Dampak Beracun Impor Sampah Plastik Ditemukan di Malaysia
28 Mei 2020Dalam laporan terbaru Greenpeace Malaysia, The Recycling Myth 2.0, disebutkan bahwa tim investigasi gabungan dari Greenpeace Malaysia, Jerman, Hong Kong, Italia, dan tim laboratorium penelitian Greenpeace di Inggris menemukan zat serta bahan kimia berbahaya dalam sampel air dan tanah yang diambil di empat titik di wilayah Selangor dan Kedah.
Temuan ini diyakini sebagai efek jangka panjang dari impor sampah plastik ilegal di negeri jiran tersebut.
“Pembuangan ilegal sampah plastik dari lebih 19 negara di seluruh dunia telah meninggalkan bekas yang tak terhapuskan di Malaysia dan negara-negara lain di Asia Tenggara. Selain pandemi Covid-19 yang tengah berlangsung, masyarakat di Selangor dan Kedah memiliki musuh lain yang tak kasat mata untuk dihadapi - kontaminan kimia yang tetap ada di lingkungan kita dengan kemungkinan memasuki rantai makanan kita,” ujar Heng Kiah Chun, Juru Kampanye Greenpeace Malaysia, dikuti dari laman resmi Greenpeace Malaysia.
Ada empat poin utama dalam temuan tersebut, antara lain:
-
Investigasi di tempat pembuangan sampah di Pulau Indah di mana limbah dibakar, menunjukkan sejumlah residu pasca-pembakaran yang ditemukan mengandung beberapa kontaminan dengan tambahan bahan kimia atau senyawa yang dihasilkan selama atau sebagai hasil dari proses pembakaran.
-
Kontaminan dengan bahan kimia berbahaya termasuk logam berat ditemukan di lokasi di mana limbah plastik dibakar.
-
Ada bukti bahwa air permukaan yang bersebelahan dengan, atau hilir dari beberapa tempat pembuangan atau pengolahan sampah plastik yang diselidiki dalam penelitian ini terkontaminasi dengan bahan kimia, yang mungkin berasal dari plastik yang dibuang di lokasi ini.
-
Investigasi di tempat pembuangan sampah illegal yang sekarang ditinggalkan, menemukan lapisan atas tanah di tempat pembuangan sampah Sri Cheeding telah tertutup oleh cacahan plastik. Lapisan atas tanah terkontaminasi dengan logam berat konsentrasi tinggi termasuk kadmium dan timbal, berefek pada lingkungan sekitar.
Sepanjang tahun 2019-2020 ini, pemerintah Malaysia telah menutup sebanyak 218 pabrik daur ulang sampah plastik illegal. Malaysia pun berhasil memulangkan 150 kontainer berisikan total 3.737 metrik ton impor sampah plastik illegal (sepertiga berat Menara Eiffel).
“Negara-negara pengekspor seperti Jerman harus bertanggung jawab atas limbahnya. Regulasi yang lebih kuat diperlukan untuk secara drastis mengurangi produksi kemasan plastik sekali pakai yang tidak perlu oleh perusahaan multinasional seperti Nestle, sehingga limbah tidak perlu diekspor sejak awal,” jelas Manfred Santen, Juru Kampanye Greenpeace Jerman, dikutip dari laman resmi Greenpeace Malaysia.
Bahan kimia berbahaya
"Ketika plastik diekspor dari satu negara ke negara lain, mereka dapat membawa berbagai bahan kimia berbahaya," jelas Dr. Kevin Brigden, ilmuwan senior dari laboratorium penelitian Greenpeace. "Penyimpanan dan pengolahan yang tidak tepat nantinya dapat melepaskan bahan kimia ini ke lingkungan sekitar, dan proses pembakaran bahkan dapat menghasilkan bahan kimia berbahaya baru," ia menambahkan.
Sementara itu, Greenpeace mengaku “belum memiliki studi terbaru,” tentang hal serupa di Indonesia, ujar Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia, Muharram Atha Rasyadi melalui pesan singkat kepada DW Indonesia, Kamis (28/05).
Namun ia mengaku saat ini masalah sampah plastik di Indonesia telah mencapai tahap kritis. “Apalagi untuk wilayah Jakarta mengingat TPA Bantar Gebang akan overload di tahun depan,” terang Atha.
Senada dengan Atha, Manajer Kampanye Energi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Dwi Sawung, mengatakan masalah sampah plastik di kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa sudah semakin parah. “Skala 1 sampai 100 sudah sampai 80-90, sudah parah sekali masalah sampah plastik,” jelas Sawung saat diwawancarai DW Indonesia, Kamis sore (28/05).
