Rilis Amnesty International: 2022, Tahun Perang dan Protes
29 Maret 2023"Pada tahun 2022, lebih banyak orang di seluruh dunia yang melarikan diri daripada sebelumnya. Pada saat yang sama, jutaan orang turun ke jalan untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Orang-orang melarikan diri dan memprotes karena nyawa mereka terancam, karena mereka ditindas, dianiaya, dan dicabut haknya, dan karena hak asasi mereka dilanggar,” kata Markus N. Beeko, Sekretaris Jenderal Amnesty Internasional di Jerman.
Amnesty International mendokumentasikan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di 20 dari 156 negara yang disurvei, termasuk beberapa yang dilakukan oleh pasukan Rusia di Ukraina. Di 62 negara, pemerintah membatasi kebebasan berkumpul, berserikat, dan berekspresi. Sementara di 79 negara lainnya, para aktivis ditahan secara sewenang-wenang, banyak dari mereka disiksa dan dianiaya.
"Keberanian dan ketekunan orang-orang yang turun ke jalan untuk kebebasan dan keadilan, di Iran, Peru, Georgia, dan di tempat lain, sangat mengesankan," tambah Beeko.
Agresi Rusia melanggar hukum internasional
"Invasi Rusia ke Ukraina merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap Piagam PBB, tindakan agresi, dan kejahatan menurut hukum internasional," kata Janine Uhlmannsiek, Koordinator Eropa dan Asia Tengah Amnesty International di Jerman. "Penyelidik Amnesty Internasional telah mendokumentasikan banyak kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh pasukan Rusia."
Daftar yang dimiliki Uhlmannsiek di antaranya adalah serangan membabi buta di daerah perumahan, rumah sakit, dan sekolah oleh militer Rusia, serta penggunaan senjata sewenang-wenang yang telah menewaskan ribuan korban sipil. Amnesty mengatakan ada juga kejahatan seperti penyiksaan, kekerasan seksual, dan pembunuhan di luar hukum, serta deportasi sejumlah besar warga sipil ke wilayah pendudukan Rusia atau ke Rusia.
"Dalam satu kasus yang didokumentasikan oleh Amnesty, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun dipisahkan dari ibunya. Kami juga telah mendokumentasikan kasus anak-anak tanpa pendamping yang dibawa dari Mariupol ke Donetsk," kata Uhlmannsiek, mengacu pada kebijakan paralel di Rusia.
Semua ini, katanya, adalah kebijakan sistematis yang disengaja dan bagian dari serangan komprehensif terhadap warga sipil Ukraina. Hal yang sama berlaku untuk penggunaan kekerasan terhadap perempuan dan pemerkosaan sistematis, yang selalu menjadi ciri konflik bersenjata.
Iran: Lebih banyak protes meski ada represi
Selain perang Rusia di Ukraina, laporan tahunan Amnesty International berfokus pada situasi hak asasi manusia di Iran, terutama setelah kematian perempuan Kurdi berusia 22 tahun Jina Mahsa Amini pada September 2022. Amini ditangkap karena diduga tidak mengenakan pakaiannya dengan benar.
"Kami melihat penurunan signifikan lainnya pada tahun 2022 dalam hal jumlah eksekusi, penyiksaan, dan penangkapan sewenang-wenang,” kata Katja Müller-Fahlbusch spesialis Amnesty Timur Tengah di Jerman kepada DW. "Pada saat yang sama, kami telah melihat kebangkitan yang unik. Keberanian rakyat Iran memperjuangkan kebebasan dan hak asasi mereka, melawan segala rintangan dan melawan semua kekerasan negara, bahkan setelah enam bulan, sangat mengesankan."
Laporan Amnesty menemukan bahwa rezim Iran tidak berhenti menangkap, menyiksa, dan memperkosa anak-anak dan remaja. Menurut Müller-Fahlbusch, tindakan tersebut juga merupakan rencana sistematis yang bertujuan mengintimidasi keluarga mereka dan mencegah mereka melakukan protes di jalanan. Hukuman mati dan bahkan eksekusi publik juga merupakan bagian dari strategi ini.
"Sejauh ini antara penangkapan, persidangan, hukuman mati, dan eksekusi dalam empat kasus, hanya butuh beberapa minggu," kata pakar Amnesty itu.
Müller-Fahlbusch khawatir penindasan dengan kekerasan ini akan berlanjut tahun ini, dengan alasan bahwa otoritas Iran selama beberapa dekade hanya menggunakan satu cara, yaitu kekerasan dan pelanggaran sistematis hak asasi manusia. Namun, dia memperkirakan protes masyarakat yang tidak lagi membiarkan dirinya terpecah juga akan terus berlanjut, oleh karena itu masyarakat internasional harus menunjukkan solidaritas, katanya.
Myanmar: Militer bertanggung jawab atas kejahatan perang
Organisasi hak asasi manusia juga prihatin dengan situasi di Myanmar, di mana militer merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021. Sejak saat itu, Amnesty International telah mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia yang luas, termasuk kejahatan perang dan kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ribuan orang diyakini tewas, 1,5 juta lainnya mengungsi, dan 13.000 orang masih dipenjara dalam kondisi tidak manusiawi. Selain itu, Amnesty telah mendokumentasikan empat eksekusi, ditambah sedikitnya 100 hukuman mati. Persidangan yang tidak adil adalah bagian dari kehidupan sehari-hari seperti penggunaan rutin penyiksaan selama penahanan, laporan itu menemukan.
Etiopia: Serangan terhadap warga sipil dan pembunuhan massal
Sementara itu, Amnesty International menyambut baik perjanjian damai antara pemerintah Etiopia dan Tigrayan, meskipun khawatir bahwa pemrosesan kejahatan perang tidak berperan dalam proses perdamaian dan bahwa pemerintah Etiopia mungkin ingin mencegahnya.
Riset Amnesty menemukan bahwa semua pihak yang berkonflik di Etiopia utara telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kejahatan perang, pembantaian, penjarahan, dan kekerasan seksual.
Menanggapi semua pelanggaran ini, Amnesty International telah meminta Jerman untuk mengutuk pelanggaran ini, memperkuat masyarakat sipil, mengadvokasi pembebasan jurnalis, dan pembela hak asasi manusia, serta menuntut agar pelanggaran hak asasi manusia ditangani.
(ha/hp)
Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!