Pembakaran Diri Bhiksu Tibet Meningkat
28 Juni 2012Kantin tempat penampungan pengungsi Tibet itu dapat mengakomodasi sekitar 500 orang. Namun di bawah foto ukuran raksasa Dalai Lama, hanya lima orang yang terlihat sedang makan. Mereka adalah pegawai kantin.
Salah satunya, Mungyur Yondon mengatakan: "Sebelum perlawanan di Tibet tahun 2008, sekitar 2000 sampai 3000 pengungsi kami tampung di sini. Tapi, sejak itu keadaan di sana jauh lebih gawat. Pemerintah Cina membuat pos-pos tambahan di perbatasan dan militer ditempatkan di wilayah itu. Sulit sekali untuk lolos."
Pemimpin kamp itu mengatakan, hanya ada dua bhiksu pengungsi dari Tibet yang ditampung di bangunan baru kamp saat ini. Padahal bangunan di India utara itu dibuat untuk 500 orang.
Melarikan diri saat ini terlalu berbahaya dan mahal. Meskipun demikian Gayrong Chonphel, salah seorang dari kedua bhiksu berhasil lolos dari penjagaan ketat. Kini ia ingin menceritakan kepada dunia, apa yang terjadi di vihara di Tibet: "Militer dan kepolisian menduduki vihara kami tahun 2008 untuk menerapkan secara paksa yang dinamakan program re-edukasi."
Dipaksa tidak mengikuti Dalai Lama
"Kami dipaksa untuk menyatakan tidak lagi mengikuti Dalai Lama", ujar Chonpel. Di sini, dalam pelarian, setiap bhiksu menyebut Dalai Lama dengan penuh hormat sebagai "Bapak yang Suci". Sebaliknya Cina menyebutnya teroris yang hendak memecah belah Tibet.
Chonpel bercerita, ia berhasil melarikan diri dan bersembunyi di hutan berbulan-bulan: "Orang-orang di Tibet menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana kebudayaan mereka dipaksa untuk punah, demikian juga bahasanya. Ada yang berpikir, lebih baik mati ketimbang harus menyaksikan hal itu. Karena itu banyak terjadi aksi pembakaran diri. Saya juga sempat merasakan depresi semacam itu."
Menyiram diri dengan bensin dan membakar diri adalah satu bentuk protes warga Tibet yang sangat drastis, tragis dan dalam kebanyakan kasus, mematikan. Lilin-lilin selalu dinyalakan bagi setiap korban pembakaran diri di tempat penampungan pengungsi Tibet di Dharamsala, India.
Perdana Menteri pemerintahan eksil Tibet, Lobsang Sangay mengatakan: "Sebagai manusia kami berupaya meyakinkan untuk tidak bunuh diri. Sebagai penganut agama Buddha kami berdoa untuk para korban. Dan sebagai warga Tibet para pelaku menunjukkan solidaritasnya terkait alasan-alasan aksinya."
Tekanan terhadap pemerintah eksil Tibet meningkat
Pembakaran diri yang sebenarnya tidak bercirikan Buddhis itu membuat repot pemerintahan eksil. Karena tekanan terhadapnya meningkat. Pemerintah Tibet di pengasingan harus mencari penyelesaian yang lain daripada yang ditawarkan Dalai Lama, yaitu yang disebut jalan tengah, dialog dengan Cina.
Lobsang Sangay menambahkan: "Tugas saya sudah cukup berat. Sekarang masalahnya bertambah. Sikap kami sangat jelas, yakni tidak ada kekerasan dan demokrasi. Untuk itu tidak ada kompromi."
Meskipun mereka di India dapat menjalankan kewajiban agamanya tanpa gangguan berarti, namun tujuan setiap bhiksu yang hidup dalam pengasingan adalah suatu hari mereka akan kembali ke Tibet. Akan tetapi Chonpel baru saja mendapat berita dari keluarganya bahwa saat ini tidak mungkin untuk kembali. Sang bhiksu tahu bahwa kembali ke tanah air masih tetap merupakan impian. Mungkin untuk selamanya.
Kai Küstner/Christa Saloh-Foerster
Editor: Agus Setiawan