Menuju Transformasi Pembangunan Rendah Karbon di Indonesia
7 September 2024Indonesia telah menetapkan target mencapai emisi nol hingga 2060. Sementara, sebagaimana yang kembali ditegaskan Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Lakshmi Dhewanti, target Enhanced Nationally Determined Contributions (ENDC) Indonesia adalah untuk bisa mengurangi emisi hingga 43,20% dengan bantuan internasional dan 31,89% melalui upaya mandiri.
Namun, menyelaraskan pertumbuhan ekonomi dengan pengurangan emisi menjadi salah satu tantangan besar. Inilah persoalan yang diangkat dalam konferensi bertema ”Transformasi untuk Pembangunan Rendah Karbon”” yang diselenggarakan oleh International Conference of Integrated Intellectual Community (ICONIC), konferensi ilmiah internasional dua tahunan di Jerman yang diprakarsai dan diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jerman, sebagai wadah untuk bertindak menjadi jembatan akademis antara Indonesia dan Jerman.
Dalam risetnya, ICONIC memandang sebagian masalahnya disebabkan oleh sumber daya alamnya seperti batu bara, minyak, hutan, dan lahan gambut. Akibatnya, emisi Indonesia – tidak termasuk Tata Guna Lahan, Perubahan Tata Guna Lahan, dan Kehutanan (LULUCF) – telah meningkat sebesar 193% antara tahun 1990 dan 2019, dengan emisi terkait energi mencapai antara 59% dan 67% dari total emisi.
Kini, kemampuan negara untuk beralih ke model pembangunan rendah karbon akan menjadi faktor penting dalam pembangunan di masa depannya. Dalam Konferensi ICONIC 2024 di Göttingen, Jerman, bertema, ”Transformasi untuk Pembangunan Rendah Karbon”, Wakil Presiden Bidang Penelitian dan Keberlanjutan Universitas Göttingen, Prof. Bernhard Brümmer, mengungkapkan sangat penting untuk terus mengumpulkan gagasan menekan emisi karbon dalam pembangunan suatu negara: ”Ini adalah masa depan kita, bagaimana menekankan aspek lingkungan dalam pembangunan. Rekomendasi dari para ilmuwan dibutuhkan sebagai masukan bagi pemerintah,” tandasnya.
Pentingnya kolaborasi riset dan aplikasi inovasi rendah karbon
Brümmer juga mendorong kolaborasi antarnegara dalam menjawab tantangan global secara terus-menerus. ”Jerman dengan perubahan arah kebijakan energi yang disebut Energiewende, tak mau lagi menggunakan batu bara. Sejak tahun 1990-an, emisi terus berkurang hingga 40 persen, namun jangan cepat puas, melainkan bersikaplah realistis dalam menjawab tantangan perubahan iklim,” katanya. Misalnya, untuk transportasi jarak jauh. ”Anda yang kebetulan bepergian dengan kereta Jerman mungkin telah menyadari bahwa masih ada ruang untuk perbaikan di bidang itu saat ini di Jerman, tetapi kami sedang berupaya untuk mengurangi emisinya.”
Teknologi inovasi merupakan bidang penting, di mana Jerman berinvestasi cukup banyak, baik di tingkat pusat maupun negara bagian, imbuh Brümmer.
”Universitas kami sudah banyak membuat riset, baik di bidang kehutanan, pertanian, dll dan senang untuk berkolaborasi dengan Indonesia untuk berbagai riset tersebut, termasuk di sektor kehutanan di Jambi, yang sangat bermanfaat kolaborasinya,” papar Brümmer. Ia mengungkapkan universitas yang dipimpinnya melakukan banyak penelitian di bidang keberlanjutan. ”Bersama dengan fakultas pertanian, geografi dan biologi, fakultas-fakultas yang ada di sini disebut fakultas hijau.” Mereka membangun kolaborasi dengan Indonesia di Provinsi Jambi. ”Dan kami melihat ke sana dan fakta bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit tumbuh cepat di wilayah ini, baik dalam dimensi ekologis, sosial dan ekonomi.”
