Bersekolah dengan Kambing di Berlin
16 September 2018Jam delapan pagi dan sekelompok remaja bersandar di pintu gerbang sambil mengamati kejenakaan Oreo, Agro, dan Wilma. Entah bagaimana caranya, ketiga kambing tersebut telah menarik perhatian anak-anak itu sepenuhnya sehingga mereka sepertinya tidak tertarik pada benda-benda yang biasanya menyita fokus anak-anak muda, misalnya saja telepon pintar.
Adegan bermain di depan sebuah peternakan sekolah, yang - selain menampung kambing - juga menjadi rumah bagi bebek, ayam, babi dan berbagai macam hewan lainnya. Kebun itu, seperti kebun di sebelahnya, milik sekolah menengah Hagenbeck di distrik Pankow di timur laut Berlin.
Setiap hari sekitar 400 anak melewati pintu prefabrikasi atau pintu rakitan yang tidak spektakuler seperti yang biasanya terlihat di banyak sekolah lain di kota. Namun gerbang sekolah itu memiliki daya tarik khusus.
"Saya memilih tempat ini karena saya sangat tertarik pada hewan dan berkebun," kata Yara, 12 tahun. Dia dan teman sekolahnya, Lina dan Elodie sedang memotong buah yang dipetik dari pohon apel milik sekolah, untuk memberi makan kambing.
"Anda harus berhati-hati memberi mereka makan satu per satu," Elodie menjelaskan. "Jika tidak, salah satu bisa tidak mendapat cukup makanan dan mereka akan saling menanduk."
Ketika ditanya apakah belajar di tengah-tengah alam lebih menyenangkan daripada duduk di kelas, dia dengan yakin menjawab.
"Ya, tentu saja."
Lebih dari sekadar binatang
Bukan berarti tidak ada jam belajar di sekolah ini. Para siswa di Hagenbeck juga belajar matematika, bahasa Jerman, olahraga, fisika dan bahasa, sama seperti siswa di sekolah-sekolah umum di seluruh kota. Hanya saja di sini, tema keanekaragaman hayati ditemukan di mana-mana.
"Staf yang mengajar semua subjek duduk bersama dan mendiskusikan cara terbaik untuk mengintegrasikan keanekaragaman hayati," ungkap Wakil Kepala Sekolah, Claudia Krötenheerdt memberi tahu DW.
Hasilnya adalah kurikulum yang terintegrasi, inklusif dan dapat langsung diterapkan, misalnya pada pelajaran matematika akan ditemukan kegiatan seperti mengukur lahan bertanam di kebun, sedangkan pada kelas teknologi kita akan melihat siswa belajar membuat kerangka untuk tempat tumbuh tanaman kacang, dan pada pelajaran "Peternakan Hewan" sisa mengenal cara membaca standar atau meridian.
"Sejauh yang saya tahu, kami satu-satunya sekolah di Jerman yang melakukan ini," kata Krötenheerdt.
Proyek ini dimulai pada tahun 2007, ketika pemerintah Jerman memperkenalkan strategi nasional untuk menangkal hilangnya habitat dan keanekaragaman hayati.
Delapan tahun lalu, Krötenheert dan rekan-rekannya mencari cara bagaimana sekolah bisa terlibat mengatasi tantangan ini, mereka pun menemukan ide tentang bagaimana membuat keragaman hayati sebagai tema utama sekolah.
Belajar dengan sekop dan garpu
Di taman sekolah, yang berdekatan dengan lahan pertanian, siswa diberi tugas memotong bagian tanaman tertentu. Ketika Kolja yang berusia 12 tahun bertanya apakah mereka harus menggunakan gunting tanaman mereka ke semua hal yang terlihat, dia justru mendapat respon blak-blakan dari Elke Mahrenholz, penanggung jawab kebun.
"Apa sulitnya bagimu untuk mendengarkan," kata Mahrenholz kepada Kolja. "Hanya potong bagian tanaman yang sudah kering."
