Tri Mumpuni Bangun Desa Lewat Pembangkit Listrik Mikro Hidro
1 Januari 2021Pertengahan Desember 2020, nama Tri Mumpuni Wiyatno kembali mendapat sorotan karena masuk dalam jajaran 500 tokoh muslim berpengaruh yang diterbitkan Royal Islamic Strategies Studies Centre. Bersama 21 tokoh muslim lainnya dari berbagai belahan dunia, Tri Mumpuni mendapat penghargaan untuk kriteria Sains dan Teknologi.
Nama Tri Mumpuni di kancah internasional sebenarnya tak lagi asing. Berkali-kali ia mendapatkan penghargaan karena upayana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) sebagai sumber energi bersih bagi desa terpencil, yang belum terjangkau akses penerangan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Menurut Tri Mumpuni, pada umumnya desa di Indonesia memiki sumber daya alam yang melimpah, namun belum sepenuhnya dikembangkan sebagai sumber energi yakni air.
"Ini (PLTMH) sebenarnya model yang cukup menarik dan saya ingin kembangkan kalau bisa seribu desa di Indonesia seperti itu ya,” kata Tri Mumpuni sambil menambahkan, "Jadi memanfaatkan sumber daya lokal untuk kemakmuran orang lokal dan sekaligus membantu PLN untuk tidak banyak membakar BBM karena ini energi bersih, ada di lokasi di mana penduduk itu tinggal.”
Melalui Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), tokoh yang dijuluki perempuan listrik tersebut sudah membangun setidaknya 65 PLTMH di desa-desa terpencil. Hingga April 2020, tercatat masih ada 433 dari 75 ribu desa di Indonesia yang belum teraliri listrik. Sebagian besar desa-desa itu terletak di Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
PLTMH jalan berdayakan ekonomi rakyat
Namun fokus wirausaha sosial yang diusung Tri Mumpuni bukan sekadar menyediakan penerangan untuk kebutuhan lokal. PLTMH yang dikembangkannya merupakan pembangkit listrik berbasis masyarakat, di mana 50 persen hasilnya dimiliki swasta atau investor, sementara 50 persennya lainnya dimiliki masyarakat, yang dikelola lewat koperasi.
Salah satunya seperti koperasi di PLTMH Cinta Mekar, yang terletak di kecamatan Serang Panjang, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Ketika PLTMH tersebut dibangun tahun 2002, sebagian kelebihan kapasitas dapat dijual secara komersial ke PLN, yang keuntungannya dialirkan untuk biaya sekolah anak-anak desa, subsidi kesehatan, atau modal untuk usaha masyarakat desa.
Sejak 30 tahun aktif berkecimpung membangun desa bersama suaminya Iskandar Budisaroso, Tri Mumpuni beranggapan bahwa warga perlu dilibatkan dan harus memetik untung dari hadirnya teknologi. "Bagaimana membawa energi bersih ke desa, dan desa itu bisa menghasilkan uang dari memanfaatkan sumber daya lokal yang kita bangun. Kita datangkan teknologi dan finansial tetapi ini tetap dimiliki rakyat,” tutur Tri Mumpuni kepada DW Indonesia.
Suatu waktu bila PLTMH tidak lagi beroperasi, warga masih bisa meraih manfaat lewat kehadiran koperasi. Misalnya saja, PLTMH Cinta Mekar yang mandek sejak 2017, karena murahnya harga listrik yang dibeli PLN. "Koperasi Mekarsari masih berjalan karena ada modal usaha 50 juta. Itu masih beredar alhamdulillah anggotanya yang masih aktif 100 orang lancar pinjamannya,” kata Yuyun Yunengsih, Ketua Koperasi Mikro Hidro Mekarsari.
Namun, warga tertolong tak melulu lewat koperasi. Di Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Sumba Timur Nusa Tenggara Timur misalnya. Setelah PLTMH dibangun tahun 2011, warga memanfaatkan listrik untuk menyedot air dari lembah. Kaum perempuan pedesaan yang biasanya harus menghabiskan waktu berjalan kami selama tujuh jam untuk mengangkat air, kini dapat fokus menenun kain yang bisa dijual untuk menambah pendapatan keluarga.
