Ini Kondisi Bumi Jika Target Iklim Gagal Tercapai
15 Oktober 2021Waktu makin mendesak. Skala tindakan yang dibutuhkan untuk melindungi iklim sangat besar dan harus dilakukan dengan cepat, sementara beberapa rencana yang ada telah gagal.
Pada tahun 2015, hampir seluruh negara di dunia sepakat untuk membatasi kenaikan suhu hingga maksimal 2 derajat Celsius di atas nilai pra-industri, dan berusaha menetapkan target batasnya pada 1,5 derajat Celsius dalam Perjanjian Iklim Paris. Namun, jika komitmen nyata untuk mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, dan langkah lainnya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada atmosfer dilakukan, hal tersebut berdampak mundur dengan pemanasan hingga 2,7 derajat Celsius, tegur PBB.
Akhir bulan Oktober ini, para pemimpin dunia akan bertemu di Glasgow dalam acara Konferensi Perubahan Iklim 26. Agenda tersebut akan berfokus pada langkah-langkah yang jauh lebih tegas agar target Perjanjian Paris tercapai.
Sejumlah penelitian ilmiah yang telah dilakukan secara global dalam menilai dampak perubahan iklim menyebutkan, nilai pecahan suhu tersebut memiliki peran besar.
Dengan banyaknya bencana yang disebabkan oleh iklim di seluruh dunia, skala masalahnya terlihat seperti tidak terkendali. Namun, ketika ilmu pengetahuan menyajikan gambaran yang mengerikan, mereka juga memaparkan membatasi pemanasan global dalam jumlah kecil, dapat menyelamatkan jutaan nyawa, melindungi wilayah yang luas dari degradasi dan memberi kesempatan hidup untuk spesies lain.
Dilansir dari laporan Panel Perubahan Iklim Antar Pemerintah (IPCC) yang dirilis Agustus lalu, suhu global telah meningkat rata-rata 1,07° Celsius sejak revolusi industri. Saat ini dunia sudah melihat, kenaikan suhu global 1° Celsius tersebut berdampak sangat besar.
Kenaikan permukaan air laut ancaman global
Sebagai contoh kenaikan permukaan air laut. Setiap sentimeter kenaikan muka air laut, berarti munculnya ancaman bagi banyak hal. Sejauh ini, tinggi permukaan air laut secara global telah naik sekitar 20 sentimeter sejak tahun 1901, demikian dikutip dari laporan IPCC
Mungkin terdengar tidak begitu berbahaya, namun hal tersebut berdampak bagi orang banyak di seluruh dunia. Menurut Pusat Pemantauan Migrasi Internal, setidaknya ratusan ribu orang mengungsi tiap tahunnya, karena banjir di dataran rendah di Bangladesh
Data dari laman iklim berbasis laporan Carbon Brief yang menganalisis 70 jurnal peer-review di tahun 2018 dengan skenarionkenaikan suhu 1,5° Celsius, memperkirakan permukaan air laut di dunia akan meningkat setinggi 48 sentimeter pada akhir abad ini. Sementara skenario dengan kenaikan suhu global 2° Celsius, permukaan air laut akan meningkat hingga 56 sentimeter.
Perbedaan 8 sentimeter tersebut cukup signifikan dan berpengaruh bagi jutaan penduduk. Dirangkum dari IPCC, setiap kenaikan 10 sentimeter permukaan air laut akan berdampak terhadap 10 juta penduduk di seluruh dunia.
Pemanasan naik berdampak curah hujan tinggi
Laporan IPCC terbaru tentang "peristiwa curah hujan ekstrem”, yang dulunya sebelum revolusi industri terjadi tiap 10 tahun sekali, kini kejadian tersebut terjadi 30% lebih sering. Dengan peningkatan suhu global 1,5° Celsius, risikonya naik hingga 50% dan tingkat keparahannya juga ikut meningkat dikuti naiknya curah hujn hingga 10,5%. Jika kenaikan suhu Bumi 2° Celsius terjadi, risikonya diperkirakan naik lagi hingga 70% dan 15% lebih banayk curah hujan.
