudah banyak dipakai, dan efisiensinya sudah terbukti cukup baik, tetapi perlu lebih bersifat berkelanjutan.
Untuk mencapai itu, ada berbagai cara, misalnya diberi kimia tertentu. Sedangkan yang dilakukan Eliezer adalah menempatkan pola tertentu pada membran dan mencetaknya dengan mesin press sehingga terbentuk pola “hill and valley“, atau bukit dan lembah, yang tampak seperti gari-garis halus pada membran. Skalanya micrometer (1 milimeter = 1.000 mikrometer), sehingga sangat halus. Parit besarnya hanya 20 mikrometer, sedangkan debu atau pasir, ukurannya 500 mikrometer.
Contoh tantangan yang dialaminya dalam penelitian adalah pada pola membran itu. Ketika dicek dengan mikroskop optik, segalanya tampak baik. Tetapi jika dicek dng mikroskop elektron ternyata ada parit yang ukurannya berbeda. Setelah diteliti akhirnya diketahui, bahwa plat metal yang digunakan untuk mencetak pola pada membran tidak rata, melainkan agak bengkok.
Perbedaan kebudayaan dan tradisi memperkaya orang
Di luar dunia ilmu pengetahuan, pelajaran terbesar yang diperoleh di Jerman adalah di bidang kebudayaan. Dulu di Indonesia, seperti umumnya, ia belajar bahwa Indonesia multikultural. Tapi yang ia temui di Jerman adalah situasi yang jauh lebih multikultural lagi. Ternyata yang di Indonesia hanya secuil dibanding apa yang ada. Bagi Eliezer pelajaran terbesar adalah bagaimana beradaptasi dengan berbagai kebudayaan dan kebiasaan yang berbeda, tanpa kehilangan identitas diri sendiri.
Ia mengungkap lebih lanjut, ia senang dengan orang Jerman karena “mereka jika disebut ‚‘open minded‘ memang benar-benar ‘open minded‘. Sementara di Indonesia tidak demikian. Contohnya, di Indonesia ia sering merasa, bahwa jika orang berdiskusi, itu bukan untuk melihat dari sudut pandang orang lain, melainkan berdiskusi untuk meyakinkan orang lain bahwa sudut pandang kitalah yang benar.
Di Jerman tidak demikian. “Jadi kalau pada akhirnya kita ‘agree to disagree,’ bukan berarti kita jadi musuhan. Kalau di Indonesia, itu jadi merambat ke hal-hal lain,” papar Eliezer. Contohnya, jika kenal dengan orang yang homoseksual, di Jerman dia bisa tetap berdiskusi dan belajar tentang kimia dari orang itu, tanpa harus menyatakan mendukung homoseksualitas. Bagi Eliezer, hal seperti ini yang kurang di Indonesia. “Bagaimana menerima hal yang berbeda, tanpa harus ‘prejudice‘ sebelumnya.“
Bergaul dengan berbagai kebudayaan
Salah satu penyakit orang Indonesia di Jerman yang ia sayangkan adalah, orang Indonesia di Jerman yang hanya berteman dengan orang Indonesia juga. Memang bisa dimgengerti, karena bahasa dan budayanya sama. Jadi pesannya bagi orang Indonesia yang ingin berkuliah di Jerman: cobalah perluas pergaulan.
Coba bergaul juga dengan orang Jerman atau orang-orang dari negara lain lain. Karena itulah kesempatan bagus untuk mendapat hal-hal baru, perspektif baru, cerita orang yang baru, dan mengenal kultur yang baru. “Bergaul dengan orang lain memperluas paradigma untuk memperluas perspektif kita,“ demikian ia tekankan.
Selain itu, pesan lainnya lagi adalah siap-siap hidup mandiri. Contohnya, di Jerman setiap hari Minggu supermarket tutup, berarti agar di hari Minggu punya makanan, harus buat rencana dan belanja sehari sebelumnya. Sebaliknya, kalau di Indonesia, setiap saat bisa belanja.
Kalau dalam hal kuliah, di Indonesia, mahasiswa yang diizinkan mengikuti ujian hanya mereka yang hadir 80% di semester itu. Sementara di Jerman, “Lu dateng, lu ga dateng, peduli amat. Yang penting ujian ada. Tapi lu lulus, ga lulus, urusan elu,” katanya sambil tertawa. Jadi di Jerman orang dilatih untuk punya pola pikir lebih mandiri dalam hal kuliah maupun hidup sehari-hari, demikian kesimpulan Eliezer. (ml/hp)