Generasi muda adalah patriot desa
Menurut Direktur IBEKA tersebut, desa sebenarnya punya potensi dan menjadi kunci untuk membangun Indonesia. "Jadi Indonesia itu bisa hebat dan kuat kalau desa itu betul- betul dibangun dengan cara yang benar. Desa itu punya sumber daya alam, desa itu punya semuanya...Hanya satu, kita masih kekurangan manusia yang berkualitas yang mau tinggal di desa dan membangun desa itu dengan cara yang benar. Itu kuncinya di situ,” kata lulusan jurusan Sosial Ekonomi dari Institut Pertanian Bogor tersebut.
Namun ia menyayangkan, potensi desa-desa di Indonesia belum sepenuhnya menjadi fokus pembangunan, sehingga kerap kali desa ditinggalkan oleh generasi mudanya. Penyebabnya adalah pola pendidikan yang mengesampingkan konteks dan potensi pedesaan. "Yang terjadi adalah sistem pendidikan kita mengajarkan anak-anak desa ya kalau sudah pintar kamu tinggalkan desa karena desa tidak menjanjikan apa-apa,” kata Tri Mumpuni.
Itulah sebabnya, bersama pemerintah Provinsi Jawa Barat, ia mengembangkan program Patriot Desa untuk melatih generasi muda yang mau terjun membangun desa. Salah satu aktivitasnya dinamai One Village One Company (OVOC), yang bertujuan memaksimalkan potensi desa dengan merintis Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Kenapa desa tetap miskin?
Terciptanya usaha swadaya di tengah masyarakat desa, menurut Tri Mumpuni menjadi penting karena selama ini, pembangunan di desa cenderung hanya melibatkan investor, sehingga menyebabkan desa terjerat dalam kemiskinan.
"Banyak sekali regulasi peraturan yang dibuat pemerintah itu ternyata menjurus, membawa atau lead kepada terjadinya kemiskinan. Contoh yang paling sederhana, pemerintah di daerah merasa bangga dan senang bisa menghadirkan seorang investor gitu ya, tapi justru kerja investor ini yang dia membawa uang. Dia punya teknologi, dia punya manajemen yang bagus tapi ternyata dia hanya perlu resources nya saja. Dia tidak melibatkan masyarakatnya. Disini lah muncul kemiskinan sebab kemiskinan itu simtom, yang terjadi sebetulnya akar masalah dari kemiskinan adalah masyarakat itu dipisahkan dari sumber daya lokal di mana mereka ada,” kata perempuan yang sudah aktif tmembangun PLTMH sejak tahun 1997 tersebut.
Ia juga kerap merasa frustasi, sebab meski sudah membangun PLTMH di banyak tempat, Tri Mumpuni merasa upaya yang ia lakukan belum membawa perubahan yang maksimal.
"Waktu saya hanya berkunjung saja misalnya ke NTT, terus saya datang ke desa-desa, tiba-tiba klik melihat anak kecil. Lho perasaan 30 tahun lalu saya datang ke NTT mengerjakan hal yang sama, mengasih air bersih untuk keluarga sehingga si ibu-ibu tidak tersiksa naik turun dengan kondisi yang sangat curam gitu. Terus anak kecilnya juga tidak melakukan hal itu. Ternyata masih ada juga daerah-daerah yang justru saya lihat persis 30 tahun lalu. Berarti kan ada yang tidak beres,” kata Tri Mumpuni menjelaskan.
Meski demikian, Tri Mumpuni tak lantas patah arang. Selain terus aktif mengembangkan energi terbarukan di luar PLTMH, ia juga tetap berharap perubahan tetap dapat terjadi di badan pemerintahan, khususnya yang membawahi bidang kelistrikan negara. "Saya menunggu ada direktur baru yang punya komitmen ingin membangun bangsa ini dengan memajukan energi terbarukan, sekaligus ingin membuat desa makmur, karena desa bisa punya income dari hasil energi yang dibangkitkan oleh mikro hidro di mana desa-desa itu berada.”
(ts/hp)