Contohnya di India, hal tersebut berdampak ke masa depan negara ini. Menurut data perusahaan asuransi Munich Re, banjir dan longsor menyebabkan 700 orang kehilangan nyawa dan kerugian sebanyak Rp 156 miliar sepanjang tahun 2018 dan 2019.
Menurut data Carbon Brief, dengan kenaikan suhu 1,5° Celsiun kerugian ekonomi suatu negara akibat banjir akan meningkat hingga lebih dari 3,5 kalinya, jika kenaikan suhu hingga 2° Celsius, dampaknya naik sekitar 5,5 kali.
Kemarau lebih lama dan lebih kering
Saat di beberapa daerah curah hujan makin tinggi,daerah lain justru semakin kering, dengan dampak bencana yang sama. Di tahun 2018, IPCC menyebutkan, mengerem pemanasan global pada kisaran 1,5°C dibanding 2°C, dapat mengurangi separuh dari jumlah orang yang terkena dampak "stress" kelebihan atau kekurangan air.
Dalam laporan terbarunya, IPCC menyimpulkan, kemarau panjang yang terjadi satu kali per dekade sebelum revolusi industri, kini 70% akan lebih sering terjadi. Dengan kenaikan suhu 1,5° Celsius hal tersebut akan 2 kali lebih sering, sedangkan jika kenaikannya hingga 2° Celsius insiden akan lebih sering terjadi 2,4 kali.
Menurut data Carbon Brief, di seluruh dunia, rata-rata durasi kekeringan dengan kenaikan 1,5 derajat berlangsung selama 2 bulan, sementara dengan kenaikan 2 derajat, kemarau akan berlangsung selama empat bulan, dan 10 bulan jika naik hingga 3 derajat.
Pada tahun 2019, Program Pangan Dunia meaporkan, 2,2 juta orang di Amerika Tengah "di kawasan kering” menderita gagal panen dikarenakan kekeringan dan cuaca yang tidak menentu selama 5 tahun berturut-turut. Februari 2021, angkanyat naik hingga 8 juta orang, sebagian terdampak oleh ekonomi di masa pandemi, ditambah "peristiwa iklim ekstrem bertahan-tahun,” serta akibat dari Badai Eta dan Iota yang melanda Amerika Tengah, November 2020 silam.
Dampak buruk di suatu wilayah akan tergantung pada tindakan iklim yang akan dilakukan. Data dari Carbon Brief menyebutkan, jika suhu Bumi naik 1,5° Celsius durasi kekeringan di Amerika Tengah akan meningkat hingga lima bulan, sedangkan jika pemanasan global meningkat hingga 2° Celsius, kekeringan bisa berlangsung selama 8 bulan, dan akan menjadi 19 bulan jika kenaikan suhu hingga 3° Celsius.
Jumlah sedikit, risiko besar
Bersamaan dengan kekeringan, akan muncul gelombang panas dan berbagai macam jenis kebakaran hutan dan lahan di mana-mana. Mulai dari California hingga Eropa Selatan dan Indonesia sampai Australia, selama beberapa tahun belakangan sudah kerap mengalami karhutla dahsyat. IPCC mengungkap, pembatasan pemanasan global hingga 1,5° Celsius dibandingkan kenaikan suhu Bumi 2° Celsius, dapat mengurangi jumlah orang yang terkena paparan gelombang panas ekstrem hingga 420 juta.
Angka tersebut memang membingungkan, karena kerugian kehilangan nyawa dari kenaikan suhu yang terlihat kecil ini, tidak dapat dipahami secara sederhana. Hancurnya kehidupan, makin banyaknya tunawisma dan kemiskinan merupakan penderitaan yang tidak ternilai. Hal tersebut akan memperburuk atau setidaknya memicu ketegangan politik yang tidak dapat diprediksi, dan dapat diduga mengarah pada konflik.
Namun yang sudah diketahui secara pasti dalam hal perubahan iklim, angka yang relatif kecil sekalipun, bisa berdampak pada seluruh perubahannya.
(mh/as)