Brasil, tim yang eksotis, yang memainkan sepak bola dengan indah dan gembira, kini dalam perjalanan menuju gelar keenam.
Mereka sudah di perempat-final, tiba dengan kekuatan penuh, termasuk mega bintang bernama Neymar.
Lawan Brasil adalah Kroasia, finalis Rusia 2018 - Piala Dunia yang mencampakkan Brasil di perempat-final, ditekuk Belgia.
Apa kabar Brasil di tangan Kroasia dalam duel Jumat malam di Education City, dan itu tiket penting menuju semifinal dan final.
Harusnya bisa ketika skuad Tite yang komplit dengan balancing yang oke, mereka bisa redam Kroasia.
Tapi sepak bola bukan "harusnya". Banyak hal yang rumit bisa jadi nyata, seperti Maroko yang berjibaku 120 menit plus, menggusur Spanyol via adu penalti. Seperti Kamerun, meski kandas di fase grup, menang bahagia via gol Vincent Aboubakar atas Brasil.
Tapi itulah. Dunia menanti beautiful football Brasil, sebagai penerus supremasi Piala Dunia dengan lima gelar juara, terbanyak di atas Jerman dan Italia.
Brasil, satu-satunya tim yang selalu ikut pada 22 kali pergelaran dalam 92 tahun Piala Dunia, memang oke. Tapi tiga gelar mereka, saat diperkuat Pele, jauh muncul sebelum era sepak bola modern: 1958, 1962 dan 1970.
Yang terbaru di Jepang-Korea 2002. Itu gelar terakhir Brasil, saat final menumbangkan Jerman di Yokohama, Jepang. Itu juga merupakan gelar 'terakhir' tim-tim Amerika Latin dalam perebutan supremasi mereka dengan tim-tim Eropa.
Eropa, memang, leading 12-9 versus tim Latin dalan 21 kali Piala Dunia. Bahkan, empat terakhir dikuasai, dari Rusia 2018, Brasil 2014, Afrika Selatan 2010 dan Jerman 2006.
Hampir 20 tahun tanpa gelar juara dari tim Latin. Bahkan, parahnya, di kandang sendiri pada 2014, Brasil gagal juara dengan noktah penting: dihancurleburkan Jerman 7-1.
Tak percaya? Itulah sepak bola
Hegemoni tim Latin, memang, mengandalkan kelebihan individu seperti era Pele dan Maradona dan kini Messi dan Neymar.
Adapun tim Eropa lebih pada soal keseimbangan. Didier Deschamps boleh kehilangan Benzema, Kante, Pogba, tapi mereka tetap solid dengan skuad yang dalam.
Spanyol di tangan Enrique, kokoh di tangan sebagian besar anak muda, misal Gavi dan Pedri.
Hanya banyak orang bertanya, mengapa Jerman yang berkibar di Brasil 2014, takluk, bahkan di fase grup di Rusia 2018 dan Qatar 2022.
Entahlah, terutama Piala Dunia 2022 di Qatar: adakah skuad Hansi Flick datang tidak dengan fokus bermain bola?
Bukankah Jerman bagian dari hegemoni dan mengepakkan sayap Eropa dalam duel berebut supremasi dunia versus Latin?
Ketika Jerman selesai, wakil Eropa menumpukan asa pada 5 tim ini dan dua tim berlaga sesama mereka di Al-Bayt: Prancis vs Inggris. Wakil lain, Belanda jumpa Argentina, Brasil vs Kroasia dan Portugal vs Maroko.
Argentina, wakil Latin kedua, duel ketat vs Belanda yang konsisten. Brasil, sepertinya bisa atasi Kroasia.
Sepertinya juga, boleh jadi, perang Argentina vs Brasil pecah di semifinal hingga memunculkan laga Latin vs Eropa di partai final, Minggu 18 Desember.
Eh, mungkinkah? Mungkin gak sih Maroko ke semifinal, menggilas Portugal dan pemenang Inggris-Prancis?
Ah, saya masih percaya, supremasi Piala Dunia masih jadi kancah kuali panas Latin vs Eropa.
Hardimen Koto pengamat, analis dan komentator sepak bola
*tulisan ini menjadi tanggung jawab penulis.