1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Salam Perpisahan Jokowi Untuk TNI

19 Juli 2024

Para presiden sebelumnya bisa terbaca polanya dalam berhubungan dengan institusi TNI, bahkan termasuk presiden berikutnya, Prabowo. Tapi pola Jokowi masih belum terlalu jelas.

https://p.dw.com/p/4iVAg
Joko Widodo dan Prabowo Subianto
Joko Widodo beri penghargaan pada Prabowo SubiantoFoto: Grandyos Zafna/detikcom

Pada penggal terakhir kekuasaanya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih sempat  memberi kelonggaran atau kado istimewa bagi TNI. Kelonggaran dimaksud adalah usulan revisi UU TNI (2004), khususnya pada pasal yang mengatur penempatan anggota TNI pada jabatan di kementerian dan lembaga pemerintahan  lainnya.  Revisi kedua adalah soal mengatur usia pensiun anggota TNI, artinya akan diterbitkan regulasi  perpanjangan masa usia pensiun. 

Bila kita periksa lebih detail, pada Pasal 47 Ayat (2) UU TNI versi revisi terdapat tambahan frasa:  "… serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Dengan penambahan kalimat tersebut, prajurit TNI bisa ditempatkan di jabatan sipil,  tidak terbatas pada sepuluh kementerian atau lembaga yang diatur di UU TNI sebelumnya, yang dalam istilah populer dikenal sebagai fungsi OMSP (operasi militer selain perang).

Melalui revisi tersebut, presiden yang akan datang (Prabowo) memiliki ruang, nyaris tanpa batas,  untuk  menempatkan anggota TNI (utamanya perwira) di lembaga sipil, sebagaimana yang pernah berlaku di masa Orde Baru dulu. Ini yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, bahwa demokrasi Indonesia sedang memasuki masa suram. Para akademisi dan aktivis masyarakat sipil merasa cemas,  mimpi buruk bakal terjadi, ketika doktrin Dwifungsi ABRI diaktifkan kembali.

Revisi berikutnya adalah Pasal 53 Ayat (2) yang mengatur penambahan masa usia pensiun, untuk perwira dari 58 tahun menjadi 60 tahun, sementara untuk bintara dan tamtama dari usia 53 tahun menjadi 58 tahun. Tentu saja yang menjadi problematik adalah pada golongan perwira, sebagai lapisan elite TNI. Regulasi yang menambah usia pensiun, akan berdampak pada macetnya alih generasi (fenomena bottle neck) dan surplus perwira tinggi tanpa jabatan  (non-job). Surplus perwira tanpa jabatan, sesungguhnya merupakan masalah klasik yang selalu berulang.

Rupanya otoritas sipil (presiden dan parlemen) kurang memikirkan secara mendalam soal kekhawatiran hidupnya kembali doktrin Dwifungsi ABRI. Sehingga yang terjadi adalah pragmatisme, bagaimana membuat TNI agar selalu gembira.  Itu terlihat ketika revisi regulasi penempatan perwira TNI dalam lembaga sipil, selaras dengan penambahan usia pensiun perwira, termasuk wacana penambahan Kodam baru. Jadi memang ada desain besar bagi paket  revisi regulasi tersebut.

Pendekatan khas Jokowi

Dalam masa transisi pemerintahan, secara etika dan tradisi di mana pun, pemerintahan yang "lama” (dalam hal ini rezim Jokowi), sebenarnya tidak boleh mengeluarkan keputusan atau policy strategis, namun Jokowi dengan mudahnya melanggar tradisi yang selama ini berlaku.

Bila para presiden sebelumnya, bisa terbaca polanya bagaimana dalam berhubungan dengan institusi TNI, bahkan termasuk presiden berikutnya (Prabowo), sementara Jokowi masih belum terlalu jelas. Mungkin kita masih harus menunggu sampai Jokowi menyelesaikan periodenya sebagai presiden, baru kita bisa memahami pola atau konsep hubungan antara Jokowi dengan TNI, terlepas bahwa Jokowi memang bukan figur berlatar belakang militer, seperti SBY dan Prabowo.

Untuk sementara ini, yang bisa kita pahami adalah, Jokowi terkesan "potong kompas” dengan meluluskan segala permintaan TNI, utamanya dengan memberikan segala kelonggaran, berupa tambahan posisi pati dalam jumlah signifikan, sehingga semakin memudahkan seorang pamen berpangkat kolonel untuk masuk strata pati.    

Sekitar lima tahun lalu  (2019) memang telah terbit regulasi (peraturan presiden) yang mengatur soal validasi lembaga dan penyesuaian pangkat bagi sejumlah satuan. Salah satu yang diatur dalam Skep tersebut adalah soal jabatan danrem, bahwa semua Danrem (Komandan Korem) di luar Jawa, kini menjadi pos brigjen (kecuali Aceh). Bagi danrem di Jawa, sebagian memang masih menjadi pos kolonel, kecuali Danrem  Yogyakarta yang sejak tahun 2007  sudah dijabat brigjen. Sejumlah danrem di Jawa kini telah resmi ditetapkan  sebagai jabatan untuk brigjen. 

Posisi danrem hanyalah contoh kasus, tentu masih ada sejumlah jabatan lainnya, yang memperoleh validasi, yakni menjadikan pangkat pimpinannya setingkat lebih tinggi. Secara singkat bisa dikatakan, pos brigjen hari ini kira-kira setara dengan kolonel di masa Orde Baru. Platform yang ditawarkan Jokowi, agar hubungannya dengan TNI selalu mulus, adalah dengan cara "memanjakan” TNI, dan itu secara jelas terlihat dalam dua periode kekuasaannya. Apa yang menjadi kehendak atau aspirasi TNI, selalu dikabulkan Jokowi, praktis tanpa perdebatan berarti. Terlihat jelas Jokowi menghindari berpolemik, sebagai strategi mengamankan kekuasaannya. 

