Apakah Platform Temu dari Cina Ancam Keamanan Data Pembeli?
7 September 2023Apakah para miliarder membeli gaun seharga $9,99 atau sekitar 160 ribu rupiah? Atau jam tangan pintar seharga $15 atau sekitar 200 ribu rupiah?
Ketika Temu memulai debut iklannya di Super Bowl pada awal tahun 2023, banyak penggemar American Football yang penasaran, karena aplikasi belanja ini menjanjikan "belanja seperti miliarder".
Pada saat itu, hampir 11 juta orang Amerika Serikat (AS) sudah mengetahui apa itu Temu dan telah mengunduh aplikasinya. Banyak yang telah menggunakan pasar online untuk membeli pakaian atau barang rumah tangga dengan potongan harga dari vendor yang bermarkas di Cina yang dikirim langsung dari produsennya.
Tersedia di AS sejak September 2022, platform e-commerce ini tumbuh cepat. Pada bulan pertama online, Temu menggaet 4,5 juta pengguna aktif bulanan di Amerika Serikat. Pada bulan Juli, Temu mengumpulkan 77,3 juta pengguna aktif bulanan, lebih dari dua kali lipat dibanding awal tahun, demikian menurut perusahaan konsultan GWS Magnify.
"Pengguna (aplikasi ini di Amerika) menghabiskan waktu hampir 10 menit lebih lama di aplikasi Temu setiap harinya dibandingkan dengan Amazon dan Shein," ujar CEO GWS Magnify, Paul Carter. Hal ini mungkin tidak terlihat bombastis, tetapi jika tingkat keterlibatan pengguna digabungkan, menunjukkan potensi perusahaan untuk menjadi pesaing yang serius.
Bagaimana harganya bisa semurah itu?
Dalam beberapa bulan terakhir, Temu telah diluncurkan di sejumlah tempat lain selain di AS. Saat ini, platform ini tersedia di 39 negara di seluruh dunia, mulai dari Eropa hingga Jepang dan Australia.
Platform ini memikat pembeli dengan harga yang sangat murah karena memotong perantara dengan model bisnis dari pabrik ke konsumen. Temu adalah pilihan baru saat konsumen terpukul oleh inflasi pascapandemi dan biaya-biaya lain yang lebih tinggi, kata Bruce Winder, analis ritel dan penulis yang bermarkas di Toronto.
"Temu menawarkan titik harga rendah baru yang secara tradisional tidak ditemukan di ritel Barat dan akses ke berbagai macam produk," kata Winder kepada DW. "Temu menawarkan model langsung dari pabrik dan di permukaan terlihat sangat bernilai di saat inflasi yang signifikan untuk makanan, perumahan, dan bahan bakar mengambil sebagian besar penghasilan konsumen."
Namun, aplikasi ini sangat bergantung pada penjualan berjangka, diskon, dan hadiah untuk mendorong pembelian impulsif. Sejak diluncurkan, mereka juga berinvestasi dalam iklan online dan mendorong para influencer untuk memposting "video belanja" yang menunjukkan apa yang mereka beli dan memberikan rekomendasi.
Kesuksesan Temu telah menimbulkan kritik dari para aktivis lingkungan karena membanjirnya barang-barang murah dan "fast fashion" yang boros. Pengiriman paket individu ke seluruh dunia menambah emisi CO2 global.
Peraturan Amerika Serikat yang longgar, khususnya, memungkinkan hal ini terjadi. Sebagian besar paket yang dikirim ke AS dengan nilai di bawah $800 tidak dikenakan tarif. Itu berarti jika sebuah perusahaan membeli satu kotak berisi 10.000 kemeja, maka perusahaan tersebut akan membayar pajak impor. Jika 10.000 kaos tersebut dikirim secara terpisah, tidak ada pajak yang harus dibayarkan. Negara-negara lain tidak terlalu murah hati dengan paket bebas bea.
