Attack Rate DKI Jakarta dan Surabaya Tertinggi di Indonesia
1 Juli 2020Kasus positif COVID-19 di Indonesia masih terus bertambah. Data pemerintah menunjukkan sampai Selasa (30/06), ada penambahan kasus sebanyak 1.293 menjadikan total kasus positif COVID-19 di tanah air sebanyak 56.385. Sementara pasien sembuh sebanyak 24.806 orang dan yang meninggal dunia sebanyak 2.876 orang.
Tiga provinsi menjadi penyumbang kasus COVID-19 terbanyak. Jawa Timur di urutan pertama dengan total kasus 12.136 (21,5%), disusul DKI Jakarta dengan total kasus 11.424 (20,2%) dan Sulawesi Selatan dengan total kasus sebanyak 5.084 (9,01%).
Jawa Timur masuk 10 besar paling berisiko
Pakar Epidemiologi UNAIR Dr. Windhu Purnomo mengatakan meskipun Jawa Timur memiliki jumlah kasus positif tertinggi di Indonesia, tidak serta merta menjadikannya sebagai provinsi dengan penduduk paling berisiko tertular virus corona. Pasalnya, attack rate (AR) atau angka serangan di Jawa Timur menurutnya justru berada di posisi 9 dari seluruh provinsi di Indonesia.
Attack rate (AR) suatu wilayah didapatkan dengan membagi jumlah kasus dengan jumlah penduduk. AR ini kemudian menjadi parameter yang menunjukkan besarnya risiko penduduk sebuah wilayah untuk tertular virus corona. Semakin besar AR di suatu wilayah, semakin besar pula risiko penduduk yang tinggal di wilayah tersebut untuk tertular atau terdeteksi, kata Windhu.
Jika dilihat dari attack rate untuk level provinsi, DKI Jakarta menurut Windhu masih menduduki peringkat pertama. “Nomor 1 tetap DKI, jadi attack rate DKI itu sekarang 115 per 100 ribu penduduk. Jawa Timur itu 29 per 100 ribu penduduk,” jelas Windhu saat diwawancara DW, Selasa (30/06).
Kalau untuk level provinsi attack rate DKI Jakarta menjadi yang tertinggi, maka untuk level kota, Surabaya menjadi wilayah dengan penduduk paling berisiko untuk tertular virus corona.
“Sampai hari kemarin itu attack rate-nya itu 187 per 100 ribu penduduk,” jelas Windhu merujuk pada AR Kota Surabaya.
Selain memiliki AR yang cenderung tinggi, posisi Jawa Timur menurut Windhu ikut dipersulit dengan angka kematian yang tinggi pula. Angka kematian di Jawa Timur atau yang kerap disebut sebagai case fatality rate (CFR) masih berada di angka 7,5%, jauh lebih tinggi dari CFR secara nasional yang berada di angka 5,1-5,2%. “Itu menunjukkan bahwa memang kita bermasalah, Jawa Timur ini bermasalah dalam hal penanganan kasus COVID-19,” ujar Windhu.
Tingkat pengujian yang belum ideal
Permasalahan yang pertama adalah belum idealnya kapasitas tes COVID-19 di Jawa Timur. Padahal menurut Windhu, prinsip untuk meredam semua kasus wabah penyakit menular adalah tentang bagaimana cara menemukan kasusnya. “Satu-satunya jalan ya tes,” kata Windhu. “Kita tidak bisa lihat orang itu positif negatif hanya teng-tengan melihat wajahnya itu ga bisa, kita tahunya kalau di tes”.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19 di Indonesia, Achmad Yurianto sebelumnya menyebutkan bahwa Jawa Timur adalah salah satu provinsi dengan kapasitas tes terendah di tanah air, yaitu 1.428 tes PCR per 1 juta penduduk, jauh lebih rendah dibanding DKI Jakarta sebanyak 21.406 tes PCR per 1 juta penduduk. Beberapa provinsi lain bahkan memiliki tingkat tes yang jauh lebih tinggi, seperti Sumatera Barat (7.168), Bali (7.151) dan Papua (4.436).
“Ini artinya perlu dilakukan upaya pemeriksaan laboratorium berbasis RT-PCR yang lebih masif lagi di Jawa Timur,” kata Yurianto.