Dalam hubungan dengan TNI, Jokowi acapkali dibandingkan dengan presiden sebelumnya (SBY), yang memang berasal dari tentara. Menilik latar belakangnya yang sipil, Jokowi dianggap tidak bisa mengontrol kalangan militer sepenuhnya.  Asumsi bahwa Jokowi tidak bisa mengontrol sepenuhnya TNI, bisa juga dihubungkan dengan wacana pembentukan Kodam baru.

Hampir mirip dengan respons masyarakat yang seolah tidak peduli, kira-kira Jokowi juga begitu. Jokowi tidak mau banyak berpolemik dengan pihak TNI AD dalam hal pembentukan Kodam (baru). Artinya, sebagai presiden yang berasal dari kalangan sipil, Jokowi sudah tidak lagi menempatkan dirinya sebagai bagian dari civil society movement, yang umumnya bersikap kritis terhadap manuver kelompok militer, termasuk rencana pembentukan Kodam baru. Dengan sadar Jokowi lebih memilih mengamankan kekuasaannya.

Wacana Kodam baru

Presiden Jokowi selaku Pangti (Panglima Tertinggi) juga memiliki pendekatan tersendiri, dalam artian terlalu banyak memberi (konsesi) dan segala kemudahan bagi TNI AD, utamanya  menambah pos atau jabatan bagi perwira tinggi. Kemudahan itu sudah terlihat, ketika tahun 2019-2020 telah terbit regulasi yang mengatur soal validasi lembaga dan penyesuian pangkat bagi sejumlah satuan.

Kemudian dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi pernah menjanjikan penambahan sekian jabatan pati, untuk mengatasi surplus kolonel. Komitmen presiden itu justru menimbulkan kecemasan, bahwa yang bakal terjadi adalah  fenomena "inflasi” jenderal. Mengingat penambahan pos pati dimaksud tidak menggunakan parameter dan argumentasi yang jelas, serta bisa dipahami publik.

Termasuk  wacana penambahan Kodam baru, sejatinya masih terhubung dengan usulan revisi di atas, khususnya pada pasal yang mengatur penambahan usia pensiun. Penambahan Kodam masih dalam semangat menyalurkan sejumlah besar kolonel (dan brigjen), agar tidak terjadi penumpukan. 

Dalam eselon pimpinan Kodam, ada tiga posisi untuk brigjen, selain Kasdam (sejak dulu sudah ada), ada lagi Irdam (Inspektur Kodam) dan Koordinator Staf Ahli Pangdam. Tentu tiga posisi  brigjen sangat membantu untuk menyalurkan sejumlah besar kolonel. Namun ini hanya solusi jangka pendek, karena surplus kolonel dan brigjen selalu terjadi. Surplus kolonel akan selalu terjadi, karena sejak di "hulu”  juga selalu menjadi masalah, yaitu soal jumlah taruna Akmil yang tidak pernah berkurang, konstan dalam kisaran 300 taruna.

Jumlah taruna sebanyak itu, seperti "bom waktu” yang suatu saat akan berdampak pada surplus kolonel, sebagaimana yang terjadi saat ini.  Setiap tahun Akmil mencetak sekian ratus perwira pertama (letnan dua), sementara pergantian pangdam, kasdam, danrem, dan jabatan pati lainnya, tidak terjadi setiap tahun. Posisi pangdam misalnya, rerata dijabat selama satu setengah tahun sampai dua tahun.

Satu hal yang menarik dari pembentukan Kodam kali ini adalah, tidak adanya keberatan publik atau catatan kritis dari kalangan intelektual. Seandainya ada resistensi pun, sangat rendah intensitasnya, jadi tidak menimbulkan kegaduhan berarti.

Pembentukan Kodam baru kali ini berjalan mulus, bedakan dengan saat pembentukan Kodam (baru) sebelumnya, seperti Kodam Iskandar Muda (Aceh) dan Kodam  XII/Tanjungpura (Pontianak), yang sempat menjadi polemik di masyarakat, meskipun akhirnya perdebatan itu hilang pula dengan sendirinya.

Kita bisa menduga, ketiadaan penolakan dari masyarakat, bisa jadi karena masyarakat sendiri tidak peduli dengan wacana tersebut, mengingat beban hidup yang semakin kompleks. Bagaimana mungkin rakyat memikirkan pembentukan Kodam, kalau untuk sekadar bertahan hidup saja sudah demikian beratnya. Masyarakat akan berpikir, bahwa wacana Kodam baru adalah urusan elite politik dan militer di Jakarta, sama sekali bukan urusan rakyat. Situasinya memang menguntungkan, Kodam baru didirikan di tengah apatisme masyarakat.

Rencana pembentukan Kodam baru juga memastikan satu hal, bahwa secara politis TNI AD masih kuat. Tidak ada lembaga negara lain yang sanggup mengontrolnya, termasuk Presiden selaku Panglima Tertinggi. Wajar bila rencana penambahan 22 Kodam diperkirakan akan berjalan mulus, istilahnya tinggal ketok palu di parlemen (terkait anggaran), setelah ada lampu hijau dari Istana, dalam hal ini Presiden (selaku Pangti).  Selalu begitu prosesnya,  tidak akan ada lagi hambatan berarti, bila TNI (khususnya TNI AD) sudah berkehendak. (ap/hp)

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.