Gelaran pertama yang dilakukan di negeri Timur Tengah yang kemudian lebih banyak memunculkan berbagai kontroversinya ketimbang informasi seperti apa tim-tim dan negara-negara peserta bersiap untuk ikut serta di turnamen terbesar ini. "Biasanya beberapa minggu sebelum turnamen saya dan kawan-kawan sudah saling berencana untuk nobar di suatu tempat,” ujar Tiffani, seorang kawan yang seperti kebanyakan perempuan di Indonesia akan mendadak menjadi pemerhati sepak bola dunia hanya di saat Piala Dunia digelar. Herwin Sinaga, kawan bermain sepak bola saya pun demikian "Eh malam ini sudah pertandingan pertama, ya?” ujarnya saat kami sedang bermain sepak bola hari Minggu lalu.
Ketika Qatar diputuskan untuk menjadi tuan rumah saja sudah menjadi hal yang cukup ganjil karena negara ini sama sekali tak punya industri sepak bola yang cukup untuk dilihat jika ingin membandingkan dengan Korea Selatan, Jepang, Cina, Iran, Australia atau bahkan Thailand atau Indonesia sekali pun jika kita berbicara konteks Asia. Jika dalam konteks kompetitor tuan rumah lainnya, jelas Qatar tak akan bisa dibandingkan dengan Inggris atau Amerika Serikat sekali pun. Satu hal yang saya yakini mampu membuat Qatar akhirnya terpilih menjadi tuan rumah pada 12 tahun lalu itu adalah kemampuan lobi mereka terhadap para petinggi FIFA. Saya tentu saja mengabaikan teori konspirasi dan permainan uang yang santer diberitakan oleh banyak pihak dan media untuk persoalan ini.
Pembangunan besar-besaran
Ketika terpilih, Qatar negara kecil di Timur Tengah itu kemudian giat membangun setidaknya lima stadion dan empat kota untuk bisa jadi penyelenggara yang baik. Jadi, ketika bangsa lain akan merapikan fasilitas stadion dan fasilitas umum lainnya, Qatar justru membangun hal yang jauh dari bayangan banyak orang, mereka membangun kota! Jumlahnya pun sangat serius. Dengan kekuatan uang yang tak terkira mereka lalu berhasil memenuhi segala standar yang dibutuhkan untuk bisa menjadi tuan rumah yang mumpuni dan tentu saja baik.
Kabarnya sekitar 320 juta poundsterling digelontorkan oleh negeri minyak itu untuk bisa memenuhi standar yang diinginkan. Sebagai ganjarannya, FIFA memberi mereka perubahan waktu penyelenggaraan turnamen menjadi di musim dingin. Dengan kebijakan ini, praktis Piala Dunia 2022 bukan cuma turnamen pertama yang tidak terjadi di musim panas, tapi juga meruntuhkan predikat ‘the mother of all summer' bagi turnamen yang selalu ditunggu oleh banyak orang ini.
Imbasnya tentu ke waktu tendangan pertama yang terjadi di tengah-tengah ketegangan liga masing-masing negara. Jika di saat normal kita akan sungguh merindukan Piala Dunia karena liga sudah selesai sekitar sebulan, kali ini belum lagi kita sempat menunggu, partai pertama sudah dimulai. Saya mencatat banyak liga besar seperti EPL, Serie A, Bundesliga, Ligue 1 dlsb. masih melakukan pertandingan-pertandingan pentingnya hanya tujuh hari sebelum turnamen resmi dibuka. Daftar nama skuat yang dikirim ke Qatarpun praktis baru resmi diumumkan paling lama sekitar delapan hari sebelum Morgan Freeman muncul di panggung pembukaan.
Tidak seperti kebiasaan sebelum-sebelumnya, tim peserta tidak membuka trainingnya di Qatar dari jauh hari. Banyak yang justru memilih negara tetangga seperti Oman atau beberapa negara Eropa malah tetap di negeri asal mereka. Brasil tercatat baru tiba hanya satu hari menjelang pembukaan, juga Serbia yang datang di hari pembukaan. Piala Dunia sungguh terasa tak lagi jadi sesuatu yang dinantikan, karena televisi di Indonesiapun tidak sungguh-sungguh mempromosikan turnamen ini, juga media-media lain karena hajatan sepak bola lain masih terus berjalan.
Jadi yang berbeda
Qatar kemudian melengkapi perbedaan mereka dibanding penyelenggara yang lain, tentu saja pembukaan dengan kutipan Al Hujurat ayat 13 adalah salah satu pembeda di samping tentu saja sebuah pernyataan bahwa budaya Timur Tengah pun memahami apa yang disebut barat sebagai ‘perbedaan'.
"Persoalan muncul jika kita gagal melihat sesuatu lewat perspektif yang berbeda,” demikian ujar dosen saya dahulu, almarhum Poespoprodjo. Dia bilang apapun harus dilihat dari berbagai cara, bagaimana ia melihat bak mandi dari posisi biasa atau dari posisi berdiri di pinggiran bak akan sangat berbeda "Apalagi jika dilihat dari atap,” ujarnya suatu ketika. Petuahnya mungkin tidak sama sekali baru saat itu di tahun 1991, karena beberapa tahun sebelumnya karakter fiksi John Keating sudah mengungkapkan hal yang sama di film Dead Poets Society (Peter Weir, 1989), ia bahkan secara demonstratif meminta para muridnya untuk berdiri diatas meja agar mereka melihat hal yang sama sekali baru di ruangan yang sama.
