Festival Film Sains Sorot Kesehatan Mental Anak Saat Pandemi
12 Oktober 2021Tema 'Kesehatan dan Kesejahteraan' khususnya kesehatan mental anak di masa pandemi yang berkepanjangan menjadi sorotan utama di Science Film Festival (SFF) ke-12 yang diadakan oleh pusat kebudayaan Jerman, Goethe-Institut.
Direktur Goethe-Institut wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru yakni Stefan Dreyer mengatakan tema kesehatan dan kesejahteraan sangat berkaitan dengan kehidupan manusia saat ini. Utamanya, banyak orang mengalami dampak negatif pandemi COVID-19 di berbagai aspek kehidupan.
"Pasca-pandemi, pemulihan kesehatan dan kesejahteraan mental akan semakin penting karena banyak anak dan remaja mengalami gangguan kecemasan, kebosanan, dan jenuh saat di rumah saja. Belum lagi banyak di antaranya mengalami keterbatasan akses untuk bersekolah," kata Dreyer dalam konferensi pers yang digelar virtual di Jakarta, Selasa (12/10).
Sementara Kepala Bagian Kebudayaan dan Pers Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, Matthias Muller, pada kesempatan yang sama mengatakan kesehatan anak menjadi sumber daya penting di tengah masyarakat. Di masa pamdemi, ujar dia, anak menjadi kelompok rentan COVID-19. Ditambah, belum ada satu pun vaksin untuk anak meskipun golongan ini banyak yang tertular.
"Kita tidak bisa menahan anak-anak hanya terkurung di rumah karena ada begitu banyak aspek lainnya seperti kecemasan dan depresi pada anak yang bisa dialami karena berubahnya kebiasaan hidup di masa pandemi," ujar Matthias Muller.
Belajar sains secara menyenangkan
Festival film ini diadakan guna mengajak anak di Indonesia usia 9-14 tahun untuk mengenal sains lewat beragam kegiatan yang menyenangkan. Tahun ini, SFF ke-12 akan diselenggarakan secara daring pada 12 Oktober hingga 30 November 2021 di 166 sekolah tingkat SD - SMA.
Festifal akan digelar di sekolah-sekolah di 52 kota di Indonesia mulai dari Aceh, Jakarta, Bangkalan, Flores Timur, Toraja, hingga ke Jayapura. Selain itu, film-film tersebut juga akan ditayangkan di 3 pusat sains dan 6 komunitas.
Sebanyak 17 film dari berbagai negara akan ditayangkan di Indonesia. Salah satunya film dari Jerman berjudul Knietzsche and Health (2020) oleh Anja von Kampen. Ini adalah salah satu film yang mengangkat isu kesehatan. Dalam film animasi berdurasi 3 menit itu, seorang filsuf muda bernama Knietzsche bercerita tentang pentingnya kesehatan: sistem kesehatan tubuh manusia harus bekerja dengan tepat, seperti jam, agar kehidupan berjalan tanpa kendala.
Film-film dari negara lain juga turut meramaikan SFF tahun ini seperti Belanda, Brazil, Portugal, dan Thailand yang telah disulihsuarakan ke dalam bahasa Indonesia.
Sains dan tantangan masyarakat dengan tingkat literasi rendah
Menurut Stefan Dreyer dari Goethe-Institut, kemajuan dan pembangunan di dunia tidak akan tercapai tanpa perkembangan sains. Karena itu pihaknya mendukung kerja sama di bidang ini. Namun Indonesia masuk dalam 10 negara dengan tingkat literasi rendah. Ini adalah tantangan sehingga Goethe-Institut mengambil langkah untuk mengatasinya, kata Dreyer.
"Kami menumbuhkan minat remaja untuk berpartisipasi dan eksplorasi dengan science. Cara lain bisa digunakan untuk memperkenalkan science. Tidak harus dengan buku, tapi juga melalui pendekatan visual. Kami berharap akan semakin banyak sekolah yang ikut dalam kegiatan ini," ujarnya.
Sementara Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, mengatakan rendahnya literasi akan berpengaruh di bidang apa pun dan perlu cara berbeda dan kreatif untuk memperbaikinya.
"Keterkaitan tema kesehatan dan kesejahteraan sangat relevan dengan masalah kesehatan yang dihadapi dunia. Bukan hanya fisik tapi juga mental. Film festival ini menjadi salah satu cara kreatif yang baik untuk menikmati sains. Literasi bisa berjalan berbarengan dengan cara-cara ini," kata dia.
Menurut Rektor Universitas Paramadina, Didik J. Rachbini, generasi muda harus lebih responsif terhadap isu kesehatan dan kesejahteraan. Apalagi, berkaca pada kejadian beberapa bulan lalu saat Indonesia mencapai puncak COVID-19 dengan sekitar 2.000 kasus kematian per harinya.
"Sangat penting untuk lebih responsif terhadap science dari peristiwa sekitar. Tidak hanya mengedepankan halusinasi dengan kepercayaan yang tidak masuk di akal seperti percaya mitos. Saya berharap SFF bisa merangkul lebih banyak sekolah-sekolah di Indonesia, utamanya di kalangan mahasiswa," ujar dia.
Universitas perlu lebih berperan
Hal senada disampaikan Rektor Universitas Katolik Atmajaya yang menyoroti peran universitas perlu dilibatkan. Menurutnya, universitas merupakan salah satu produk elit dari pendidikan di Indonesia mengingat tidak banyak orang yang bisa berhasil menempuh jalur kuliah.
"Universitas memiliki peran penting dan sentral untuk mengenalkan sains, caranya beragam tidak hanya bersifat akademis tapi juga melalui entertainment. Menumbuhkan kesadaran itu yang utama sehingga berakhir dengan action nyata," ujar Agustinus.
Sejak diluncurkan di Thailand pada tahun 2005, Science Film Festival mempromosikan literasi sains kepada pemuda di Asia Tenggara, Asia Selatan, Afrika, Amerika Latin, dan Timur Tengah melalui komunikasi berbasis pengetahuan yang sifatnya menghibur.
Di Indonesia sendiri, Science Film Festival diperkenalkan dan pada 2010 seiring upaya ekspansi regional pada masa itu. Dalam perjalanan waktu, festival ini telah memenangkan hati lebih dari 800.000 penonton di 28 negara pada edisi tahun 2020, termasuk 14.415 pengunjung di Indonesia. (ae)