Rendahnya kapasitas tes COVID-19 ini juga sejatinya tercermin dari jumlah kumulatif kasus positif secara nasional, yang dianalogikan oleh Windhu seperti puncak gunung es. Artinya, jumlah kasus positif di Indonesia dengan jumlah penduduk 260 juta jiwa sebenarnya jauh lebih banyak. Namun, karena kapasitas tes yang masih rendah, banyak kasus di bawah permukaan yang kemudian tidak terdeteksi, kata Windhu.
Pentingnya pengendalian kepatuhan warga
Merujuk pada data epidemiologi dari laman resmi pemerintah provinsi Jawa Timur, ada 13 kabupaten kota di Jawa Timur yang masih berada di zona merah alias daerah dengan risiko penularan tinggi. Kota Surabaya menjadi daerah zona merah dengan kasus tertinggi yang mencatat sebanyak 5.605 kasus positif COVID-19 sampai pada 29 Juni 2020.
Seperti dilansir dari laman covid19.go.id, zona merah secara sederhana berarti penyebaran virus COVID-19 di daerah tersebut masih belum terkendali. Transmisi lokal terjadi dengan cepat, dan wabah menyebar secara luas dan banyak terdapat kluster baru. Pemerintah daerah pun diwajibkan menutup akses publik agar penyebaran virus dapat dikendalikan.
Namun, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menjadi langkah pembatasan pergerakan warga guna memutus rantai penularan virus di Surabaya justru telah dicabut pada awal Juni lalu. Faktor ekonomi menjadi salah satu pertimbangan diakhirinya PSBB.
Sebagai gantinya, Surabaya justru memasuki masa transisi menuju tatanan normal baru yang pedomannya tertuang dalam Peraturan Walikota Surabaya No. 28 tahun 2020, yang menurut Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat UNAIR itu, masih lemah dalam mengendalikan kepatuhan dan kedisiplinan warga untuk memutus rantai penularan.
“Jadi yang penting itu adalah pengendalian kedisiplinan warga di dalam mematuhi protokol kesehatan dengan aturan, sanksi, dan hukuman, yang di Surabaya itu tidak ada,” pungkasnya.
Perbandingan dengan DKI Jakarta
Jika dilihat dari sisi kebijakan, peraturan gubernur DKI Jakarta menurut Windhu cenderung lebih tegas dalam menerapkan sanksi berupa denda bagi masyarakat, meskipun ia mengaku belum mendengar ada masyarakat yang benar-benar dikenai denda karena melanggar peraturan.
“Paling tidak hitam di atas putih sudah ada,” katanya. Pembatasan keluar masuk DKI Jakarta dengan memberlakukan SIKM atau Surat Izin Keluar Masuk saat arus mudik juga menurut Windhu menunjukkan ketegasan pemerintah DKI bahwa orang tidak mudah untuk keluar masuk wilayah DKI Jakarta.
“Kebijakan itu yang mempengaruhi kepatuhan warga, warga itu gampang kok, kan dia tergantung dari peraturannya aja kan gitu, mengikuti dari apa yang dibuat oleh pemerintah, itu yang disini masih lemah,” kata Windhu menambahkan.
Dalam Peraturan Walikota Surabaya Nomor 28 tahun 2020 tentang Pedoman tatanan Normal Baru pada kondisi pandemi corona di Kota Surabaya, sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar peraturan hanya berupa sanksi administratif.
Sanksi administratif tersebut berupa teguran lisan, teguran tertulis, pembubaran kerumunan, penutupan sementara dan pencabutan izin.
Sementara dibandingkan dengan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 51 tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB Masa Transisi, ada besaran denda adminsitratif yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar peraturan.
Seperti misalnya, setiap orang yang tidak melaksanakan kewajiban menggunakan masker pada saat beraktivitas/ berkegiatan di luar rumah dapat dikenakan sanski berupa kerja sosial membersihkan sarana fasilitas umum dengan menggunakan rompi, dan denda administratif sebesar 250 ribu rupiah.
Lebih jauh, Windhu mengatakan bahwa dengan menggunakan data sebelum PSBB Surabaya berakhir, puncak wabah sejatinya diprediksi berahir pada akhir Juni. Namun, melihat adanya perubahan kebijakan yang berpengaruh terhadap kepatuhan masyarakat, puncak wabah COVID-19 di Surabaya pun masih belum juga terjadi.
“Kita belum ngomong tentang gelombang kedua wong puncak yang ini aja belum nyampe,” tutup Windhu. (gtp/as)