Pasukan Belanda Gunakan “Kekejaman Ekstrem” di Indonesia
17 Februari 2022Menghadapi perlawanan dari pihak Indonesia yang menuntut kemerdekaan, pasukan Belanda di Indonesia selama periode 1940-an telah menggunakan "kekerasan ekstrem, sering secara sengaja,” demikian kesimpulan proyek penelitian sejarah di Belanda yang hasilnya dirilis hari Kamis (17/2). Di Amsterdam saat ini sedang berlangsung pameran tentang Revolusi Kemerdekaan Indonesiadi Rijksmuseum, yang digagas bersama kurator dan museum dari Indonesia.
Penelitian itu adalah sebuah proyek jangka Panjang yang berlangsung selama 4 1/2 tahun dan dilakukan oleh para ahli dari tiga lembaga penelitian sejarah. Hasil penelitian mereka bertentangan dengan pandangan lama pemerintah Belanda, bahwa pasukannya hanya terlibat dalam kekerasan ekstrim secara sporadis ketika mereka memerangi pasukan pro-kemerdekaan di Hindia Belanda.
Dalam sebuah pernyataan, para peneliti mengatakan, sumber yang mereka konsultasikan menunjukkan bahwa penggunaan kekerasan ekstrem oleh angkatan bersenjata Belanda tidak hanya meluas, tetapi juga sering disengaja. Tindakan itu juga "dimaafkan di setiap tingkatan: politik, militer dan hukum.''
Pemimpin Belanda sudah minta maaf atas beberapa peristiwa
Pada tahun 2013, pemerintah Belanda telah meminta maaf atas beberapa kekejaman yang dilakukan pasukannya antara tahun 1945 sampai 1949, ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia. Raja Belanda saat ini, Willem-Alexander, juga secara resmi telah meminta maaf selama kunjungan kenegaraan ke Indonesia tahun 2020 atas agresi negaranya di masa lalu.
Sebelumnya sebuah laporan Belanda dari tahun 1969 telah mengakui adanya "ekses-ekses kekerasan” di Indonesia, tetapi berpendapat bahwa pasukan Belanda ketika itu melakukan "aksi polisi” yang dipicu oleh perang gerilya dan aksi teror.
Temuan para peneliti sejarah yang dirilis hari Kamis ini memberikan gambaran yang jauh lebih suram tentang tindakan pasukan Belanda. "Selama perang, angkatan bersenjata Belanda menggunakan kekerasan ekstrem secara rutin dan struktural, dalam bentuk eksekusi di luar hukum, perlakuan buruk dan penyiksaan, penahanan di bawah kondisi yang tidak manusiawi, pembakaran rumah dan desa, pencurian dan perusakan properti dan persediaan makanan, serangan udara yang tidak proporsional dan penembakan artileri, dan apa yang seringkali merupakan penangkapan massal secara acak dan penahanan massal,'' kata proyek penelitian itu dalam pernyataannya.
Angkatan bersenjata dan pemerintah Belanda bertanggung jawab
Selanjutnya para peneliti menulis: "Angkatan bersenjata Belanda sebagai institusi bertanggung jawab atas kekerasan yang digunakan itu, termasuk kekerasan ekstrem. Namun mereka beroperasi dalam konsultasi erat dengan dan di bawah tanggung jawab pemerintah Belanda.''
Seorang perwakilan dari Institut Veteran Belanda mengkritik temuan tersebut. "Hasil penyidikan menimbulkan rasa tidak nyaman dan kekhawatiran dalam diri saya, karena para veteran yang bertugas di bekas Hindia Belanda itu secara kolektif ditempatkan sebagai tersangka berkat kesimpulan yang tidak berdasar," kata direktur lembaga itu, Paul Hoefsloot, dalam sebuah pernyataan tertulis. Hans van Griensven, ketua organisasi veteran Belanda lainnya, mengatakan kepada stasiun siaran nasional NOS bahwa kekerasan itu "tidak meluas seperti yang digambarkan sekarang."
"Tentu saja, ada yang salah, seperti yang terjadi di setiap perang," kata Van Griensven. "Tapi secara umum juga ada bantuan kemanusiaan, bantuan pangan dibagikan, infrastruktur dibangun. Itu tidak dibahas2 dalam temuan tersebut, tambahnya.
Proyek penelitian, yang sebagian didanai oleh pemerintah Belanda itu merupakan bagian dari pengelolaan sejarah masa kolonial Belanda yang lebih luas. Tahun lalu, walikota Amsterdam meminta maaf atas keterlibatan kota itu dalam perdagangan budak. Tahun ini, Rijksmuseum di Amsterdam untuk pertama kalinya menggelar pameran tentang sejarah revolusi dari sudut pandang Indonesia, dengan melibatkan kurator dari Indonesia.
hp/yf (ap, dpa, rtr)