Seberapa Penting Pendidikan Iklim di Sekolah?
20 Februari 2024Monica Capo senang melihat kotoran hitam di bawah kuku murid-muridnya. Di kebun sebuah sekolah menengah atas di Napoli, Italia, dia berupaya mengajarkan mereka cara menanam bunga dan memanen sayur. "Saya ingin mereka mencintai lingkungan dan hidup dikelilingi oleh alam," kata dia.
Tahun 2019 lalu, Italia menjadi negara pertama yang menetapkan perubahan iklim sebagai mata pelajaran sekolah. Saat ini, kurikulum nasional mewajibkan 33 jam belajar per tahun bagi murid berusia antara 6 dan 19 tahun untuk mata pelajaran iklim.
Di dalam kelas, Capo berusaha menyederhanakan tema elusif itu menjadi pelajaran yang konkret dan sederhana, seperti bagaimana menanam pohon, mendaur ulang atau berhemat air, mengurangi konsumsi energi atau menghindari fesyen cepat.
"Saya berusaha untuk tidak menakut-nakuti mereka," katanya. "Tapi sedini mungkin mereka belajar, maka semakin baik pula."
Pelajaran tersebut bukan tidak relevan. Generasi muda diyakini akan harus membiasakan diri dengan cuaca ekstrem, kebakaran hutan, banjir dan gelombang panas, ketika suhu rata-rata Bumi melampaui batas kenaikan sebesar 1,5 derajat Celcius.
Rapor merah pendidikan iklim
Meski pendidikan diakui sebagai faktor penentu dalam Perjanjian Iklim Paris, kurang dari sepertiga negara penandatangan yang melibatkan pendidikan dalam strategi iklim nasional.
Menurut riset UNESCO pada 2021 silam, hanya separuh dari 100 kurikulum nasional yang dianalisa mencantumkan isu pemanasan global. Sebanyak 70 persen responden yang mengikuti survei mengaku tidak memiliki pemahaman ilmiah untuk menjelaskan krisis iklim.
Sebuah survei lain di Inggris, antara 2020-21, menemukan lebih dari sepertiga murid mengaku tidak mempelajari isu lingkungan di sekolah.
Padahal, "anak-anak harus dibuat peka dan mendapat perlengkapan yang memadai untuk menjadi bagian dari solusi," kata Stefania Gianni, asisten direktur jendral pendidikan di UNESCO.
Perlindungan iklim dalam konstitusi
Meski belum ada data yang mengukur keberhasilan mata pelajaran iklim di Italia, kebijakan itu sudah menciptakan antusiasme di ruang kelas dan laporan positif dari para guru, menurut Asosiasi Guru dan Kepala Sekolah Italia.
Capo mengaku pemerintah secara berkala memperbaharui materi pelajaran dan menyediakan perlengkapan bagi sekolah.
Italia bukan satu-satunya negara yang memimpin dalam pendidikan iklim. Selandia Baru pun mulai mengadopsi kurikulum ramah iklim sejak 2020, meski bukan kewajiban. Mata pelajaran iklim ditawarkan antara lain adalah pertemuan dengan pegiat iklim atau sesi diskusi tentang ketakutan ekologis.
Adapun Meksiko pada tahun 2019 mengamandemen konstitusi yang mencakup pengakuan bagi perlindungan lingkungan sebagai pondasi sistem pendidikan nasional.
Gianni dari UNESCO meyakini, amandemen kurikulum yang sensitif secara politik bukan satu-satunya jalan menuju perubahan. Menurutnya, transformasi sistem pendidikan mensyaratkan pendekatan yang lebih holistik, dengan melibatkan komunitas masyarakat, meningkatkan pelatihan guru dan pembangunan sarana secara berkelanjutan.
Pendidikan bagi guru dan murid
Menurut riset pendidikan iklim global oleh Academy of the Social Sciences di Australia pada 2023 lalu, pendidikan dan pelatihan iklim bagi guru bersifat krusial.
Hal senada disimpulkan dalam survei UNESCO di 100 negara di dunia. Sebanyak 40 persen guru mengaku merasa lebih percaya diri menjelaskan krisis iklim setelah mengikuti pelatihan. Sebuah survei lain oleh asosiasi guru Eropa pada 2020 silam menyebutkan kekurangan ilmu sebagai alasan paling umum kenapa sekolah belum menerapkan mata pelajaran iklim.
Bagi Capo, ruang kelas adalah alat paling ampuh dalam pendidikan iklim. Kelas menjamin koneksi langsung dengan kaum muda, di mana guru bisa membantu meralat informasi palsu tentang iklim.
"Di TikTok ada banyak disinformasi tentang perubahan iklim. Adalah hal yang sangat fundamental untuk mendidik para murid agar bisa membedakan mana berita asli atau palsu," kata dia.
"Saya ingin semua murid-murid saya menyadari bahwa kita masih bisa berbuat sesuatu dan masih ada harapan," imbuhnya. "Kita butuh harapan untuk membuat perbedaan."
rzn/hp
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!