Polusi Udara Tewaskan 98 Ribu Orang di Dunia
10 Juli 2020Awal tahun ini, publik disuguhi gambar-gambar udara bersih dan langit yang cerah akibat lockdown pandemi corona. Namun nyatanya sejak awal tahun 2020, polusi udara masih bertanggung jawab atas kematian prematur sekitar 98.000 orang di dunia. Sementara potensi kerugian ekonomi diperkirakan mencapai 56,5 miliar dolar AS, demikian menurut perangkat penghitungan udara bersih yang diluncurkan oleh gabungan aktivis lingkungan pada hari Kamis (09/07).
Perangkat yang dapat melakukan kalkulasi polusi udara secara online ini diluncurkan oleh Pusat Penelitian Energi dan Udara Bersih (CREA) yang berbasis di Helsinki, Finlandia, bersama Greenpeace Asia Tenggara, dan IQAir Air Visual. Alat ini mengukur kabut asap di 28 kota besar di seluruh dunia dan menggunakan model yang dirancang oleh program penelitian Global Burden of Disease untuk memperkirakan dampak polusi udara terhadap kesehatan manusia.
Tingginya tingkat polusi udara berkorelasi dengan berbagai penyakit seperti gangguan paru kronis, penyakit jantung, stroke, dan kanker paru-paru yang juga berimbas pada produktivitas ekonomi. Potensi kerugian ekonomi akibat polusi udara dihitung dengan memperkirakan faktor-faktor seperti absen kerja dan kehilangan tahun-tahun produktif karena sakit. Kota-kota dengan penduduk padat seperti Tokyo, New Delhi dan Shanghai pun tercatat mengalami kerugian besar.
Menurut perangkat hitung tersebut, sejak 1 Januari 2020 ada sekitar 29 ribu kematian prematur di Tokyo, Jepang, yang berpenduduk sekitar 37 juta jiwa. Sementara di New Delhi, India, yang berpenduduk sekitar 30 juta, diestimasikan terdapat 24 ribu kematian prematur dan kota Shanghai di Cina mencatat sekitar 27.000 kematian prematur.
Potensi kerugian ekonomi di Indonesia capai puluhan triliun
Sementara itu, menurut data Greenpeace yang diterima DW Indonesia, Kamis (09/07), angka kematian dini akibat polusi udara di Indonesia sejak 1 Januari 2020 diperkirakan mencapai lebih dari 9.000 jiwa. Kematian dini di Jakarta diperkirakan mencapai 6.100 jiwa, di Surabaya mencapai 1.700 jiwa, di Denpasar sebanyak 410 jiwa dan di Bandung sebanyak 1.400 jiwa.
Kerugian ekonomi akibat buruknya kualitas udara di Indonesia juga diperkirakan mencapai puluhan triliun rupiah. Greenpeace mencatat total potensi kerugian ekonomi yang dialami oleh empat kota besar di Indonesia, salah satunya yaitu Jakarta yang mencapai Rp 23 triliun atau sekitar 26 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Sementara itu, potensi kerugian ekonomi akibat buruknya kualitas udara di Bandung diperkirakan mencapai Rp 5,34 triliun, di Surabaya mencapai Rp 6,35 triliun dan sebesar Rp 1,44 triliun di Denpasar.
Kualitas udara Jakarta tidak membaik
Greenpeace menilai bahwa penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) karena wabah COVID-19, tidak terlalu berdampak pada perbaikan kualitas udara di Jakarta. Kualitas udara di ibu kota Indonesia itu dinilai tetap dalam kisaran yang sama bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Organisasi lingkungan tersebut mengungkapkan bahwa berdasarkan citra satelit dan analisis yang disusun CREA, tingkat polusi PM2.5 di Jakarta tetap tinggi. Namun konsentrasi senyawa nitrogen dioksida atau NO2 memang menurun sebanyak 33 persen. Penurunan konsentrasi NO2 di Jakarta sebagian besar disebabkan oleh penurunan kegiatan pada sektor transportasi dan industri selama masa PSBB.
Akan tetapi penurunan ini tidak berlangsung lama. Dalam pesan singkatnya kepada DW Indonesia, Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan, sejak masa transisi PSBB justru terlihat tren kenaikan polusi udara di Jakarta.
Dalam masa PSBB transisi, konsentrasi PM2.5 dan NO2 di Jakarta justru terus meningkat. Bahkan pada 15 Juni, Jakarta berada di daftar lima kota dengan kualitas udara terburuk di dunia, demikian menurut database IQAir Visual.
Bondan mengatakan bahwa kualitas udara aktual di Jakarta menunjukkan, solusi pemerintah untuk menghadapi masalah polusi udara masih jauh dari optimal. “Perlu ada langkah nyata dan rencana jangka panjang dari pemerintah,” ujar Bondan kepada DW Indonesia.
Upaya yang dapat dilakukan antara lain, memberikan data polusi udara secara realtime kepada publik dengan menyediakan alat pantau yang representatif, melakukan upaya mitigasi atas bahaya polusi udara dan mengedukasi publik akan bahaya dan dampak polusi udara bagi kesehatan. Selain itu perlu juga ada langkah bersama antara pemerintah daerah guna mengatasi polusi udara lintas batas. ae/as (Reuters, greenpeace.org)