Ia mengungkapkan di tempat-tempat penampungan sampah plastik di Indonesia telah ditemukan dioksin, senyawa kimia berbahaya yang bersifat karsinogenik. Dioksin muncul dari hasil proses pembakaran plastik yang umum dijumpai di wilayah-wilayah penampungan sampah plastik. Dioksin ini kemudian tersebar dalam bentuk polutan.
“Di Indonesia lebih masif lagi dibakar…Yang paling banyak dioksin. Ada juga kandungan lain, logam berat, merkuri dari si plastiknya. Biasanya gara-gara dibakar atau dipanaskan dia (logam berat) keluar. Kadang-kadang ada lapisan-lapisan tertentu, lapisannya rontok (dibakar), lapisannya itu biasanya ada logam beratnya. Apalagi kalau dia warna-warna tertentu ada logam beratnya, yang cerah-cerah biasanya,” papar Sawung.
Tolak kirim balik
Sawung menjelaskan kondisi ini semakin diperparah ketika perusahaan pengirim maupun penerima sampah plastik urung bertanggung jawab karena gulung tikar, imbasnya jumlah sampah plastik di Indonesia semakin menumpuk. Seperti yang terbaru, ditemukannya 1.078 kontainer sampah plastik di Pelabuhan Tanjung Priok pada awal tahun ini.
“Si swasta yang mengimpornya itu ngga mau ngirim (balik) lagi, dia sudah bangkrut. Karena untuk menyimpan di pelabuhan itu ada biayanya. Untuk bayar biaya penyimpanannya saja sudah tidak sanggup, kirim ulang juga sudah tidak sanggup, bayar lagi. Sementara dari pemerintah tidak ada biaya pemulangan,” terang Sawung.
DW Indonesia mencoba menghubungi Dirjen Bea dan Cukai, Heru Pambudi, untuk meminta perkembangan data terbaru kasus impor sampah plastik di Indonesia, namun hingga berita ini diturunkan yang bersangkutan belum memberikan respon.
Lebih lanjut Sawung menegaskan bahwa pemerintah semestinya melarang impor limbah non-bahan berbahaya dan beracun, untuk menghidanri kasus serupa di kemudian hari.
“Kalau saya menyarankan untuk menghentikan impor segala macam jenis sampah ke Indonesia. Kalau dia pakai pengecualian apa pun susah, dia (sampah plastik) pasti masuk lagi. Karena dulu ke Cina, semenjak Cina berhenti yasudah mau tidak mau importirnya masuk ke Indonesia,” imbuhnya.
Produksi sampah plastik dalam negeri terus meningkat
Sawung pun menjelaskan meski beberapa wilayah yang telah memperbaiki tata cara pengelolahan sampah plastik, namun produksi sampah plastik di Indonesia sendiri secara umum terus mengalami peningkatan.
“Apalagi pandemi ini presentase sampah plastik meningkat, meski total jumlah sampah menurun,” ungkap Sawung. “Justru malah ketika dibuang jadi malah meingkatkan risiko dia menularkan penyakit, jadi medium, karena di plastik virusnya lebih lama bertahan,” ia menambahkan.
Kepada DW Indonesia, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengklaim selama pandemi virus corona produksi sampah di Indonesia mengalami penurunan.
Rosa mengatakan ada beberapa wilayah yang mengalami penurunan signifikan hingga 10-15 persen per hari, antara lain Jakarta dengan 620 ton/hari dan Surabaya 310 ton/hari. Sementara Bandung, Balikpapan, Tangeang Selatan, Bogor, dan Bekasi mengalami penurunan 1-3 persen per hari.
“Kondisi ini terjadi karena sumber sampah Komersial menurun drastis, tetapi dari sumber Rumah Tangga ada peningkatan,” ungkap Rosa kepada DW Indonesia, Kamis (28/05).
Rosa mengatakan meski produksi sampah secara umum menurun, namun komposisi sampah plastik mengalami peningkatan seperti dari limbah belanja on line dan masker sekali pakai. Antara lain di Balikpapan tercatat produksi sampah platik harian mencapai 20,67 ton/hari dan di Bogor 10-15 ton/hari.
“Walaupun timbulan sampah menurun, hasil penelitian LIPI menunjukkan adanya peningkatan komposisi sampah plastik. Komposisi masker sekali pakai termasuk paling banyak ditemukan di sungai yang menuju Teluk Jakarta selama Masa Covid,” pungkas Rosa.
rap/rzn