Data bea cukai AS menunjukkan bahwa lebih dari 10% impor Cina dipatok berdasarkan harga pada saat dikirim langsung ke pelanggan. Jumlah itu naik dari kurang dari 1% satu dekade lalu.
Pada tahun 2021, Federal Reserve Bank of New York memperkirakan bahwa AS kehilangan sebanyak $10 miliar per tahun dalam tarif dengan cara ini, menurut laporan yang dikeluarkan pada bulan April oleh Komisi Peninjauan Ekonomi dan Keamanan AS-Cina.
Pengaruh Tiongkok dan keamanan nasional
Namun, bukan harga murah, masalah lingkungan, atau barang palsu yang paling mengkhawatirkan pemerintah AS. Melainkan keamanan siber dan data pengguna.
Hubungan AS-Cina sedang berada di titik terendah dan para pejabat Amerika Serikat tidak senang dengan data konsumen yang diambil oleh perusahaan-perusahaan seperti Temu, Shein, dan TikTok. Selama setahun terakhir, ada banyak seruan untuk melarang atau membatasi TikTok karena masalah keamanan nasional. Dan teknologi Cina telah diblokir dari banyak proyek infrastruktur di Barat seperti jaringan 5G.
Temu dimiliki oleh PDD Holdings, yang juga mempunyai Pinduoduo, peritel online asal Cina. Dalam laporan "Pasar Terkenal untuk Pemalsuan dan Pembajakan" tahun 2022, Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat memberikan Pinduoduo bagian tersendiri. Pada bulan Maret, aplikasi Pinduoduo dihapus dari Google Play Store karena diduga mengandung malware.
Pengawasan ini membuat Temu menjauhkan diri dari perusahaan induknya dan dari Cina. Untuk pelanggan AS, perusahaan ini memindahkan operasinya ke Boston. Untuk seluruh dunia, terdaftar di Irlandia. Apakah ini benar-benar membuat data pengguna keluar dari Cina masih belum jelas.
Hampir tidak mungkin untuk menjamin data tidak akan berakhir di Cina, kata Lindsay Gorman, kepala tim teknologi dan geopolitik Marshall Fund Jerman. Baginya, pertanyaan kuncinya adalah jenis data apa yang digunakan.
"Semua platform teknologi pada tingkat tertentu mengakui data sebagai aset strategis," katanya kepada DW. "Platform Tiongkok lebih berani dalam mengintai pengguna."
Ketika harga mengorbankan privasi
Meskipun situs web Temu mencatat bahwa "semua data akan dienkripsi", para ahli seperti Gorman menyerukan transparansi yang lebih besar, terutama dalam hal cara mereka melacak pengguna.
"Upaya Partai Komunis Cina untuk menjadi pemimpin teknologi global didorong oleh data dan spionase siber. Tidak terkecuali platform e-commerce," ujar pakar yang berbasis di Washington D.C. yang baru-baru ini menjabat sebagai penasihat senior di Gedung Putih.
Meskipun Gorman melihat pola pembelian di Temu tidak terlalu sensitif dibandingkan dengan video atau pesan di TikTok, risiko keamanan data terbesar di sini adalah adanya hal-hal di luar tujuan inti bisnis tersebut. "Mengapa platform e-commerce membutuhkan akses ke informasi jaringan Bluetooth dan Wi-Fi? Itulah masalah privasi yang sebenarnya," katanya.
Namun, ketika banyak negara khawatir akan ketergantungan pada teknologi Cina, para pelanggan justru berbondong-bondong menggunakannya. Dalam banyak kasus, gagasan abstrak tentang privasi, standar tenaga kerja yang buruk, dan perlindungan lingkungan dikesampingkan oleh harga yang murah, kata Bruce Winder.
"Saya pikir banyak konsumen yang bersedia mengambil risiko pada risiko privasi dan menutup mata terhadap potensi risiko sosial lainnya karena mereka putus asa secara finansial."
(ap/hp)