Tajuk: Jepang Belum Siap Lepas Energi Nuklir
11 Maret 2013
Bagi pihak politik dan lobi, tenaga nuklir sudah jelas: bencana Fukushima terjadi bukan karena kegagalan teknis, tapi kesalahan manusia. Karena manusia lah yang mengabaikan peraturan dan bertindak gegabah. Pada dasarnya teknik nuklir berfungsi dengan baik.
Logika para pendukung energi atom sangat sederhana: Kalau manusia belajar dari kesalahan dan patuh pada peraturan, tentu saja, energi atom dapat dikendalikan. Ini juga sudut pandang pemerintah Jepang. Jepang tidak mengubah politik energinya, justru sebaliknya, mereka ingin mempertahankan energi nuklir dan berencana membangun reaktor baru. Apa sebenarnya yang mereka pikirkan?
Pelajaran Pahit
Tapi realita memang tak sesederhana itu. Warga Jepang yang terkenal gila teknik memang menarik pelajaran berharga dari peristiwa Fukushima. Tapi pelajaran tersebut sangat pahit. Mereka menyadari bahwa Jepang yang ekonominya melemah tidak dapat melepaskan diri dari energi nuklir, jika ingin tetap bersaing dengan Cina. Dan Cina tetap menggunakan energi atom - seperti juga beberapa negara tetangganya.
Bagi Jepang, yang hampir tak memiliki sumber daya alam, impor energi terlalu mahal: batu bara dari Australia, gas dari Amerika Serikat, minyak bumi dari Timur Tengah dan Asia Tenggara. Selain itu, adidaya baru Cina dapat dengan mudah memblokade jalur perdagangan yang menjamin pasokan energi ke Jepang. Ketakutan yang cukup beralasan, mengingat ketegangan bilateral yang muncul pada bulan-bulan belakangan. Jadi, sikap Jepang yang tetap mempertahankan energi atom sebenarnya bukan sikap membabi buta, tapi memang tidak ada alternatif lain.
Jerman sebaiknya menahan diri dan tidak menggempur Jepang dengan kritik dan nasehat berlebihan. Jerman pun kewalahan dalam mengubah haluan politik energinya, padahal masyarakat luas mendukung kebijakan baru mengenai energi tersebut. Ada tantangan teknis dan politis, seperti misalnya pembangunan jaringan listrik baru, dan dampak sosial serta ekonomi akibat naiknya harga listrik. Tapi dibandingkan dengan Jepang, tantangan ini tentunya tak seberapa, dan pasti dapat diatasi dengan mudah oleh masyarakat Jerman.
Perbandingan dengan Jerman
Selain itu, situasi di Jerman sebenarnya cukup nyaman. Seandainya Jerman mengalami kelangkaan listrik, Jerman dapat mengimpor listrik yang dihasilkan PLTN di Perancis atau negara Eropa lainnya. Sebaliknya negara kepulauan Jepang tak dapat begitu saja mengimpor listrik dari negara lain. Sementara peralihan ke energi alternatif tentu memakan waktu.
Jepang berencana membangun pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai. Tapi ini dipersulit oleh tebing yang curam serta badai topan yang secara rutin menghantam Jepang. Lokasi Jepang di cincin api pasifik sebenarnya bisa bermanfaat untuk pengembangan reaktor panas bumi. Selain itu Jepang dapat membatasi konsumsi energinya dengan memasang bahan peredam khusus pada bangunan dan meningkatkan kesadaran lingkungan dalam masyarakat. Tapi semua upaya ini tidak akan cukup untuk menjamin kebutuhan energi negara teknologi tinggi ini. Setidaknya, saat ini semua upaya di atas belum cukup.
Satu lagi pelajaran pahit bagi Jepang adalah bahwa haluan politik yang selama puluhan tahun hanya fokus pada listrik energi nuklir tidak dapat dikoreksi dengan mudah. Jaringan listrik energi terbarukan baru akan selesai dibangun tahun 2040. Syaratnya, masyarakat Jepang secara konsekuen mendesak pemerintah untuk mengubah kebijakannya. Untuk itu dibutuhkan kesabaran, apalagi kebanyakan warga Jepang sudah tidak lagi percaya pada pemerintah di Tokyo. Tapi kalau dibandingkan dengan radiasi jangka panjang akibat bocornya reaktor nuklir, 30 tahun bukan waktu yang lama. Umur paruh Plutonium lebih dari 24.000 tahun. Sementara pemerintahan Jepang paling-paling bertahan satu tahun.