Hadapi La Nina: Perhatikan Akses Distribusi Pangan
12 November 2021Menghadapi ancaman fenomena La Nina dan berbagai bencana seperti banjir, banjir bandang, dan tanah longsor yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, stok pangan yang ada saat ini masih dianggap ada di level aman, tapi masih ada yang perlu diwaspadai.
La Nina adalah fenomena pendinginan suhu muka laut di bawah kondisi normal di Samudera Pasifik. Menurut BMKG, pendinginan ini mengurangi potensi pertumbuhan awan di Samudera Pasifik tengah dan meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia secara umum. Fenomena ini dapat memengaruhi produksi pangan nasional baik langsung maupun tidak langsung.
Namun menurut Suwandi, Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, stok pangan nasional saat ini masih cukup. Berdasarkan data Pusat Distribusi dan Akses Pangan Kementerian Pertanian, pada minggu ke-1 November 2021, ketersediaan beras nasional mencapai 8 juta ton, termasuk 1,2 juta ton di Perum Bulog. Sedangkan kebutuhan beras nasional ialah 566.488 ton per minggu.
Di provinsi yang saat ini ditimpa bencana seperti Kalimantan Barat, masih tersedia 165.441 ton beras pada minggu pertama November, sedangkan kebutuhan untuk satu minggu ialah 10.726. Jadi masih surplus. Surplus juga terjadi di Jawa Barat karena kebutuhan beras untuk satu minggu ialah 104.145,88 ton sedangkan stok yang tersedia saat ini ialah 1,5 juta ton.
Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksikan total produksi padi nasional sepanjang 2021 akan mencapai 55,27 juta ton, naik dari 54,6 juta ton di tahun sebelumnya.
"(Peningkatan stok pangan) karena program perluasan tanam, peningkatan produktivitas, dan penggunaan varietas benih unggul," ujar Suwandi kepada DW Indonesia.
Sektor pertanian rawan terpengaruh
Menurut Suwandi, daerah yang rawan terhadap dampak La Nina ialah Jawa, Bali, dan NTT. Selain itu, Sumatra bagian selatan, Kalimantan bagian selatan, dan Sulawesi bagian selatan juga sama rawannya. Di daerah-daerah ini, curah hujannya diperkirakan 20-70% di atas normal hingga Desember dan mencapai puncaknya pada Januari dan Februari 2022.
"Sektor pertanian memang paling rawan terkena dampak La Nina," kata Suwandi.
Pemerintah, kata Suwandi, akan mengambil langkah-langkah mitigasi terhadap potensi dampak La Nina di daerah-daerah rawan. Langkah ini antara lain memperbarui pemetaan wilayah rawan banjir dan serangan organisme pengganggu tumbuhan, meningkatkan sistem peringatan dini, dan mendistribusikan benih tahan banjir seperti Inpari 29, Ciherang Sub 1, dan Inpara 1 sampai Inpara 10.
Ciherang Sub 1 dan Inpari 29 cocok untuk inbrida padi sawah irigasi sedangkan Inpara 1 sampai Inpara 10 cocok untuk inbrida padi rawa ujar Suwandi.
Suwandi menghimbau petani untuk menggunakan benih padi yang pemerintah rekomendasikan karena lebih toleran terhadap banjir yang merendam lahan persawahan selama berhari-hari.
"Disarankan kepada para petani untuk menggunakan varietas padi tahan rendaman sebagai solusi agar pertanian tidak terganggu, terutama para petani yang berada di lahan sawah dataran rendah atau rawa," ujar Suwandi.
Akses distribusi rawan bermasalah
Sementara Angga Hermanda, Ketua Departemen Politik, Hukum, dan Keamanan di Serikat Petani Indonesia (SPI), setuju bahwa stok pangan saat ini masih aman, tetapi yang menjadi masalah adalah distribusinya.
Akibat bencana alam, fasilitas infrastruktur seperti jembatan di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, misalnya, saat ini rusak dan dampaknya, proses distribusi pangan dari kota ke desa dan sebaliknya jadi terhambat, menurut laporan anggota SPI di Kalimantan Selatan.
