Malari dan Merawat Sikap Kritis Terhadap Kekuasaan
15 Januari 2025Peringatan Malari tahun ini, merupakan peringatan pertama di era Presiden Prabowo Subianto. Sebagaimana yang sudah-sudah, peringatan Malari selalu kental dengan aroma perlawanan, siapa pun rezim yang tengah berkuasa, sejak era Soeharto hingga era Jokowi, yang baru saja lewat. Hanya pada masa Presiden BJ Habibie (1998-1999), semangat perlawanan peringatan Malari sedikit mereda, selain hanya sempat sekali diperingati (Januari 1999), juga karena hubungan pribadi yang cukup dekat antara Presiden Habibie dan Hariman Siregar (ikonik Gerakan Malari).
Sementara bila ditelusuri lebih jauh, antara Prabowo dan Bang Hariman, sejatinya berasal dari lingkaran yang sama, yakni komunitas PSI (Partai Sosialis Indonesia). Antara ayah Prabowo (Sumitro atau Pak Cum) dan ayah mertua Bang Hariman (Sarbini Sumawinata) berasal dari lingkaran yang sama, sebagai sesama elite PSI, serta memiliki akses langsung dengan Sutan Sjahrir. Secara kebetulan pula Pak Cum dan Sarbini, adalah ekonom terkemuka di masa awal Republik, yang kemudian bahu-membahu mendirikan dan membesarkan Fakultas Ekonomi UI (FEUI), sekolah yang dikenal paling banyak menghasilkan menteri. Sarbini sendiri dianggap terlibat dalam Peristiwa Malari, sehingga ikut ditahan bersama Hariman.
PSI secara resmi memang sudah bubar pada awal tahun 1960-an, namun sebagai tradisi dan ideologi, sama sekali tidak pernah pudar (bedakan dengan PSI yang dipimpin Kaesang Pangarep). Figur Sutan Sjahrir tidak pernah kekurangan pengagum dan pengikut, jauh hari setelah kepulangannya (April 1966). Pengagum dan pengikut Sutan Sjahrir sudah meluas sampai ke Generasi Z, dan sedang bersiap-siap Generasi Alpha untuk segera masuk barisan, sebagai pengikut Sjahrir, setidaknya sebagai pengagum.
Dengan latar belakang seperti itu, apakah peringatan Malari tahun ini sedikit melunak (terhadap rezim Prabowo)? Rasanya tidak. Eksponen Malari sudah sampai pada fase insan paripurna, bukan saja karena faktor usia yang rata-rata sudah kepala tujuh, namun juga dalam aspek spiritual, mereka sama sekali tidak silau pada jabatan atau kemewahan hidup, dan itu bisa dibuktikan dalam kehidupan mereka sepanjang hayat.
Aktivis berjiwa besar
Hariman Siregar sendiri terbilang hidup sederhana, dalam kapasitas ikonik sekelas beliau. Seandainya ada sedikit kesejahteraan, itu sudah langsung didonasikan untuk lembaga yang dia dirikan (INDEMO), termasuk memberi insentif bagi para pegiatnya, yang rata-rata juga mantan aktivis. Mungkin karena kehendak zaman, terbit perilaku berbeda, ketika para mantan aktivis dari generasi lebih muda, yang mengukur capaian pribadi berdasarkan gaya hidup dan kepemilikan kendaraan tipe SUV (sport utility vehicle), bukan soal konsistensi atau apa kontribusinya bagi rakyat bawah.
Satu pelajaran penting yang penting bisa diambil, tidak pernah ada klaim dari para eksponen Malari atas perjuangan mereka di masa lalu. Sementara mereka telah menjadi inspirasi bagi aktivis pergerakan generasi berikutnya, untuk terus melawan rezim Orde Baru, hingga Soeharto benar-benar tumbang pada Mei 1998.