Mendapat teguran, Kolja pun memainkan gunting tanamannya karena malu, tetapi kemudian mengungkapkan bahwa dia mendengarkan dengan baik dan menjelaskan dengan penuh keyakinan tentang proses fotosintesis dan hal-hal lain yang telah dia pelajari di sekolah, misalnya tentang konsep "keberlanjutan, menggunakan kembali hal yang tidak lagi dibutuhkan, atau upcycling, mendaur ulang benda lama untuk membuat sesuatu yang baru. "
Tempat bertanam di taman sekolah, misalnya dibuat dari bekas papan lompatan kuda yang pernah digunakan di kelas olahraga.
"Kalian bisa menambahkan lebih banyak kotoran kuda di sini," Mahrenholz mengatakan kepada para siswa yang telah membersihkan tanaman kering dan sekarang hendak menanam tanaman yang baru.
Di musim dingin, ketika pekerjaan lapangan semakin sedikit di kebun, ia mengajarkan para siswa tentang tanah di mana mereka menanam tanaman mereka, tentang menggunakan pupuk organik untuk meningkatkan kualitas tanah, dan tentang keanekaragaman hayati di dalam tanah.
Tiga bersaudari
Di belakang undakan tanaman, beberapa siswa merawat bagian yang disebut "tiga bersaudari".
"Setiap tahun, kami menanam bibit yang berbeda-beda, tahun ini kami fokus untuk menanam tiga kakak beradik perempuan," jelas Eric, 13 tahun. "Itu berarti jagung, labu dan kacang."
"Jagung itu menjulang sangat tinggi sehingga menutupi saudarinya yang lebih kecil dan membayangi mereka," tambah Charlotte. "Kakak tengah, Si Kacang, tumbuh menjalari tanaman jagung dan memberikan stabilitas."
Sambil menunjuk pada tanaman labu, Tabea menjelaskan tentang tanaman yang disebut sebagai " adik perempuan kecil, yang memiliki daun lebar yang mampu menjaga kelembaban tanah dan mencegah gulma bertumbuh." Dan kemudian, dengan senyum malu, dia memetiknya.
"Jika bertanam dengan cara seperti ini, anak-anak belajar tentang campuran benih, sesuatu yang kontras dengan sistem monokultur pada pertanian konvensional," kata Mahrenholz menjelaskan. "Ini membantu mereka untuk memahami fakta bahwa pertanian kita harus semakin menjauhi sistem monokultur dan menggunakan campuran benih tanaman."
Para siswa bahkan dapat mencicipi hasil buah kerja mereka ketika mereka berkumpul untuk memasak sayuran yang mereka panen dari kebun sekolah.
Baca juga: Sehari Bersama Relawan Program Lingkungan di Jerman
Diperlukan cara berpikir kreatif
Di antara jam belajar, para siswa akan berkumpul di halaman sekolah untuk nongkrong. Tapi itu bukan halaman biasa. Salah satu bagiannya ditumbuhi buluh tanaman yang tinggi sehingga memberi kesan para siswa sedang berada di tempat lain. Hanya ketika angin bertiup tanaman tersebut menyibak bagian gedung sekolah dan bagian lain dari sekolah itu mulai terlihat.
Untuk saat ini, bagian ini masih beton biasa, tetapi ada rencana untuk mengubahnya jika nanti ada dana terkumpul. Namun, mempertahankan sekolah pemenang penghargaan tersebut tidak melulu tentang pembiayaan. "Dibutuhkan banyak inisiatif," kata Wakil Kepala Sekolah menjelaskan. "Kami membutuhkan banyak pemikiran kreatif." Baik orang tua, guru, dan staf sekolah, semua akan terus memberikan segala upaya, karena mereka ingin memastikan ketiga kambing dan tiga kakak beradik tetap berada dalam kurikulum sekolah Hagenbeck Berlin.
Ed: vlz/ts