"Sampai saat ini stok pangan masih terjaga, tapi yang menjadi kekhawatiran kita itu kondisi di awal tahun 2022," kata Angga kepada DW Indonesia.
Menurut prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), La Nina akan terjadi hingga awal tahun 2022. Padahal, awal tahun seharusnya dirayakan sebagai momen panen raya padi. Oleh karena itu, upaya mitigasi yang tepat dari pemerintah sangat dinanti oleh masyarakat saat ini.
"Jika upaya mitigasi pemerintah tidak pas, apa yang terjadi pada 2015 dan 2016 bisa terulang. Pada waktu itu, produksi menurun, dan akhirnya kita membuka keran impor," katanya.
Benih tahan genangan air dianggap bukan solusi
Bagi Angga, menghimbau petani untuk menggunakan benih rekomendasi pemerintah bukanlah langkah mitigasi yang tepat. "Itu menyelesaikan masalah dengan masalah baru," kata Angga.
Angga mengingatkan bahwa iklim, pH tanah, dan kadar air di setiap daerah berbeda-beda dan karenanya karakteristik varietas padi di setiap daerah juga berbeda. Jika diseragamkan, bisa muncul berbagai penyakit.
"(Jika Inpari 29 untuk inbrida padi sawah irigasi), bagaimana dengan padi huma atau padi ladang? Karena banyak petani kita yang menanam di ladang, tidak hanya di sawah irigasi," kata Angga.
Selain itu, benih-benih unggul tahan banjir yang direkomendasikan pemerintah dinilainya tidak ramah lingkungan karena masih memerlukan pupuk dan pestisida kimia.
Membangun pertanian agroekologi
Angga kembali mempertanyakan mengapa pemerintah mendorong masyarakat untuk menggunakan benih tahan banjir seperti Inpara 1 sampai Inpara 10, padahal petani-petani Indonesia sudah memiliki produk lokal yang ramah lingkungan, seperti benih padi SPI 20 dan SPI 21.
"Petani kita bisa membenihkan padinya sendiri, tanpa harus beli ke toko atau perusahaan. Banyak petani kita masih melakukan penangkaran benih sendiri dan benih," kata Angga.
Benih padi SPI 20 dan SPI 21 ini penting dalam membangun pertanian agroekologi. Model pertanian ini justru mampu mendinginkan suhu bumi karena ramah lingkungan.
"Di dalam pertanian agroekologi, semuanya ramah lingkungan dan alami. Kita mandiri dalam melakukan aktivitas pertanian. Petani itu mandiri. Kita produksi pupuk sendiri, bukan pupuk dan pestisida dari perusahaan," katanya.
Berbeda dengan benih tahan genangan rekomendasi pemerintah, SPI 20 dan SPI 21 tidak membutuhkan pupuk dan pestisida kimia sehingga unsur hara di tanah bisa terjaga.
"Kalau kita terus-terusan pakai pupuk kimia dan obat-obatan dari perusahaan, kesuburan tanah semakin menurun. Sebagus apa pun benih padi, produksi akan menurun ketika kesuburan tanah juga menurun," katanya. "Ini juga perlu diperhatikan, bukan hanya mengenai solusi varietas yang tahan banjir atau tahan air dari Kementerian Pertanian."
Sistem peringatan dini perlu diperkuat
Menurut Angga dari SPI, sistem peringatan dini yang kuat merupakan kunci untuk mengantisipasi gagal panen akibat bencana alam. Akan tetapi, menurutnya belum ada upaya dari pemerintah pusat dan daerah untuk memperbaiki sistem peringatan dini.
Padahal pasal 34 di Undang Undang No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani telah mengamanahkan pemerintah pusat dan daerah untuk membangun sistem peringatan dini dan penanganan dampak perubahan iklim untuk mengantisipasi gagal panen akibat bencana alam.
"Anggota kita di Jawa Timur belum bisa memprediksi curah hujan. Dampaknya ialah beberapa yang tanam jagung di Tuban, Nganjuk, dan Ponorogo mengalami gagal panen. Hal ini karena antisipasi dampak perubahan iklim belum disosialisasikan oleh pemerintah secara penuh ke petani," kata Angga. (ae)