Tak berlebihan kiranya, bila menyebut mereka sebagai aktivis berjiwa besar. Pilihan hidup mereka mengingatkan kita pada para politisi generasi terdahulu, seperti M Natsir, Sutan Sjahrir, Sjafruddin Prawiranegara, Tan Malaka, dan seterusnya, yang juga tidak pernah mengajukan klaim atas penderitaan yang pernah mereka alami.
Beda halnya dengan aktivis generasi berikutnya, yang secara terang-terangan melakukan kapitalisasi atas status mereka sebagai aktivis. Para aktivis generasi berikutnya, seandainya dulu pernah dipenjara atau diculik, pengalaman ini mereka jadikan modal sosial untuk memperoleh jabatan, atau bentuk kesejahteraan yang lain. Bahkan ada aktivis yang dulu menjadi korban penculikan, justru kini menjadi pengikut setia dari pimpinan satuan penculik, sampai berhasil masuk kabinet. Saya sendiri menjadi bertanya-tanya dalam hati, apakah dulu memang benar-benar diculik atau sekadar sandiwara belaka.
Sejauh yang saya tahu, eksponen Malari yang paling awal melakukan kapitalisasi adalah Theo Sambuaga, dengan cara bergabung ke KNPI, organisasi pemuda yang terafiliasi pada Golkar di masa lalu. Theo memang menjadi jauh lebih sejahtera dibanding eksponen Malari pada umumnya, namun tetap ada harga yang harus dibayar. Di mata generasi aktivis generasi berikutnya, figur Theo sama sekali tidak "bunyi”. Saat reuni eksponen Malari di TIM (Taman Ismail Marzuki), Theo juga tidak pernah datang. Entah bila memberikan kontribusi (dana) yang langsung disampaikan pada panitia pelaksana.
Posisi Theo sebagai pejabat publik dan pengusaha sukses, sudah dilanjutkan salah seorang anaknya (Jerry Sambuaga, mantan Wakil Menteri Perdagangan). Jerry sendiri saat ini adalah Ketua Umum AMPI, organisasi pemuda yang juga terafiliasi ke Partai Golkar, jadi mirip Theo Sambuaga dulu.
Ikhtiar Theo yang mendorong anaknya, agar bisa masuk lingkaran elite politik nasional, rupanya menjadi gaya hidup kekinian para pejabat publik, termasuk mantan Presiden Joko Widodo, yang dengan berbagai cara mengusahakan agar anaknya (Gibran) bisa menjadi Wapres, sebagaimana yang publik lihat sendiri. Soal prosedur itu disebut melanggar etika, bahkan menjadi olok-olok tak berkesudahan di seluruh penjuru negeri, bukan masalah benar. Selain menjadi ayah yang baik, para ayah kelompok elite rupanya juga merangkap sebagai headhunter bagi anak-anaknya.
Kesederhanaan yang dimunculkan eksponen Malari menjadi anomali di tengah tren like father like son, untuk tidak mengatakan sebagai nepotisme. Rupanya eksponen Malari tidak ingin menambah beban masyarakat, di tengah rentannya perekonomian kelas menengah dan gesekan faksi elite berbasis dinasti.
Fenomena seperti ini mengingatkan kembali pada figur M Natsir atau Sutan Sjahrir, yang anak-anak berjuang secara mandiri dalam melanjutkan kehidupan. Anak-anak para the founding fathers itu, berbaur dengan orang kebanyakan, tidak ingin menonjolkan diri, itu sebabnya kita tidak pernah tahu jejaknya. Anak-anak mereka juga berjiwa besar, dan sudah paham risiko sebagai politisi atau orang pergerakan, sehingga bisa ikhlas menerima keadaan. Sekedar diketahui, anak perempuan Sutan Sjahrir (Siti Parvati) mengajar bahasa inggris pada sejumlah kantor pemerintah dan swasta, guna menyiapkan staf yang akan melanjutkan studi di mancanegara.