Melibatkan dunia industri
Wakil Kepala Divisi Asia Tenggara di Kementerian Kerjasama Pembangunan Jerman BMZ, David Tantow, menyebutkan kerja sama lain yang dilakukan pemerintah Jerman dengan Indonesia dalam isu lingkungan, di antaranya dalam bidang transportasi publik di Surabaya, ”Selain itu yang juga tidak kalah penting adalah pengembangan ekonomi sirkular dan penanganan limbah seperti yang sudah dilakukan di Malang.”
Sementara itu, dalam pemaparannya di konferensi ini, CEO Energy Academy Indonesia (ECADIN) Desti Alkano mengingatkan krisis iklim yang dihadapi manusia kini betul-betul di depan mata. ”Krisis iklim bukan problem besok, tapi hari ini. Kita menghadapinya sekarang juga. Bayangkan saja sekolah saya waktu saya masih kecil di Semarang, akibat perubahan iklim , sudah tidak eksis lagi."
Desti mengajak semua ilmuwan untuk berkontribusi memerangi perubahan iklim. ”Kami mengkompilasi berbagai inisiatif dari para periset untuk mendapat solusi yang terbaik dalam mengatasi perubahan iklim di Indonesia,” tandasnya.
Profesor Manajemen Teknologi dan Inovasi Universitas Teknonologi Hamburg, Cornelius Herstatt, dalam pemaparannya menyebutkan inovasi hemat dan berkelanjutan secara inheren kompatibel. Namun integrasi strategis sangat diperlukan. ”Pemerintah harus mampu merangkul industri dan perusahaan untuk melakukan penghematan dan keberlanjutan dalam inovasi.”
Untuk itu diperlukan riset pasar dan penilaian atas kebutuhan energi. Dalam melakukan hal tersebut dibutuhkan kolaborasi lintas fungsi dan pembuatan prototipe berulang kali, serta analisis untuk memastikan inovasi itu berkelanjutan.
Bukan hanya biaya ekonomi yang harus dihitung
Sekretaris Jendral Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Rukka Sombolinggi memrotes lokasi-lokasi wilayah adat yang jadi pembangunan untuk mendukung hal terkait energi terbarukan: ”Harusnya di luar wilayah adat jadi wilayah adat itu. Selama ini kan pemerintah Indonesia serampangan saja. Misalnya di pulau-pulau kecil, hutan-hutan terbaik yang tersisa itu dijaga oleh orang Tobelo Dalam, tapi sekarang ini bukan hanya orang-orang Tobelo Dalam yang terancam, tapi seluruh hutan di kawasan di Halmahera itu terancam karena tambang nikel, karena tambang nikel nikel untuk siapa? Itu pertanyaannya.”
Menurutnya tidak ada yang salah dengan pembangunan ekonomi, di mana masyarakat adat tidak menentang pembangunan ekonomi. ”Persoalan kita adalah pembangunan ekonomi itu harus diseimbangkan dengan pembangunan yang lain, spiritual, budaya, kemudian makanan yang sehat dan lain-lain. Tapi yang terjadi adalah pembangunan ekonomi itu merusak. Itu kan bukan buat seluruh rakyat Indonesia, itu kan dikuasai oleh elite,” tandasnya.
Salah satu solusinya menurut akademisi antropologi perkotaan, Humboldt University of Berlin, Indrawan Prabaharyaka, ada tiga langkah. Pertama, pemerintah harus mempekerjakan para pakar dalam membuat kebijakan rendah emisi, mulai dari klimatolog, meteorolog dan lainnya. Kedua, isu iklim harus masuk dalam keseharian atau bagian dalam kehidupan masyarakat umum. ”Sehingga jika ada kebijakan iklim yang diambil pemerintah tidak selaras dengan kebutuhan masyarakat, atau patut dikritisi, karena masyarakat sudah terbiasa dengan isu iklim dalam kesehariannya, maka mereka bisa menuntut hak-hak masyarakat untuk perlindungan iklim.”
Ditambahkannya, pemerintah harus berkolaborasi seluas-luasnya dan ketika pengetahuan itu dibuka bagi publik, maka akan muncul pertentangan-pertentangan atau gesekan-gesekan yang positif untuk perlindungan iklim, termasuk bagaimana masyarakat bisa hidup dengan emisi karbon rendah.
(ap/hp)