Bangsa Barat sudah lama seolah menjadi standar kebenaran, media jelas mereka kuasai dan bagaimana kita menilai sebuah nilai adalah seolah milik mereka. Negara seperti Indonesia pun menjadi salah satu contoh bagaimana standar etika dan kebenaran barat adalah hal yang benar digunakan. Qatar tentu melawan itu, mereka lama hidup dengan cara yang tak sama dengan banyak orang. Setidaknya mereka berusaha keras agar norma-norma yang biasa mereka punya bisa dihormati oleh para tamu yang datang ke sana.
Qatar 2022 kembali jadi berbeda, minuman keras, alkohol apalagi pesta-pesta yang khas terjadi di segala gelaran Piala Dunia tidak lagi sama dengan yang biasa dilihat. Alkohol jelas disebutkan tak akan ditemukan di area stadion, tak peduli sebuah brand bir adalah salah satu sponsor. Mereka memang masih menggunakan trofi berbentuk gelas bir khas merk Amerika tadi lengkap dengan tulisannya di latar belakang sebagai bentuk penghormatan pada sponsor. Tetapi konsumsi di areal tertentu adalah urusan lain.
Sulit membayangkan suasana hingar bingar pesta musim panas terjadi di gelaran Piala Dunia ini, tak terbayang ekonomi macam apa yang sedang mereka harapkan tumbuh. Rusia 2018 tercatat memberi peluang industri hiburan dan gemerlap malam pada saat penyelenggaraan, Brasil 2014, Afrika Selatan 2010 apalagi Jerman 2006 pun demikian. Qatar tampaknya memang sama sekali tak punya agenda mengejar banyak transaksi hiburan sepanjang gelaran apalagi meningkatkan ekonomi mereka paska Piala Dunia 2022 ini.
Mereka memang sudah terlalu kuat secara ekonomi, jika negara lain selalu memiliki target menjadikan Piala Dunia sebagai titik tolak pembangunan infrastruktur yang lalu berimbas pada perkembangan ekonomi, saya yakin Qatar tidak demikian. Mereka lebih mencari letak posisi negara dalam pergaulan dunia. Mungkin hampir sama dengan Jepang di sekitar pertengahan 1980-an yang sudah memiliki semua tapi tidak memiliki sepak bola yang kompetitif. Mereka lalu menciptakan kompetisi yang baik, pembinaan yang benar, ekspor pemain yang signifikan dan ujungnya adalah tim nasional yang kompetitif di mata dunia.
Mengejar status
Di situlah posisi Qatar, lewat sepak bola mereka sedang mengejar status bagian dari peradaban dunia dan penggerak ekonominya. Tak peduli seperti apa cara yang mereka kejar, cara yang bahkan membuat pertandingan-pertandingan seru di turnamen ini menjadi pergi bersembunyi digantikan oleh kisah tenaga kerja asing yang dibayar terlalu murah, aturan yang dianggap keterlaluan sampai aksi tutup mulut para pemain Jerman. Kekalahan sejenis sebenarnya sudah pernah dialami Jerman di 2018 dari Korea Selatan atau lebih jauh lagi di Piala Dunia 1982 dari Aljazair. Bedanya, aksi tutup mulut para pemain dan sikap sosial politis mereka justru mencuat lebih luas ketimbang kekalahan itu sendiri. Perihal teknis dan non teknis di laga Jerman vs Jepang menjadi sirna dan digantikan oleh sikap yang diambil oleh para pemain Jerman dan federasi sepak bolanya.
Besoknya situasi sepak bola semakin bergeser ketika kabar keinginan Denmark, Jerman dan Inggris untuk mempertanyakan persoalan pelarangan pemakaian warna pelangi sebagai bentuk pelarangan kebebasan bersuara pada FIFA. Kabarnya pula ketiga negara ini siap untuk keluar dari FIFA dan mundur dari Piala Dunia jika memang perlu. Piala Dunia jadi seolah kehilangan marwah olah raganya, dijauhi analisa kemenangan dan kekalahan yang prima, digantikan oleh soal-soal yang sebenarnya malah jauh dari semangat olahraga dan olimpiade itu sendiri.
Empat tahun lalu di Moskow, Nizny Novgorod atau bahkan Kazan, saya mendengar langsung banyak orang tak mau datang ke Qatar 2022 karena khawatir hal-hal macam ini terjadi. Jauh di tahun 2013 di Nürnberg, kawan saya asal Argentina sudah jelas tak akan datang ke Qatar 2022 karena merasa mereka di sana tak benar-benar paham sepak bola. Kini segala kekhawatiran itu bagai terbukti, walau saya lebih merasa persoalan ini adalah tak lebih dari persoalan cara memandang. Bagaimana kultur yang biasa menyelenggarakan sepak bola melihat perhelatan ini dan bagaimana sebuah bangsa yang jauh dari kultur barat dan sangat bertolak belakang itu sedang menyelenggarakannya, Qatar punya cara dan saya rasa semua orang harus menghargainya.
Mungkin perlu untuk mengingat apa yang dikatakan oleh kapten tim Prancis Hugo Lloris "Jika ada orang datang ke negara kami, kami tentu ingin dia memahami seperti apa kami, nilai-nilai kami dan cara kami hidup, saya rasa di sini pun demikian……maka dari itu saya tak akan memaksa untuk bisa mengenakan ban kapten warna pelangi itu,”
@andibachtiar : pembuat film dan pengamat bola.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.