Pendidikan nomor satu
Pembelajaran (lesson learn) berikutnya yang bisa diambil dari eksponen Malari, soal arti penting pendidikan. Benar, anggota komunitas ini rata-rata beres kuliahnya, setidaknya sarjana (S-1), seperti Bang Hariman yang lulus FKUI, dan berpraktik sebagai dokter. Atau mentor penulis sendiri, yaitu (mas) Djodi Wuryantoro (meninggal 1995) dan (mas) Mulyana W Kusumah (meninggal 2013), semuanya tuntas kuliahnya di UI. Termasuk eksponen Malari di kota lain, salah satunya adalah Peter Nelwan (Bang Pei), sebagai staf pengajar Fakultas Psikologi Unpad.
Arti penting pendidikan menjadi relevan, ketika sempat beredar informasi di media sosial, soal latar belakang pendidikan Wapres Gibran Rakabuming yang tidak terlalu jelas, maksudnya sarjana S-1 saja tidak. Tentu ini sebuah paradoks, ketika generasi Y (segenerasi dengan Gibran) dan generasi Z rata-rata selesai kuliahnya, sementara latar belakang pendidikan pemimpinnya justru tidak terlalu firm.
Latar belakang pendidikan Gibran yang kurang meyakinkan, seperti mengulang ketidakjelasan pendidikan putera-puteri presiden pertama dan kedua. Latar belakang pendidikan anak-anak Soeharto umumnya tidak terlalu jelas. Sepertinya hanya Mbak Titik (lulusan FEUI) dan putri bungsunya Mbak Mamik (lulusan program studi Statistik IPB), yang lumayan memadai pendidikannya. Bambang Trihatmodjo dikabarkan sempat kuliah di Inggris, namun tidak jelas bagaimana kelanjutannya. Sebenarnya yang dipersoalkan bukanlah kecerdasan atau ijazah formal, namun lebih pada soal menyia-nyiakan kesempatan.
Bagaimana tidak, dengan kekayaan yang luar biasa dari Soeharto, kenapa anak-anak Soeharto tidak memanfaatkan kesempatan itu untuk sekolah setinggi-tingginya, bila perlu sekolah pada kampus ternama di luar negeri, yang berapa pun biayanya, ayahnya pasti sanggup membiayai. Kita tidak bisa membayangkan, bagaimana bila orang seperti Mas Tomy, dengan latar belakang pendidikan pas-pasaan, harus berdebat dengan generasi Z yang umumnya cerdas dan selalu update informasi, dalam sebuah forum seminar publik misalnya.
Dari keluarga pemimpin negeri masa lalu, yang sekolah anak-anaknya terbilang membanggakan adalah Bung Hatta dan BJ Habibie. Artinya anak-anak mereka terbilang siap bila suatu saat dipanggil negara, untuk menjadi pejabat publik, seperti pernah terjadi pada Dr. Meutia Farida Hatta. Kemudian anak pertama Habibie, yaitu Ilham Akbar Habibie, kini menjadi pakar digantara skala global, seperti ayahnya dulu. Artinya, publik tidak cemas bila mereka-mereka ini suatu saat berkiprah di dunia politik. Seperti Ilham Akbar, yang sudah merintis karier sebagai pejabat publik dengan maju sebagai calon gubernur pada Pilkada Jabar belum lama berselang.
Sementara latar belakang pendidikan putra-putri Soekarno beragam, artinya ada yang terhenti, namun ada yang selesai juga, setidaknya sarjana strata satu. Seperti dua putra Bung Karno dengan Ibu Hartini, yakni Taufan (seni rupa ITB, almarhum) dan Bayu (FISIP UI). Sementara putra-putri Bung Karno dengan Ibu Fatmawati, latar belakang pendidikannya juga tidak terlalu jelas, mungkin keadaan saat itu yang kurang kondusif untuk merampungkan studi, saat Bung Karno baru saja lengser dari kekuasaan.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.